Lebih Bahaya dari Asap Kebakaran Hutan

Selasa 06-10-2015,14:31 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

Dinkes Heran, Tes Dua Kali Hasilnya Aman KEJAKSAN - Keberadaan bongkar muat batubara memiliki efek negatif bagi masyarakat Kota Cirebon, khususnya warga pesisir Samadikun. Secara kesehatan, debu batubara sangat riskan dan penyebab utama meningkatnya penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang berpotensi menyebabkan pasien meninggal. Kepala Dinas Kesehatan Kota Cirebon dr H Edy Sugiarto MKes mengatakan, polusi udara atau polutan dari knalpot kendaraan membahayakan bagi kesehatan. Terlebih ditambah debu batubara yang sangat menyesakan. Pihaknya mengkhawatirkan anak SD dan TK yang berada di sekitar Pelabuhan Cirebon, tempat batubara dibongkar muat. “Wilayah Pesisir Samadikun banyak SD dan TK yang berdampak signifikan. Termasuk bayi mereka. Ini mengancam masa depan, kesehatan dan nyawa mereka,” tukasnya. Secara umum, Edy Sugiarto menyatakan tingkat penderita ISPA di Kota Cirebon kategori tinggi. Hal itu bukan hanya karena debu batubara, melainkan juga karena asap knalpot kendaraan, industri dan pembakaran sampah. Khusus di wilayah Pesisir Samadikun, penderita ISPA dipastikan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Terkait hal ini, ujarnya, Dinkes Kota Cirebon tidak dapat berbuat banyak. Meminimalisasi itu, Edy menyarankan agar memakai masker dan menghindari debu yang berterbangan pada jam tertentu. “Bagi penduduk setempat sangat sulit. Debu batubara lebih bahaya dari asap kebakaran hutan,” bandingnya. Karena itu, dia memberikan masukan untuk solusi kondisi seperti itu. Yakni dengan mengevaluasi keberadaan batubara. Hal ini, ujar Edy Sugiarto, menjadi satu-satunya solusi mengatasi dampak debu bongkar muat batubara. “Terserah seperti apa kebijakannya. Terpenting kesehatan warga harus diperhatikan secara serius. Dari sejak bayi harus menghirup debu batubara. Ini sangat membahayakan,” jelasnya. Meskipun demikian, lanjut Edy, puskesmas di wilayah Pesisir Samadikun menggelar pengobatan rutin. Edy Sugiarto menceritakan, saat waktu lalu Dinkes bersama Kantor Lingkungan Hidup (KLH) Kota Cirebon mendampingi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup RI melakukan tes dan cek lapangan. Saat tiba di lokasi dan memeriksa wilayah sekitar, ternyata tidak ada debu. Artinya masih di bawah batas ambang dan diperbolehkan. “Saat dites mereka tidak aktivitas. Atau bisa jadi ada yang membocorkan, jadi bersiap dulu. Dari Kemenkes dan kementerian LH dua kali, hasilnya tetap ambang batas masih aman,” paparnya. Padahal, kata Edy, kondisi sebenarnya tidak dapat dibohongi. Untuk itu, Dinkes Kota Cirebon harus bersikap objektif. Edy menjelaskan, warga sebenarnya sangat terdampak dan merasakan penyakit ISPA akibat debu batubara. Selama membahayakan populasi kesehatan warga, sepanjang itu pula menjadi kewenangan Dinkes Kota Cirebon. Sejak menjabat lima tahun lalu hingga saat ini, Edy Sugiarto tidak pernah menerima dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari PT Pelindo II Cirebon. Meskipun demikian, Dinkes tidak mengharapkan itu. Terpenting kesehatan warga dapat kembali normal. “Belum pernah ada CSR dari Pelindo ke Dinkes. Tidak apa-apa. Evaluasi bongkar muat batubara. Kalau ingin menyelamatkan kesehatan warga Kota Cirebon,” ucapnya. Ketua RW 10 Samadikun Selatan Kelurahan Kesenden Lukman Santoso mengatakan, setiap hari warganya harus membersihkan rumah dari debu batubara. Hal ini menjadi rutinitas harian. Tidak hanya bayi, anak kecil hingga orang dewasa yang merasakan dampak debu batubara dan menderita penyakit ISPA, bau batubara semakin menyengat saat terbawa angin. “Mau tidak mau kita hirup. Kasihan bayi dan anak kecil. Banyak yang sakit karena debu batubara,” ucapnya. Karena itu, Lukman dan warga pesisir Samadikun sangat mendukung penutupan bongkar muat batubara. (ysf)

Tags :
Kategori :

Terkait