Mewujudkan Pendidikan yang Toleran

Sabtu 05-09-2015,09:00 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Oleh: Mamang M Haerudin SEKOLAH merupakan tempat belajar di mana para pelajar ditempa untuk bisa menjadi pribadi yang cerdas, baik secara intelektual, emosional maupun spiritual. Di sekolah, anak-anak akan dieksplor potensi dan kemampuannya. Sebab secara psikologis, para pelajar masih banyak memerlukan bimbingan dan arahan. Maka sekolah harus murni melaksanakan pendidikan yang memberdayakan, serta netral dari segala kepentingan apa pun, terlebih kepentingan politik praktis dan radikalisasi agama. Indonesia memang berpenduduk mayoritas Muslim, namun kenyataan ini bukan menjadi pengabsah untuk berlaku sewenang-wenang dan intoleran. Umat Muslim berkewajiban dapat mengayomi dan menjaga tabilitas kehidupan berbangsa dan beragama. Sebagaimana misi Islam, rahmatan lil’alamin, umat Muslim harus dapat menampilkan ekspresi keagamaan sosial yang ramah terhadap kehidupan manusia dan kemanusiaan. Upaya antisipatif seperti ini harus terus dilakukan secara berkesinambungan, agar para pelajar tidak terinfeksi virus radikal dogma-dogma agama yang kaku.  Sebaliknya, para pelajar di sekolah harus diajak berpikir terbuka, bijak dan dewasa, tentu saja disesuaikan dengan kondisi psikologisnya. Para pelajar harus diberi asupan pendidikan yang dapat membuat mereka sadar dan memahami, betapa Indonesia dianugerahi Tuhan sebagai banga yang kaya dengan keanekaragaman. Mulai dari suku, bahasa, budaya, hingga agama/kepercayaan. Ritual-ritual seperti upacara bendera, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengheningkan cipta, hormat pada bendera merah putih dan lain sejenisnya harus senantiasa dilestarikan dan dijaga. Ritual-ritual dalam pendidikan tersebut begitu kaya makna sebagai wujud penghormatan kita kepada para pahlawan dan pejuang bangsa. Untuk senantiasa mengenang jasa para pahlawan dan pejuang bangsa, sebagai bekal dan pengingat bagi kita, khususnya para regenerasi bangsa di sekolah, agar dapat terus melanjutkan dan mengisi kemerdekaan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayan dan pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan harus dapat memastikan seluruh sekolah yang berada dalam naungannya dapat mengilhami spirit kebangsaan dan cinta tanah air. Pemerintah harus menindak tegas sekolah-sekolah yang mempunyai kebijakan menghapus berbagai ritual yang tadi disebutkan. Berbagai komponen penunjang dalam proses pembelajaran, seperti kurikulum, bahan ajar, metode dan lain sebagainya dapat dipastikan memuat hal-hal yang positif dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika harus menjadi bekal hidup para pelajar di sekolah. Keempat pilar kebangsaan ini merupakan hasil jerih payah para founding fathers dalam upaya mempersatukan komponen bangsa. Hanya dengan keempat pilar kebangsaan inilah kita sekalian akan bersatu dan terhindar dari keterpecahbelahan. Untuk itulah para Kepala Sekolah dan guru, yang menjadi tumpuan utama para pelajar untuk senantiasa menjaga komitmen dan konsistensi pada empat pilar kebangsaan. Guru harus bisa menjadi teladan para siswanya, bersikap baik, jujur dan berakhlak mulia. Pendidikan Agama Islam (PAI) yang selama ini dijadikan mata pelajaran pokok di setiap sekolah, harus dapat memuat materi-materi pencerahan yang berspiritkan nilai-nilai iklusif dan toleran. PAI harus bisa mengakomodir pesan keberagaman sebagaimana digambarkan Al-Qur’an. PAI harus bisa mendorong sebuah persaudaraan di antara umat beragama. Perbedaan agama dan keyakinan yang selama ini ada jangan sampai menimbulkan fanatisme buta. Sebaliknya, melalui PAI para pelajar akan tumbuh sikap saling menghargai dalam menyikapi perbedaan. Tak kalah penting dari itu semua, pihak sekolah juga harus menjamin keberlangsungan kegiatan ekstrakurikuler para siswa. Tidak boleh ada ekstrakurikuler dan kegiatan-kegiatan di dalamnya yang memuat syiar kebencian dan fanatisme. Istilah-istilah dalam Islam seperti ‘jihad’, ‘kafir’, ‘dhillun’ (sesat), ‘musyrik’, dan lain sejenisnya tidak boleh dipahami secara sembarang. Para guru harus dapat memberikan pemahaman yang tepat dan kontekstual berkenaan dengan istilah-istilah tersebut. Karena kalau tidak, akan terjadi kesalahpahaman yang sangat fatal. Selain Kemendikbud, peran dan kontribusi Kemenag, dalam hal ini juga sangat diperlukan. Dalam konteks yang lebih luas, Kemenag harus dapat mempersatukan semua tokoh dan komponen dari berbagai agama dan kepercayaan. Tidak boleh ada penghakiman sepihak di antara kita, karena kita saudara. Sikap mudah berburuk sangka harus dinetralisir yakni dengan melakukan tabayun (klarifikasi) sebelum membuat kesimpulan. Untuk itu selain diperlukan wawasan yang toleran dan terbuka, para pelajar juga perlu diajak untuk melihat dan merasakan bagaimana kondisi ril dari beragam agama dan kepercayaan. Sebab para pelajar adalah modal yang dapat menentukan naib bangsa Indonesia ke depan. Para pelajar harus dididik dan dipupuk menjadi pribadi yang toleran, menghargai perbedaan dan menyongsong perbedaan. Para pelajar harus diarahkan pada kerja-kerja sosial kemanusiaan, agar sikap toleran mereka dapat terbangun. Misalnya dengan melakukan kunjungan ke berbagai tempat ibadah, dialog pelajar lintas agama, kemah persaudaraan pelajar antar agama, bakti sosial, olimpiade mata pelajaran dan lain sebagainya. Insya Allah, jika pendidikan kita terjaga dan muatan kurikulumnya berspiritkan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas, ke depan pendidikan kita akan maju dan menjadi contoh pendidikan dunia, sebagai corak pendidikan yang dapat mendidik para pelajarnya untuk dapat menghargai sekaligus menyongsong perbedaan serta keberagaman. Wallahu a’lam bis-Shawab. (*)   *) Khadim Al-Ma’had Pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan, Ciwaringin. Penulis di Penerbit Quanta, Elex Media Komputindo, Kompas-Gramedia, Jakarta.

Tags :
Kategori :

Terkait