PLERED – Pengusaha mebel Kaliwulu sudah bertahan sejak ratusan tahun lalu. Namun, hingga saat ini nama mebel Kaliwulu masih kalah gaung dengan mebel dari Jepara, Jawa Tengah. Pengusaha menilai hal ini akibat kurangnya promosi yang dilakukan pemerintah terhadap mebel di Kaliwulu.
Menurut Mukmin, agar mebel Kaliwulu lebih dikenal secara nasional seperti rotan Cirebon, pengusaha mengharapkan agar pemerintah aktif mempromosikan mebel Kaliwulu. “Pemerintah bisa mengadakan pameran,” ucap pemilik mebel “Istiqomah” ini kepada Radar di rumahnya di Desa Kaliwulu, Kecamatan Plered, Kamis (16/2).
Dikatakan, sebagai tempat asal perkembangan mebel di Kabupaten Cirebon, Kaliwulu banyak ditiru dan diikuti daerah lain. “Seperti Jamblang, itu asal usulnya kan dari Kaliwulu,” ungkapnya. Mebel buatannya, sebut Mukmin, sudah sampai ke daerah-daerah lain di Pulau Jawa maupun luar Jawa seperti Kalimantan. Ia mengirim hasil-hasil mebel ke berbagai daerah atas permintaan pembeli.
Namun, sejauh ini, Mukmin belum melihat peran aktif pemerintah dalam mempromosikan dan mengembangkan mebel Kaliwulu di kancah nasional maupun lokal. Selain kurang dipromosikan, lanjutnya, kurangnya tenaga kerja menjadi masalah lain dalam mengembangkan usaha mebel Kaliwulu. Terpisah, Pejabat Kuwu Kaliwulu, Mohammad Muslimin mengungkapkan permasalahan kurang berkembangnya mebel Kaliwulu karena ketinggalan dalam pemilihan motif dan modelnya. Ia membandingkan dengan ukiran mebel Jepara yang selalu mengalami inovasi baru. Sedangkan model mebel Kaliwulu menggunakan produk lama seperti kursi sudut model Garuda. “Tapi kalau berbicara kualitas, mebel hasil Kaliwulu tidak diragukan lagi,” ujarnya.
Terkait kurangnya sosialisasi, ia selaku pejabat pemerintahan desa mengaku sudah penah mengajak para pengusaha mebel untuk mempromosikan barang-barangnya dengan cara membuat pameran. “Tapi mereka (pengusaha, red) tidak mau,” terangnya.
Disamping itu, lanjutnya, kendala di kalangan para pengusaha mebel Kaliwulu di antaranya kurangnya permodalan dan persaingan pasar di kalangan pengusaha menjadi masalah lain. “Contohnya untuk kursi sudut yang semula Rp3 juta, saat ini bisa dibeli Rp2 juta. Sementara, harga bahan dan pembuatan mencapai lebih dari Rp1,7 juta. Jadi untungnya tipis sekali. Ini akibat persaingan tingkat lokal,” terangnya. (ysf)