PADA semester pertama, kita melihat pemerintah membuat sederet gebrakan kebijakan ekonomi sebagai jawaban atas kondisi ekonomi yang terus melemah. Kita selalu berharap gebrakan kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah mampu menjadi jawaban pelambatan ekonomi yang berkepanjangan. Dimulai dari paket kebijakan ekonomi yang ditunjukan untuk memperkuat nilai tukar rupiah (Maret 2015), diikuti oleh paket ekonomi jilid satu (Mei 2015), paket ekonomi jilid dua (September 2015) dan segera disusul paket ekonomi jilid tiga. Paket ekonomi jilid dua merupakan lanjutan dari paket ekonomi jilid satu yang berfokus pada penajaman konkritisasi upaya penguatan daya saing industri dan mengangkat daya beli masyarakat yang kian melemah. Salah satu stimulus dari paket ekonomi jilid dua adalah penurunan Tarif Dasar Listrik (TDL). Belakangan pemerintah melalui PT Perusahaan Listrik Negara (persero) menurunkan tarif listrik golongan industri mulai 1 Oktober 2015. Penurunan TDL itu untuk golongan tegangan rendah, menengah dan tinggi. Ditambah lagi, adanya keinginan pemerintah untuk menurunkan harga BBM juga dinilai baik. Di tengah apesnya kinerja sektor produksi, kita berharap penurunan TDL dapat segera mampu menjadi stimulus berbagai jenis sektor industri. Penurunan TDL ini setidaknya sebagai upaya penguatan sisi suplay (sisi produksi) atau penguatan daya saing industri. *** Sekadar mengingatkan, bahwa data global selalu menunjukan situasi memprihatinkan tentang daya saing perekonomian Indonesia di pentas global. Dalam survei rutin yang diadakan oleh International Institute for Management Development, dari tahun ke tahun daya saing ekonomi Indonesia secara terus menerus berada di urutan bawah. Dan lebih memprihatinkan lagi, kian lama keududuaknnya semakin merosot. Pada tahun 2007 Indonesia malah sudah menyentuh titik dasar dengan menempati urutan ke 54 dari 55 negara yang disurvei. Hanya seurat lagi Indonesia sudah akan menduduki peringkat negara dengan perekonomian paling tidak berdaya saing. Sekarang pun Indonesia sudah menempati urutan terbawah di lingkungan Asia Pasifik maupun Asia Tenggara. Dengan posisi seperti ini, bagaimana mungkin sebagian pejabat dan politisi kita masih bisa mengatakan bahwa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi yang paling menarik? (Faisal Basri, 2008). *** Rapuhnya daya saing ekonomi Indonesia dalam berbagai aspek menjadi sangat rentan gejolak global. Anjloknya nilai tukar rupiah yang berkekuatan memukul sektor produksi menjadi buktinya. Namun kondisi ekonomi saat ini tidak hanya memukul sektor produksi, tetapi juga sisi daya beli atau permintaan rakyat. Di sinilah penguatan sisi suplay juga harus pula diikuti penguatan sisi demand (daya beli rakyat yang lemah). Mengingat bahwa pelemahan ekonomi terjadi pada sisi suplay dan demand. Penguatan pada sisi demand ini berupa perlunya bantalan jangka pendek yang mempu mengangkat daya beli masyarakat dan juga membendung gelombang PHK susulan. Buruknya sisi demand dialami terutama oleh masyarakat ekonomi menengah ke bawah, Anjloknya deman ini bisa dilihat dengan tingginya harga pangan menjadi pemicu bagi tingkat inflasi bahan makanan (volatile food) pada agustus 2015 hingga menyentuh angka 9,27 persen (yoy). Bisa kita bayangkan, tingginya harga pangan dan lemahnya daya beli rakyat di tengah pukulan lesunya kinerja sektor produksi membuat kondisi ekonomi menjadi stagnan. Dalam kondisi ekonomi yang lemah ini, pemerintah sedang membutuhkan banyak cara dan opsi yang mampu mendorong perbaikan jangka pendek. Hingga sampai saat ini, anjloknya nilai tukar rupiah tak kunjung mendapat tangga naiknya. Rupiah anjlok hingga Rp.14.700 per dolar AS. Kondisi ekonomi kita menandakan bahwa krisis ekonomi sudah ada di pelupuk mata. Pemutusan hubungan kerja semakin mengancam. Kemiskinan pun bertambah. Dalam jangka pendek kita membutuhkan bantalan agar ketika krisis semakin dalam, ekonomi kita tidak jatuh terlampau dalam. *** Persoalannya, dalam menimbang paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah, sebagian besar paket yang diluncurkan membutuhkan waktu yang cukup lama dalam implementasinya. Kemungkinan hasilnya bisa dirasakan pada tahun depan. Itupun jika ekonomi kita tahun ini tidak betul-betul masuk ke perangkap krisis yang semakin dalam. Sebab kepungan eksternal masih tetap menghantui ekonomi domestik. Dengan melihat asumsi dan pemetaan yang demikian, idealnya kebijakan yang dibuat pemerintah harus berupa bantalan yang mampu menjadi penyanggah kaki ekonomi yang kian goyah. Jika pemerintah tidak berhasil membuat bantalan semacam ini, bisa kita bayangkan, sedikit saja ekonomi kita bisa roboh akibat gelombang eksternal yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Ini kemungkinan yang pasti bagi Indonesia, apalagi kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki fondasi dan struktur ekonomi yang amat rapuh. Kebijakan yang menggiring investasi, debirokratisasi, deregulasi, penguatan nilai rupiah adalah sederet kebijakan yang dianggap sebagian kalangan sebagai paket ekonomi yang tidak akan mampu dengan segera menjadi solusi persoalan ekonomi day to day. Melainkan paket ekonomi yang hasilnya jangka panjang. Penurunan TDL atau BBM adalah langkah yang tepat untuk jangka pendek. Pemerintah tidak boleh ragu jika harus menurunkan harga BBM, apalagi demi menyelamatkan nasib jutaan rakyat Indonesia. Inflasi semester satu 2015 terutama dipicu oleh kenaikan BBM yang dilakukan pemerintah Jokowi pada awal pemerintahannya. (*) *) Pengurus Yayasan Wakaf Manba’ul ‘Ulum Cirebon, Pendiri dan Mantan Direktur I PT WF Indo. Twitter @sahabatWahyudi
Menurunkan Harga TDL dan BBM
Jumat 09-10-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :