Ada Lagi Nih, Ribuan Warga Argasunya tanpa Akta Nikah

Rabu 30-09-2015,11:30 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Muncul Istilah; Sudah Nikah Urat, Belum Nikah Surat Wilayah Argasunya, Kecamatan Harjamukti, menjadi kawasan paling selatan dari Kota Cirebon. Tradisi bernuansa Islami memang masih melekat erat dalam kehidupan sebagian besar masyarakat setempat. Salah satunya pernikahan. Terpenting sah secara agama, kehidupan rumah tangga terus berjalan. YUSUF SUEBUDIN, Cirebon HINGGA saat ini, ada sekitar dua ribu penduduk Argasunya tidak memiliki akta nikah. Sejak tahun 2013, perubahan sistem pernikahan dilakukan. Dalam agama Islam, rukun pernikahan yang dapat menjadikan sah terdiri dari lima hal. Yaitu adanya pengantin laki-laki, ada pengantin perempuan, ada wali, ada dua orang saksi laki- laki dan ijab kabul atau akad nikah. Jika ini dilakukan dengan syarat pernikahan lainnya, kedua insan tersebut dianggap sah secara agama sebagai pasangan suami istri. Mereka diperbolehkan membina rumah tangga hingga berketurunan. Namun, hal itu tidak cukup bagi negara Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan mewajibkan pernikahan tercatat dalam hukum negara. Hal ini menjadi kendala di kemudian hari bagi warga yang menikah secara siri atau nikah agama saja. Koran ini mendapatkan data tentang ribuan warga Argasunya yang belum terdaftar pernikahannya saat proses isbat nikah (penetapan secara hukum negara terhadap pasangan yang nikah agama atau siri) yang dilakukan, Senin (28/9). Banyak di antara mereka warga Kopiluhur, Sumurwuni, Benda, dan Cibogo, (semuanya masuk wilayah administratif Kelurahan Argasunya), yang belum punya buku nikah. Tak heran, saat proses isbat nikah, rona ceria dihiasi senyum malu-malu layaknya pengantin baru, menghiasi wajah dua puluh orang peserta isbat nikah. Secara hukum isbat nikah dilakukan di Pengadilan Agama (PA) Kota Cirebon. Sebanyak 20 orang peserta isbat nikah itu berangkat dari titik kumpul kantor Kelurahan Argasunya. Menggunakan bus Unswagati, mereka menuju kantor PA Kota Cirebon di Jl Cipto. Seusai sidang isbat nikah, mereka kembali ke titik kumpul awal, di kantor Kelurahan Argasunya. Salah satunya dari puluhan pasangan yang mengikuti isbat nikah itu adalah Abdul Salim. Pada usia yang menginjak 51 tahun, dia baru menikah secara negara. Meskipun, sejatinya Abdul Salim sudah menikah dengan istrinya pada sekitar 25 tahun silam. “Saat itu saya menikah kiyai. Saat anak mau masuk sekolah, baru kebingungan,” ucapnya menggunakan Bahasa Cirebon yang kental. Selain menjadi budaya di sekitar rumahnya, Abdul Salim tidak memiliki cukup biaya untuk membuat akta nikah maupun akta lahir. Pernikahannya menjadi sempurna. Sah di hadapan agama dan negara. Karena itu, Abdul Salim sangat bahagia. Betapa tidak, segala proses pendidikan dan berbagai kebutuhan lainnya, dapat berjalan dengan lancar. Termasuk, anak sulungnya yang akan masuk kuliah. “Anak saya mau kuliah,” ucapnya. Abdul Salim termasuk salah satu pria yang beruntung. Sebab, masih ada ribuan warga lainnya di Kelurahan Argasunya yang tidak memiliki akta nikah. Abdul Salim mendapatkan fasilitas dari program yang dilakukan Fakultas Hukum (FH) Unswagati Cirebon. Lurah Argasunya H Masduri SSos mengatakan, dari 20 pasang kuota yang diberikan FH Unswagati, hanya 10 pasang saja yang memenuhi syarat. Sedangkan, dari 80 akta lahir yang difasilitasi, hanya 7 orang yang memanfaatkan. “Rata-rata usia mereka di atas 40 tahun. Ada yang usia di atas 50 tahun,” terangnya kepada Radar seusai menerima 10 pasang peserta isbat nikah di kantor Kelurahan Argasunya. Selain 10 pasang yang telah resmi isbat nikah, ada ribuan pasang lainnya yang belum memiliki akta nikah. Masduri mencatat, setidaknya ada 2 ribu warga Argasunya tidak memiliki akta nikah. Hal ini karena wilayah selatan Kota Cirebon ini masih bernuansa budaya religius yang masih kental. “Mereka merasa cukup dengan sah di hadapan agama (kiyai, red). Sehingga enggan mengurus akta nikah. Padahal itu penting untuk tertib administrasi,” tukasnya. Memasuki tahun 2013, Kelurahan Argasunya membuat kebijakan. Pasangan yang menikah harus dipaketkan antara sah di hadapan agama melalui kiyai dan sah di hadapan negara melalui petugas penghulu atau petugas KUA. Tapi faktanya, saat ini masih ada dua ribu warga Argasunya yang masih belum memiliki akta nikah. Meskipun demikian, lanjut Masduri, Kelurahan Argasunya tetap membuat akta lahir saat anak mereka akan masuk sekolah. Tetapi, dalam akta lahir tersebut hanya tertulis nama ibu. Tanpa nama ayah. “Aslinya keluarga harmonis. Tidak bercerai dan menikah sah secara agama. Tapi tidak boleh mencantumkan nama ayah tanpa akta nikah,” terangnya. Masduri berharap, Pemkot Cirebon memikirkan solusi anggaran untuk pembuatan akta nikah mereka, termasuk dari APBD. Dekan Fakultas Hukum Unswagati Prof Dr Ibnu Artadi SH MHum mengatakan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan pada Pasal 2 ayat (1), pernikahan sah jika sesuai dengan hukum agama masing-masing. Dalam ayat (2) menyebutkan pernikahan didaftarkan kepada pejabat yang berwenang. “Mereka tidak mendaftarkan. Kami memfasilitasi mereka untuk mendapatkan pengakuan secara hukum negara,” ujarnya. Rektor Unswagati Prof Prof Dr H Djohan Rochanda Wiradinata MP menyatakan, akta nikah menjadi pintu gerbang pembuatan akta lahir. Meskipun telah difasilitasi, antusiasme warga Argasunya tidak sesuai harapan. Padahal, usia tua tetap memerlukan akta nikah. Hal ini untuk kepastian hukum dan dilindungi pemerintah. Termasuk untuk syarat mendaftarkan haji. Kedepan, Djohan berharap kerjasama isbat nikah tidak hanya dengan kelurahan, tetapi meluas hingga tingkat Kota Cirebon. Ketua Pelaksana Isbat Nikah Juju Djuariah SH MH mengatakan, proses dilakukan sejak Maret 2015. FH Unswagati menyiapkan anggaran untuk 20 pasang pembuatan akta nikah dan 80 peserta akte lahir. Perkiraan panitia peserta akan membludak. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. “Peserta isbat nikah hanya 10 pasang. Pembuatan akte lahir hanya 7 orang,” ucapnya. Hal ini terkendala syarat untuk membuat kedua dokumen resmi negara tersebut. Mulai dari siapa yang menikahkan, fotokopi KTP suami istri, hingga wali nikah dan saksi saat itu, semua harus jelas. Hal ini harus terus disosialisasikan. Pemerintah harus bekerjasama dengan tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman baru. Akta nikah penting dan wajib. Pengamat sosial Bayu Pradana SSos MSi mengatakan, dalam budaya masyarakat dengan sisi religius yang kuat, norma agama akan selalu menjadi prioritas. Karena itu, diperlukan masukan intervensi pemerintah dalam berbagai kebijakannya. Sosialisasi yang dilakukan tidak harus bersifat formal, tetapi menyesuaikan kondisi dan kultur masyarakat setempat. Seperti di wilayah Argasunya, dengan konsep dasar norma agama yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, menjadi tidak mengherankan jika mereka hanya mementingkan legalitas pernikahan dari sisi agama. Norma hukum dalam aturan negara, tidak lagi menjadi prioritas. Karena itu, lanjut Bayu, ada semacam norma yang tidak tertulis tetapi berlaku di wilayah dengan budaya religius dan norma agama yang kental. Dimana, nikah secara tersurat dalam akta pernikahan bukan hal utama. Terpenting, sah sesuai aturan agama. Dengan kata lain, lazim disebut pernikahan sah setelah akad nikah dan ijab kabul. Bahkan mereka memiliki beberapa anak tanpa memiliki legalitas surat akta nikah sepanjang waktu itu. “Secara urat sudah, menikah secara surat belum. Ini masih menjadi budaya dalam masyarakat seperti di sebagian besar wilayah Argasunya,” ujarnya. Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon Eti Herawati atau akrab disapa Eeng Charli mengatakan menjadi hal yang perlu diperjuangkan saat mengetahui dua ribu warga Kelurahan Argasunya tidak memiliki akta nikah. Padahal, surat administrasi bukti legalitas pernikahan di hadapan hukum negara itu sangat penting. Seperti, sebagai dasar pembuatan akta nikah, akta lahir dan dokumen kependudukan lainnya. Karena itu, politisi NasDem ini akan memperjuangkan dalam anggaran APBD murni tahun 2016, agar ada dana untuk pembuatan akta nikah mereka. “Akta nikah sangat penting. Ini harus diperjuangkan dalam anggaran,” ucapnya kepada Radar melalui sambungan telepon di Balikpapan, Selasa (29/9). Selama ini, kawasan selatan Kota Cirebon itu memang jarang tersentuh berbagai program kebijakan secara langsung. Eeng Charli berharap, SKPD terkait untuk memfokuskan diri dalam menyelesaikan persoalan yang ada di Argasunya dan sekitarnya. Mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, kependudukan dan pemberdayaan ekonomi. Jika anggaran dari APBD murni 2016 tidak dapat mencakup semua, setidaknya secara bertahap penganggaran untuk pembuatan akta nikah dilakukan. “Pemkot Cirebon harus berperan. Kami akan mendukung penuh semua program yang pro rakyat,” ujarnya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait