Perjuangan Bagus Rangin di Indramayu

Sabtu 05-09-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

(Sayatan Sejarah yang Terluka)

Oleh: Supali Kasim*

HINGGA kini nama Bagus Rangin di Indramayu seperti berada pada dikotomi yang saling berlawanan. Stigma sebagai sosok perampok, perusuh, pengacau, dan berandal tertulis dalam naskah Babad Dermayu (Babad Carbon II). Berdasarkan naskah tersebut, kemudian seringkali menjadi sumber penulisan sejarah tradisional di Indramayu tanpa adanya tahap-tahap penulisan secara historiografi. Di sisi lain, Bagus Rangin menempati ruang terhormat dalam terminologi heroisme, yang dalam bagian-bagian tertentu menjadi kebutuhan masyarakat. Bagaimana masyarakat memandang secara hitam-putih antara Penindas dengan Kaum Marginal; antara Kolonialis dengan Sang Pembebas; antara Kebatilan dengan Kebenaran. Ketokohan Bagus Rangin mengisi relung-relung tersebut sebagai sosok yang berada di tengah-tengah kaum marginal untuk melakukan pembebasan dengan spirit kebenaran. Dikotomi itu amat tampak, yakni pada –setidak-tidaknya pada dua kelompok masyarakat-- (1) pengikut naskah Babad Dermayu, dan (2) pengikut tradisi lisan dan merasa berada pada silsilah keturunan Bagus Rangin. NASKAH “BABAD DERMAYU” Hampir ada keseragaman antara naskah Babad Dermayu yang diketemukan di satu daerah dengan daerah lainnya, seperti naskah dari Desa Pamayahan (Kecamatan Lohbener), Tambi (Kecamatan Sliyeg), Kertasemaya (Kecamatan Kertasemaya), bahkan juga naskah yang sudah dilakukan transliterasi dan terjemahan oleh Museum Negeri Sri Baduga bekerjasama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat (2008). Naskah tersebut kini menjadi koleksi Museum Negeri Sri Baduga dengan nomor registrasi 1.368, dan nomor inventarisasi 183.1498/07.35. Tebalnya 124 halaman, beraksara Cacarakan Jawa, dan berbahasa Jawa Cirebon. Berdasarkan naskah Babad Dermayu, terbit buku “Sejarah Indramayu” (1977) yang ditulis HA Dasuki, dkk. Meskipun bernama buku sejarah, kajiannya sangat miskin. Tidak ada tahapan heuristik, kritik, interpretasi ataupun penulisan historiografi. Sejatinya, buku tersebut hanya melakukan transliterasi dan terjemahan dari sebuah naskah Babad Dermayu. Hasil dari transliterasi dan terjemahan itulah kemudian dianggap sebagai sejarah. Pada Bab VIII Zaman Pemerintahan Perancis dan Inggris (1800-1816) termuat tentang Pemberontakan Bagus Rangin (hal. 197-207). Penulisannya berupa narasi pengisahan secara sastra, yang cenderung sebagai dongeng. Jika diringkas, kisah tersebut diawali adanya laporan seorang penduduk Dermayu bernama Nyi Jaya kepada Adipati Kadipaten Indramayu, Wiralodra, yang didampingi Patih Astrasuta. Bahwa ada pergerakan sekitar 1.000 orang bersenjata lengkap di Bantarjati yang akan melancarkan pemberontakan terhadap Pemerintah Indramayu.  Ia melihat ada Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serit, dan Ki Bagus Kondar. Atas jasanya melaporkan keadaan tersebut, Nyi Jaya diberi penghargaan berupa gelar Nyi Resik, artinya hati yang bersih dan setia kepada Wiralodra. Hingga kini, nama Nyi Resik menjadi nama jalan di Kecamatan Sindang Kabupaten Indramayu (3 km dari Pendopo Kabupaten Indramayu). Wiralodra memerintahkan untuk melakukan penyerbuan bersama 1.200 anggota pasukan dan masyarakat, yang terbagi dalam dua kelompok, yakni satu pasukan ke Bantarjati dipimpin Patih, dan satu pasukan lagi ke Jatitujuh dipimpin dirinya. Dalam pertempuran itu, pasukan Astrasuta mampu memukul mundur pemberontak. Akan tetapi pasukan Bagus Rangin dengan taktik gerilya akhirnya berhasil menang. Patih Astrasuta tewas oleh tombak Bagus Serit. Wiralodra meminta bantuan kepada Tuan Gubernur Jenderal di Betawi. Sementara itu, pergerakan Bagus Rangin dan pengikutnya yang akan menuju Indramayu sudah sampai ke Lohbener (Celeng), yang penduduknya kebanyakan orang-orang Tionghoa. Tercatat nama-nama seperti Kwee Beng, Eng San, Eng Jin, Eng Lie, dan Tiang Lie. Pasukan Bagus Rangin hendak dilawan, karena disangka para garong. Berita yang didengar pun adalah kedatangan para perusuh. Perlawanan tersebut urung, karena beberapa di antaranya sudah saling mengenal. Di antaranya Kwee Beng yang menjadi kuwu (kepala desa) sudah lama kenal dengan anak buah Bagus Rangin bernama Bagus Surapersanda. Warga Lohbener (Celeng) menyebut Bagus Surapersanda dengan panggilan “Kang Urang”, karena seringkali Surapersanda menyebut dirinya “urang” (saya, bhs. Sunda). Kwee Beng mengingatkan agar jangan ke Indramayu, sebab pemerintah sudah meminta bantuan pasukan dari Gubernur Jenderal di Betawi. Benar saja, dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah tersebut, Surapersanda menemui ajal. Ia dimakamkan di Desa Pamayahan Kecamatan Lohbener. Hingga kini masyarakat menyebut makam tersebut sebagai makam Ki Buyut Urang. Menurut kisah tersebut, penangkapan Bagus Rangin dilakukan dengan tipu muslihat oleh Komodor Poster, pimpinan Pasukan Belanda. Bagus Rangin dijanjikan akan dijadikan Tumenggung yang akan memerintah Indramayu. Untuk menghormatinya, digelar pesta semalaman. Sementara itu, pasukan dari Cirebon yang dipimpin Kertawijaya, yang sudah diminta bantuan oleh Wiralodra, telah siap menyerang. Bagus Rangin bisa lolos. Ia melarikan diri ke Pegaden. Sumber lain menyebutkan, ia kemudian tertangkap dan dihukum mati. Wiralodra harus  membayar f. 1.830, karena mendatangkan pasukan Belanda dari Betawi. Ia tak mampu, sehingga harus menyerahkan tanah wilayah barat. Tanah tersebut oleh Belanda dijual kepada perusahaan swasta. Naskah Babad Dermayu sebagai sumber --yang kemudian dijadikan ilham untuk membuat sepotong kisah dalam buku “Sejarah Indramayu” (1977)—itulah yang menyeret masyarakat memandang sosok Bagus Rangin sebagai pemberontak, perusuh, pengacau, dan berandal yang melawan pemerintah. Stigma ini dikeluarkan dengan mudah, tanpa penyelidikan lebih dalam. Setidak-tidaknya tidak ada pertanyaan bersifat asumtif: Siapakah yang dimaksud Pemerintah Indramayu? Bukankah Pemerintah Indramayu saat itu adalah boneka penjajah Belanda? Bukankah penjajah itu yang menyebabkan kesengsaraan rakyat? Lalu kenapa sesuatu yang negatif melekat terhadap diri Bagus Rangin? dst. Penelisikan terhadap hal ini, bisa mengarah pada jawaban, bahwa dominasi penjajah sangat kuat dalam segala lini. Bukan hanya pemerintahan sebagai simbol politik kekuasaan waktu itu, akan tetapi pada simbol-simbol sosial berupa penulisan naskah pun seluruhnya diatur penjajah. “ORAL TRADITION” Sisi sebaliknya terhadap stigma Bagus Rangin justru ditunjukkan oral tradition (tradisi lisan) pada masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi sejak abad ke-19 hingga abad ke-21 kini sebagai sebuah ingatan kolektif. Masyarakat di beberapa kecamatan, yang menjadi wilayah jelajah perjuangan Bagus Rangin, seperti di Kecamatan Bangudua, Lelea, Cikedung, Terisi, Gabuswetan, hingga Lohbener menampilkan ingatan pada sosok Bagus Rangin dan para pengikutnya sebagai hero. Lebih dari itu, beberapa di antaranya memaparkan dengan bangga sebagai bagian dari silsilah keluarga Bagus Rangin maupun anggota pasukannya, seperti Suryapringga, Leja, Kayim, Patah, Jatem, Sapidin, Ki Bagus Marsidem, dan lain-lain. Ada pula masyarakat yang secara turun-temurun menyimpan pusaka Bagus Rangin atau anggota pasukannya berupa keris, golok, badung batok, maupun kopyah waring. Secara ekspresif, masyarakat akan spontan melakukan sanggahan, jika ada cerita yang menyebut Bagus Rangin adalah perusuh atau berandal atau begal. Dalam pergaulan sehari-hari, jika ada yang menyebut demikian, akan langsung dibantah. Mereka pun menyayangkan kenapa naskah Babad Dermayu tertulis demikian. Bahkan, jika ada grup seni sandiwara (masres, Crb) menampilkan lakon Bagus Rangin dengan sosok sebagai perusuh dan berandal serta mudah tertipu Belanda dengan iming-iming jabatan lalu pesta pora semalaman, bisa-bisa ditimpuki dengan batu-bata oleh masyarakat. P.H. Van der Kemp, salah seorang Belanda yang ikut menumpas gerakan Bagus Rangin menuliskan kesaksiannya dalam buku “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818”. Ada beberapa yang ia sebut seperti (1) Bagus Nairem, demang Pedagangan (di halaman lain ia menyebut Pegadhangan). Ada kemungkinan adalah Desa Pekandangan di Kecamatan Indramayu; (2) Jabin, mengepalai kerusuhan di Kandanghaur; (3) Bagus Serrit (Rono Diwongso) dari Distrik Semarang; (4) Bagus Kundor, kabarnya anak Bagus Rangin; (5) Tiga orang pengacau: Sapie, Lejo, Ribut. Nama Sapie, kemungkinan adalah Sapidin; dalam tradisi lisan masyarakat Cikedung ada  kisah persembunyian di pinggir kali seperti sapi. Sedangkan Lejo, sangat mungkin adalah Bagus Leja. Sastrawan kelahiran Indramayu, Tandi Skober (kini alm.) dalam novel “Namaku Nairem” menuliskan elegi kematian Serit dan Nairem: Hutan Jati Plered Cirebon, Rabu Pon, 18 Nopember 1818 berselimut kabut. Gerimis tipis di ujung malam jatuh di tanah basah. Hujan baru reda. Dua tokoh ‘pemberontak santri Cirebon’, Bagus Serit dan Nairem, tersenyum. Kedua kaki santri itu dirantai berjalan tertatih-tatih menuju tiang gantung eksekusi. Jemarinya sibuk berzikir kalimat-kalimat tauhid. Matanya tengadah memandang lengkung langit bertabur bintang. Di sana ada bulan sabit, pucat di balik awan. Adanya dikotomi pandangan seperti itu seakan-akan menciptakan fenomena adanya sayatan sejarah yang terluka. Pertanyaannya, sosok Bagus Rangin dalam mengangkat harkat bangsa melawan penjajah, akankah senantiasa dipandang sebagai parampok, bukan pejuang? sebagai berandal, bukan pahlawan?   Pola gerakan Dilihat dari latar penyebab, pemberontakan Bagus Rangin berkaitan dengan tanah-tanah miliknya yang dirampas Residen Cirebon. Menurut Hardjasaputra dan Haris (2011:183-184), mulai tahun 1812 pada masa Raffles, Bagus Rangin mengumpulkan beberapa kelompok rakyat pengikutnya. Rumah-rumah orang Belanda/Eropa dan Cina dibakar, yang telah merampas tanah desa dan tanah petani. Raffles menganggap ada kaitannya dengan merosotnya kedudukan sultan-sultan Cirebon. Tahun 1813, Raffles menghapuskan kesultanan Cirebon. Namun akibatnya justru mendorong rakyat makin melawan. Kemp menulis, adanya tiga latar yakni (1) Tahun 1792, Residen Cirebon, J.L. Umbgrove mengurangi jumlah Pangeran dan Ratu. Mengubah fungsi mereka menjadi abdi masyarakat. (2) Tahun 1473 berdiri Kesultanan Kacirebonan (sebelumnya, sudah ada Kasepuhan & Kanoman). Raffles menghapus kekuasaan ketiganya (Gelar tetap diakui, Sultan diberi pensiun). Awalnya, pensiun berupa uang tunai & hasil sawah. Sejak zaman Van der Capellen, hasil sawah diganti uang tunai F 1500/tahun. (3) Rasa tak puas di kalangan para Sultan yang diturunkan Raffles (baik gelar maupun tunjangan yang terbatas). Surat Residen kepada Gubernur Jenderal tanggal 2 Juni 1818 No. 44. Menyampaikan dua pucuk surat dari Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Inti surat itu: memohon menambah tunjangan pensiun. Balasan surat tanggal 16 Juni 1818, No 4 Agar dibuat perhitungan keperluan secara terperinci). Latar seperti itu secara sepintas hanya persoalan politis dan ekonomis, akan tetapi sesungguhnya ada persoalan besar yang menyangkut harga diri selaku bangsa, yang merasa diinjak-injak oleh bangsa asing. Tragisnya, cengkeraman bangsa asing itu juga dirasakan suatu keuntungan oleh sebagian bangsa sendiri. Dengan demikian, tidaklah heran jika Bagus Rangin akhirnya harus berhadapan pula dengan bangsa (saudara) sendiri. Pola gerakan seperti ini juga terjadi pada kurun waktu berikutnya. Perang Diponegoro tahun 1825-1830 juga memiliki latar dan pola yang sama. Perbedaannya, sejarawan sudah lama mengangkat peristiwa itu sebagai perang besar bangsa pribumi melawan penjajah Belanda di Pulau Jawa, bahkan disebut pula Perang Jawa. Peristiwa pemberontakan Bagus Rangin yang justru lebih dahulu dilakukan --dan kemungkinan mengilhami perang Diponegoro-- belum terekspos menjadi catatan sejarah bangsa. Kiprah Bagus Rangin pun belum diapresiasi secara mendalam. Itulah sebabnya, esais kelahiran Indramayu, Tandi Skober (kini alm.), dalam pengamatannya menulis begini: “Andai saya bernasib bagus seperti Prof. Dr. Nina H. Lubis akan saya gerakkan tangan menulis atau tuturkan nasihat historis bahwa titik pemantik kebangkitan nasionalisme itu bukan pada berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, tapi pada eksekusi mati santri Nairem 17 Nopember 1818.” (*)   *) Supali Kasim, pemerhati sejarah, Ketua LBSD (Lembaga Basa lan Sastra Dermayu), tinggal di Indramayu
Tags :
Kategori :

Terkait