Latar Belakang Menuju Ruang Publik yang Ideal

Rabu 02-09-2015,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

SEEKOR kecoa seringkali mengulangi kesalahan yang sama. Mereka berlarian ke kurumunan manusia, kemudian mati. Berulang-ulang. Hal itu terkesan menggelikan di satu sisi, akan tetapi di sisi yang lainnya begitu mencerahkan. Apa pasal? Menggelikan karena melakukan kebodohan yang sama dan mencerahkan karena kebrutalan tindakan kecoa itu menunjukkan beda kelas antara manusia dan binatang. Dalam dunia manusia, tukar menukar informasi adalah suatu hal yang biasa. Dalam ruang pendidikan, terjadi apa yang dinamakan pengajaran antara guru dan murid. Dalam ruang keluarga, terjadi sebuah penyematan pesan dari orang tua kepada anaknya. Dalam ruang pertemanan, terjadi moment sharing atau suasana berbagi pengalaman antara kolega. Dari hal-hal itulah, manusia belajar dan berusaha untuk bertindak yang baik, yang tidak merugikan dia dan orang lain, yang tentunya pula hal itu tidak ada dalam dunia satwa. Cara berkomunikasi dalam dunia manusia bermacam-macam jenisnya. Kita bisa menyebutkan semisal, mengobrol dengan sistem tatap muka seperti berkumpul dan berbaur dalam kehangatan pergaulan. Atau ada juga, bahkan dalam sebuah kondisi yang kadang kita tidak pernah menduga hal itu sebelumnya. Yang paling in, dalam dunia global, komunikasi tak perlu lagi bertemu. Kita bisa menyampaikan apa yang kita ingin sampaikan dalam bentuk tweet, status facebook atau simple notes in your blog account, kemudian orang dengan bebas mengakses dan membacanya. Hal-hal di atas manusia bisa belajar untuk tidak merusak alam, karena akan merugikan kehidupannya. Manusia belajar untuk tidak menjatuhkan nuklir di antara permukiman yang padat penduduk, karena itu tindakan tidak manusiawi secara akal dan berdosa berdasarkan moral. Manusia belajar dan tahu untuk kemudian tidak terjun bebas dari jurang setinggi 100 meter karena dapat membahayakan nyawanya. Mohon maaf, binatang tidak kenal hal-hal ini, makanya, seekor tikus sampai kapan pun tidak akan pernah berkumpul dan bersatu padu untuk mengroyok lalu membunuh kucing yang sendirian. Meskipun terkesan telah begitu banyak sarana dan tata cara dalam bertukar informasi serta komunikasi, akan tetapi selalu saja terselip suatu kegelisahan mengenai “hal ini ada yang kurang, tapi apa?” Sedikit demi sedikit maka terjawablah pertanyaan itu melalui apa yang kita kenal dengan ruang publik. “Mengapa harus ruang publik?” karena hanya dengan itulah kita bisa mencintai alam dengan segala isinya. Termasuk pengalaman yang disertai argumentasi pribadi seorang manusia dengan bertemu wajah. Mari kita simak penjelasannya..., Ide ruang publik, yang mungkin amat populer ini, bisa kita temukan dalam secarik pemikiran seorang bernama Jurgen Habermas. Public sphere atau ruang publik menurut Habermas (dalam Yudi Latif : Menyemai Karakter Bangsa, 2009) adalah ruang di mana perseorangan berbaur demi mengobrol secara bebas dan setara dalam wacana yang rasional. Sehingga membuat mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang relatif, yang pertimbangan-pertimbangannya bisa menjadi suatu kekuatan politik yang tangguh. Tidak usah dipikirkan mengenai bagaimana dan apa maksud dari dua paragraf yang mungkin sedikit rumit di atas. Yang terpenting, gambar tadi membuat kita tahu bahwa ruang publik itu banyak macamnya tetap fungsinya sama, yaitu semua masalah tidak bisa diselesaikan bilamana “apa yang ada di kepalaku tidak dipertemukan dengan apa yang ada di kepalamu”. Kita sekarang melanjutkan perjalanan pada pertanyaan, apa landasan berpikir yang bisa kita terapkan agar ruang tersebut menjadi bermanfaat? Bukan apa itu ruang publik, tetapi apa yang bisa kita pelajari dari ruang publik itu? Pertama, ruang publik membuat kita berani untuk menyuarakan apa yang memang menjadi keluhan secara bebas dan terbuka. Kita tidak hanya berbincang dan bertukar pikir. Kita pun dapat melakukan hal-hal yang ekspresionis seperti berpuisi, bermusik ataupun ber-skateboard secara legal dalam batasan yang disepakati umum. Tujuannya tentu, untuk membagikan pengalaman dengan cara yang kita bisa. Kedua, ruang publik membuat kita belajar menghargai pemikiran orang yang berbeda. Kita tidak bisa menghakimi orang lain tanpa menghadirkan orang tersebut di sekitaran kita, tentunya dalam lingkup ruang publik. Salah satu syarat dari ruang publik adalah adanya interaksi aktif dan terbuka dalam menemukan serta menentukan kesimpulan bersama. Melalui hal tersebut, kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal buruk dengan keburukan orang lain. Kita pun bisa belajar tentang kebaikan dari sikap baik yang dilihat secara langsung (learning by seeing and learning by doing). Ketiga, ruang publik tidak hanya menghadirkan sahabat, guru atau keluarga, tetapi ruang publik menghadirkan pula orang lain yang mungkin tak pernah kita temui sebelumnya. Ruang publik membuat kita sadar bahwa begitu banyak orang lain di antara kita dengan segala karakternya yang kadangkala tidak sama dengan kita. Karena hal itu, kita hendaknya terbuka agar apa yang ingin disampaikan juga didengarkan orang lain. Setidaknya dengan begitu, kita memberi ruang bahwa pada kebenaran itu mungkin adakalanya terdapat kesalahan. Dan pada kesalahan itu bisa saja ada sesuatu yang benar. Kesemua pelajaran yang sudah dijabarkan itu lebih penting daripada tuntutan ataupun teori skema ruang publik. Pertimbangannya: sebaik dan sebagus apa pun ruang publik itu, andaikan ketiga pesan tersebut tidak dijadikan landasan maka chaos adalah akhir yang akan terjadi. Kita semua tidak mengharapkan hal tersebut kan? Jika memang begitu, lalu apa bedanya kita yang diberi akal dengan binatang yang tak diberi keistimewaan akal? (lihat empat paragraf awal). Jika diberi pertanyaan “apakah ruang publik itu perlu?” Maka jawabannya adalah “perlu”. Selain syarat mutlak dari sistem demokrasi, ruang publik juga adalah sarana terbuka di mana di situ sisi kemanusiaan kita diuji. Prinsipnya, mau di kafe ataupun di sebuah taman kota, ruang publik bukan tempat adu fisik. Tetapi ruang publik adalah tempat di mana segala macam perbedaan yang bersumber daripada kreatifitas bertemu dalam kebahagiaan. Ruang publik juga adalah ruang yang membunuh segala macam sifat kebinatangan kita dengan dasar kemakluman. Intinya mah semua tuh buat belajar. (*) *) Penulis adalah peneliti di Satjipto Rahardjo Institite

Tags :
Kategori :

Terkait