Peluang Jual Beli Perkara Naik

Senin 21-09-2015,09:00 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Terkait Wacana Revisi KUHP, Kewenangan Kejagung Meningkat JAKARTA- Rencana me-revisi KUHP dipandang kian melebarkan ruang gelap sistem peradilan. Salah satunya, jual beli perkara yang diprediksi kian marak karena kewenangan Kejaksaan Agung (Kejagung) meningkat. Di sisi lain, perbaikan sistem pengawasan pada Kejagung tidak ada dalam revisi KUHP tersebut. Dalam revisi KUHP itu, tugas dari jaksa kian banyak. Mendampingi polisi dari proses penyelidikan hingga penyidikan, lalu melakukan penuntutan. Berbeda dengan tugas jnaksa saat ini yang hanya menghadapi hakim di meja hijau. Komisioner Komisi Kejaksaan (Komjak) Indro Sugianto menjelaskan, sebenarnya secara internal kejaksaan itu telah berupaya untuk ikut mendampingi proses penyelidikan dan penyidikan. Dibuatkan aturan jaksa agung, namun oleh kepolisian dipandang aturan itu hanya mengikat jaksa. “Sekarang poin itu masuk ke revisi KUHP. Ini memang secara teori akan membantu sistem peradilan, sebab jaksa yang harus bertanggungjawab saat di pengadilan,” terangnya. Namun, masalahnya saat ini keterbukaan publik dari Kejagung sendiri perlu dipertanyakan. Dengan tanggung jawab yang makin besar, maka seharusnya akses masyarakat pada informasi publik di Kejagung juga harus diperbesar. “Berapa kasus yang ditangani, berapa kasus yang berhenti, dan berapa kasus yang tidak dilanjutkan kepolisian. Masyarakat sama sekali tak mengetahuinya,” paparnya. Ketidakterbukaan ini selama ini dipandang berhubungan dengan ruang gelap yang ada di Kejagung. Berbagai permaianan perkara dilakukan, jual beli perkara hingga adanya deal tertentu. “Karena itu menjadi begitu aneh saat tugasnya makin besar, tapi keterbukaan publiknya masih samar-samar. Di kalangan advokat ada yang mengeluhkan ini yang mengurus kasus makin banyak,” ujarnya. Yang menggelikan, hingga saat ini bila ada kasus yang berhenti ditengah jalan, apakah pernah Kejagung menjelaskan penyebabnya. Seharusnya, Kejagung menjelaskan penyebab­nya, bila ternyata karena berhenti di kepolisian. Maka, kepolisian juga bisa meresponnya. ”Misalnya, menje­las­kan kasusnya tidak kunjung dilim­pahkan ke kejagung. Polisi juga bisa menjawab itu semua,” tuturnya. Apalagi, ternyata dalam revisi KUHP tidak mengakomodir perbaikan sistem pengawasan terhadap penegak hukum di Indonesia. Seharusnya, dampak revisi undang-undang, dalam hal ini KUHP itu juga dipikirkan. Bagaimana bila Kejagung tugasnya kian besar, tapi pengawasannya tidak bisa sebesar itu. “Ini yang sering kali luput dilakukan legislative,” jelasnya. Kalau jaksa bisa bergerak ditingkat penyelidikan dan penyidikan, namun pengawasnya tidak bisa tentu sama saja dengan membiarkan jaksa sewenang-wenang. “Karena itu seharusnya dibentuk komisi peradilan, yang tugasnya mengawasi sistem peradilan dari penyidikan hingga vonis di pengadilan. Ini menggabungkan antara Komisi Yuduial, Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Kejaksaan,” tegasnya. Sementara Kepala Biro Hukum dan Luar Negeri Kejagung Jan Marinka menjelaskan, sebenarnya revisi KUHP ini bukan untuk Kejagung. Tapi, untuk masyarakat pencari keadilan. Sebab, selama ini banyak pelanggaran dalam penangkapan dan penahanan. “Akhirnya, mengganggu keadilan,” ujarnya. Terlebih lagi, sering kali ada bolak-balik berkas perkara. Dalam KUHP tidak ada batas waktu untuk masalah tersebut. “Akhirnya, penanganan menjadi lama dan penahanan juga lama,” tuturnya. Terkait masih gelapnya kejagung untuk masyarakat, dia menyebutkan bahwa Kejagung sejak awal sudah mempersiapkan diri. Sistem perekrutan sudah dibenahi, transparansi juga lebih baik dan pengawasan juga telah ada. “Semua sudah terpenuhi kok, apalagi rekrutmen jaba­tan tertentu Komjak juga dilibat­kan,” kilahnya. (idr)

Tags :
Kategori :

Terkait