Oleh Amirudin Mahmud* DPR dan martabat bangsa adalah dua hal penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. DPR yang kepanjangan Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga negara yang berperan sebagai legislator di setiap jenjang kepemerintahan dari pusat sampai daerah. DPR merupakan lembaga legislatif yang mewakili rakyat. Dalam DPR, rakyat pilihan yang biasa dikenal dengan wakil rakyat berkumpul menyuarakan, memperjuangkan rakyat yang diwakilinya. Mereka terpilih lewat proses yang tidak mudah. Pemilihan umum menyeleksi mereka secara demokratis Sedangkan martabat bangsa merupakan sesuatu yang harus dijaga, dijunjung tinggi oleh setiap warga negara, anak bangsa. Martabat adalah tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. Harkat adalah segala sesuatu atau usaha yang dapat menaikkan kedudukan. Sementara Derajat adalah keududukan itu sendiri, yang berupa kemuliaan, tarif, mutu dan nilai. Martabat bangsa dapat dipahami sebagai harkat, harga diri, dan nilai sebuah bangsa dan negara. Akhir-akhir ini DPR dan martabat bangsa menjadi perbincangan khalayak. Adalah Setya Novanto dan Fadli Zon, ketua dan wakil ketua DPR RI dianggap telah merendahkan martabat diri dan bangsa di hadapan masyarakat dunia. Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua Fadli Zon menghadiri acara sumpah kesetiaan kandidat Presiden Amerika Serikat dari kubu Republik, Donald Trump, Kamis, 3 September 2015. Wajah Setya Novanto terekam di sejumlah foto yang ditayangkan media massa, seperti Reuters,CNN, dan Business Insider. Berpakaian setelan jas warna biru donker dan dasi bintik-bintik putih dengan warna dasar ungu muda, Setya berdiri di sebelah kanan Trump. Di hadapan wartawan usai pengambilan sumpah setia kepada kubu Republik, Trump kemudian memperkenalkan Setya kepada para wartawan. Pria ini Ketua DPR Indonesia, datang ke sini untuk bertemu saya. Setya Novanto, salah satu orang paling berpengaruh dan sosok yang besar, kata Trump seperti dikutip dari Business Insider, Jumat 4 September 2015. Dia dan rombongannya ke sini untuk bertemu saya hari ini dan kami akan melakukan satu kegiatan besar untuk Amerika Serikat, begitukah?” kata Trump kepada Setya, politikus Partai Golkar. Yes, Setya menjawab. Trump melanjutkan pertanyaannya, apakah orang di Indonesia menyukai saya? Setya menjawab singkat, Ya, sangat. Terima kasih. Menuai Banyak Kritik Kehadiran ketua dan wakil DPR RI dalam rangkaian kegiatan kampanye bakal calon presiden Amerika dari partai Republik, Donald Trump menuai banyak kritik. Tindakan Setya Novanto- Fadli Zon dinilai oleh banyak orang sebagai perbuatan merendahkan diri sendiri. Lebih lagi, keduanya representasi dari bangsa Indonesia. Donald Trump pun menyebut-nyebut Indonesia terhadap keduanya. Pertemuan itu dengan jelas menggambarkan superior Donald Trump sekaligus minior Setya Novanto dan Fadli Zon. Keduanya seperti mati kutu. Keduanya tak lebih sekadar numpang berselfi ria dengan capres Amerika yang dikenal rasis, anti Islam, dan anti kulit nonputih. Sangat ironis, ketua dan wakil DPR yang terhormat dipertontonkan hanya untuk mengakui kehebatan dan superior Trump. Sangat memillukan beliau berdiri sambil tersenyum sekadar mengiyakan pertanyaan sang capres. Dan itu mewakili bangsa kita. Sejumlah kalangan mempertanyakan, termasuk anggota dewan sendiri. Lebih-lebih, karena mereka berdua ke Amerika dalam rangka mengikuti 4 tahun Word Conference of Speakers of Inter Parliamentary. Sebuah kegiatan studi banding ke PBB untuk mencari jalan keluar kesulitan ekonomi global. Perjalanan dinas itu jelas menelan anggaran negara yang tak sedikit. Kenapa tidak dimanfaatkan secara maksimal? Kenapa musti merendahkan diri di depan bakal capres congkak semisal Donald Trump? Setya Novanto dan Fadli Zon dianggap telah melanggar kode etik dewan. Berbagai kalangan meminta keduanya mempertanggungjawabkan dengan meminta maaf, bahkan mengundurkan diri dari kepemimpinan dewan. Mereka dinilai telah merendahkan martabat bangsa. Memang sebuah Ironi, anggota dewan yang terhormat merendahkan martabat bangsanya sendiri. Pelajaran Berharga Kasus Setya Novanto-Fadli Zon memberikan banyak pelajaran bagi kita. DPR yang memiliki kedudukan tinggi di tengah-tengah kehidupan bangsa harus selalu dijaga kehormatannya. Menjaga kehormatan DPR bukan saja menjadi tanggung anggotanya, tapi kita semua. Dan menjaga kehormatan DPR berarti juga menjaga martabat bangsa. Berikut pelajaran yang bisa diambil dari kasus itu, pertama, membangun kesadaran menjaga martabat bangsa. Martabat bangsa ibarat ruh kita yang harus dipertaruhkan bila ada yang mengusiknya. Martabat bangsa harus diposisikan di atas segala. Karena pada hakekatnya martabat bangsa merupakan jati diri kita sendiri. Kedua, membangun kesadaran memberi keteladanan. Para pejabat negara atau orang yang memilki posisi di tengah masyarakat hendaknya menyadari bahwa mereka adalah orang yang ditokohkan. Selayaknya memberi teladan bagi yang lain. Segala tindak laku harus dipikirkan terlebih dahulu. Sebab mereka selalu diperhatikan dan menjadi sorotan. Kasus ini harusnya menjadi peringatan bagi anggota dewan yang lain, juga kita semua. Ketiga, mengingatkan politik bebas aktif yang bermartabat. Artinya walau politik luar negeri menganut bebas aktif, tapi tetap harus bermartabat. Kita harus mampu memposisikan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan negara lain. Bukankah bebas berarti kita merdeka, tidak tertekan?Apalagi bila diintervens, atau direndahkan? Akhir kata, DPR sebagai lembaga tinggi negara yang harus dihormati, seiring dengan kehormatan dan martabat bangsa. Keduanya adalah hal penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dijaga bersama siapa pun kita. (*) *) Penulis adalah alumni IAIN Walsongo Semarang, tinggal di Indramayu
DPR dan Martabat Bangsa
Rabu 09-09-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :