BELA dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah kata yang arkeis. Arkeis adalah suatu bentuk kata yang tidak lazim, yang oleh karenanya seringkali perlu dibubuhi awalan atau akhiran agar menjadi lazim. Bela yang diawali oleh awalan me- memiliki arti menjaga, merawat, dan memelihara. Bela yang ditambahi dengan permulaan pe- menjadi bermakna orang yang merawat dan menjaga. Sedangkan bela yang diberi awal pe- dan akhiran –an secara harfiah dipahami sebagai proses, cara, dan perbuatan merawat. Baru-baru ini, tepatnya 22 Oktober 2015 atau bertepatan dengan Hari Santri Nasional, kata bela menjadi trending topic (dalam bahasa twitter). Sebab pemicunya adalah diluncurkannya “Program Bela Negara” oleh Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan. Entah direncanakan atau tidak, yang jelas, asumsi yang berkembang menyebutkan bahwa peran santri, ketika resolusi jihad dan utamanya ketika memberangus Komunis, dinilai tepat sebagai percontohan dari bela negara tersebut. Soal yang muncul kemudian adalah apa yang menjadi alasan mengapa program bela negara itu diluncurkan? Bukankah saat ini kondisi negara Indonesia tidak sedang dalam keadaan perang. Bukankan tidak ada satu pun ancaman militer dari negara lain yang siap membobardir kedaulatan? Hal itu dijawab oleh Ryamizard sebagai upaya membentuk kader mewujudkan Indonesia yang kuat di tengah kompleksitas berbagai bentuk ancaman nyata. Lalu sebenarnya ancaman apa yang sedang dialami oleh negara? Asap? Kemiskinan yang kian hari kian meningkat? Atau memang karena Laut Cina Selatan sedang tegang aksi militer dari berbagai negara? Pertanyaan ini tidak sepenuhnya terjawab. Intinya, Program Negara adalah bagian dari semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Membaca Perkembangan Zaman Sejak berakhirnya perang dunia ke-2 bisa dikatakan konflik antara negara-negara secara militer telah terkikis secara perlahan. Tidak ada lagi blok barat dan blok timur. Tidak ada lagi adu kuat masa Pro-Amerika dan Pro-Soviet. Semua telah sepakat berdamai untuk kemudian berlomba-lomba dalam kegiatan yang lain. Kegiatan yang baru itu terdiri dari berbagai macam komponen. Kegiatan pembaharuan teknologi. Kegiatan peningkatan Sumber Daya Manusia yang berdaya saing. Kegiatan pengolahan Sumber Daya Alam untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Dan tentu, kegiatan yang terpenting, kegiatan dalam hal meningkatan perekonomian. Kegiatan tersebut diperkuat juga dengan pembaharuan pandangan yang menjadikan dunia tanpa batas (without-borders). Investasi antar negara sudah menjadi suatu hal yang lumrah bahkan seperti perdagangan antara kecamatan. Perusahaan multi-nasional bebas masuk ke negara yang bukan negaranya. Pekerja pun bisa melakukan kegiatannya di luar wilayah teritorial selama dibutuhkan. Pada keadaan yang global ini, hukum yang berlaku adalah siapa yang kuat itu yang menang. Jika suatu negara tidak memiliki keuangan yang kuat dan tidak bisa mengolah Sumber Daya Alamnya sendiri, maka negara lain akan berinvestasi untuk mengolah. Jika tidak ada pekerja yang mumpuni, maka pekerja atas perusahaan itu pun sekaligus diimpor sebagai paket investasi. Sistemnya tentu bagi hasil yang seringkali tidaklah sebanding dengan hasil yang sesungguhnya. Sudah rusak ekosistemnya, masyarakatnya disingkirkan, tidak dapat manfaat lagi. Dalam posisi inilah, justru ancaman yang sesungguhnya bagi rakyat di suatu negara tengah terjadi. Program Bela Rakyat Dalam teori Alain Badiou, yang terdapat dalam bukunya Being and Event, dikenal sebuah istilah penghitungan-sebagai-satu (count-as-one). Sesuatu dikatakan ‘satu’ karena ia dihitung sebagai satu. Ini soal epistemologis, soal bagaimana kita melihat yang jamak. Sama halnya dengan kata ‘bela’. Sesuatu dikatakan ‘bela’ jikalau memang itu perlu dibela. Tentunya nilai ‘ancaman’ (threat) adalah yang membuat kata ‘bela’ itu hadir. Sejauh ini ancaman tidak hadir kepada negara karena negara seringkali justeru berkolaborasi dengan koorporat atau pun investor. Pemberian data tentang investasi yang tidak sesuai lapangan oleh investor tak ayal membuat negara menyetujui proyek investasi. Akibatnya rakyatlah yang mendapat ancaman yang sesungguhnya. Ancaman itu datang dari mulai ketidakjelasan tempat tinggal, mata pencaharian, dan bahkan hilangnya harga diri karena tanahnya dikuasai dengan kekuatan kapital yang sulit dibendung. Di titik inilah perlu ada suatu inisiatif yang lebih komperhensif dan aktual. Badiou menulis bahwa saat ini “kita berhadapan, sebagaimana pada tahun 1840-an, dengan kau kapitalis sinis yang memiliki ide bahwa kekayaan adalah hal yang penting, bahwa orang miskin itu pemalas”. Sebab itu, setelah kita mendaur ulang kata bela dan mendudukannya pada kata yang benar, “Program Bela Negara” tidaklah lebih urgent daripada “Program Bela Rakyat”. (*) Penulis adalah Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute
Program Bela Rakyat !
Kamis 29-10-2015,09:00 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :