Batas Kota Cirebon sampai Halimpu Beber

Kamis 14-01-2016,17:25 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

KEJAKSAN - Mana batas wilayah Kota Cirebon yang sebenarnya, ternyata mulai terungkap. M Rafi SE bersama Drs Priatmo Adji dan warga perbatasan membeberkan peta Kota Cirebon yang sesungguhnya. M Rafi SE kepada wartawan menjelaskan, persoalan penandatanganan draft perbatasan kota dan kabupaten oleh Walikota Nasrudin Azis dengan Sunjaya, tidak mengedepankan dasar-dasar historis, tetapi lebih kepada kompensasi, seperti tanah Cipto belakang CSB yang merupakan milik kabupaten, tapi karena pajaknya ke kota, maka kota tetap minta bertahan dan kompensasinya Pilang Setrayasa yang dikorbankan dan diberikan ke Kabupaten Cirebon. Menurutnya, alasan historis tidak digunakan dan walikota melepaskan begitu saja, padahal data staatblat Belanda tahun 1942 sudah jelas. Konflik awal sebenarnya bermula ketika Bupati Suwendo meminta GOR Bima dikelola kabupaten karena riwayatnya masuk Desa Kalikoa. Mengacu pada staatblad Belanda 1942, maka batas Kota Cirebon bagian utara adalah sungai Kalisapu Gunung Jati, sebelah Timur sungai Kalijaga Mundu, sebelah barat adalah sungai Kemlaka, dan sebelah selatan adalah Beber. “Tuparev dulu masuknya Kota Cirebon, bahkan di Kedawung pernah terpampang plang Cirebon Coret tapi ada yang mencopotnya, karena Kedawung sebenarnya termasuk wilayah Kota,” beber Rafi. Dirinya heran Sukapura yang selama ini dijadikan patokan perbatasan kota dengan kabupaten. Padahal jika merunut sejarah, awalnya hanya aliran irigasi. Tahun 1982 mengalami banjir hingga ke Wahidin, dan akhirnya tahun 1986 dibuatlah sodetan yang awalnya irigasi. Kemudian jembatan Gunung Sari saat itu diperlebar dari Sungai Pecilon. Kemudian dibuat Jembatan Pilang dan Jembatan Tangkil. “Bahkan, Sungai Tangkil itu sebenarnya sungai buat-buatan,” ujarnya. Setrayasa, kata Rafi, dulu masuk kabupaten, tapi tukar guling dengan Klayan akhirnya Setrayasa masuk kota yang saat itu dikuasai PD Tanah (Perumda Pembangunan). Yang disayangkan, sambungnya, saat itu pelimpahannya tidak memiliki dokumen. Yang jadi pertanyaan, lanjutnya, aset tanahnya dikelola dengan baik atau tidak. PD Tanah itu menggarap bengkok-bengkok tanah. Kemudian persoalan ini lari ke Cipto, karena sejarahnya dokumen tanahnya Letter C yakni Desa Tuk di Jalan Cipto seperti SMKN 2 hingga ruko-ruko sebelahnya. Nah, itu adalah punya kabupaten, kabarnya tanah tersebut sudah dijual. “Saya menilai pendekatannya bukan historis tanah, tapi berdasarkan pendekatan deal-deal, termasuk di Jalan Cipto,” tandasnya. TB Gramedia di Jalan Cipto, Carrefour, CSB bagian belakang, mengacu draft satu masuk kabupaten. Tim kota saat itu malah tidak menyepakati draft 1 yang menggunakan pendekatan historis, tapi pendekatan pelayanan. Karena itu, dirinya menyesalkan sikap walikota yang meminta warganya menanyakan langsung ke bupati dan gubernur, padahal itu bukan kesepakatan provinsi, nyatanya hasil kompromi. “Patut disayangkan hanya sebatas kompromi,” katanya. Mantan Dewan Pengawas PDAM inipun menyesalkan pernyataan juru bicara Nasrudin Azis, Umar Stanis Clau yang menganggap peta Belanda sudah tidak relevan. “Umar di Cirebon tahun berapa? Dia tahu sejarah Cirebon apa tidak?” tegasnya. Hal senada diungkapkan Drs H Priatmo Adji. Menurut Adji, setiap masalah pertanahan di wilayah Indonesia selalu mengacu kepada status, asal usul dan riwayat tanah yang kemudian dikonsultasikan ke BPN tentang tanah tersebut, apakah girik, leter C, buku hijau, over VB, rmh+tanah  Belanda, dalam sengketa, diroya. Dalam hal sengketa perbatasan, kata Adji, seharusnya Balaikota dan DPRD mengacunya ke riwayat tanah. Karena batas-batas 2 ibukota afdeeling Cirebon mengacu Staatsblad 159/1887, 17/09/1887 (tidak ada dilampiran peta), terus diubah dengan Staatsblad 211/1897, tgl 25/08/1897, yang mengubah batas utara dan barat ibukota afdeeling Cirebon (tidak ada lampiran peta), kemudian diubah dengan Surat Keputusan Dewan Propinsi Jabar W.Ch. 121/1/2, tgl. 25/04/1929, sehingga batas-batas Kotapraja Cirebon mempunyai ketetapan baru. Yang membuatnya heran, mengapa tidak kota yang berusaha mencari peta dimaksud pada saat membahas tanah perbatasan. “Ini artinya, dalam pembahasan tidak menggunakan peta, padahal akan lebih mudah untuk memahami posisi tanah bagi masing-masing Kota dan Kabupaten,” bebernya. Keheranan lainnya, nomor-nomor suratnya ada, tapi isi dokumen tidak ada. “Mengapa dokumen menjadi tidak komplit? Harusnya dicari kalau dokumennya tidak komplit. Karena pada kenyataannya, secara fisik dunia kita ini setiap saat titik-titik koordinatnya selalu bisa bergeser. Sehingga secara berkala tanah-tanah perbatasan itu perlu diukur ulang dengan alat ukur yang lebih canggih,” ungkapnya. Adji ingin memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa mengurus masalah tanah itu wajib diawali dari melihat \"asal-usul tanah\", terlepas dari apakah kepentingan rumahnya di Taman Wahidin masuk kota atau kabupaten, yang penting baginya keputusan walikota itu benar, tidak sesat dan atau sesuai aspirasi masyarakat. “Kami warga terdampak sengketa perbatasan ini, sudah 30-40 tahun berdomisili di sini, di Kota Cirebon dengan administrasi apapun masuk Kota Cirebon. Apabila perbatasan dilepas ke kabupaten, maka segala kehidupan rutin kami akan berubah, mulai KTP, KK, sertifikat tanah, IMB, SIM, STNK, anak sekolah, mengurus surat-surat terlalu jauh ke Sumber,” bebernya. Adji memprediksi kursi DPRD juga bakal berkurang dari 3-5 kursi dan yang rugi tentu adalah masyarakat. Adji juga meluruskan pernyataanm Umar Clau yang menganggap pernyataan dirinya terlalu mengada-ada. “Saya menganggap bahwa Umar Clau tidak paham pertanahan. Makanya jangan asbun dan mata gelap. Saya memohon Walikota untuk membuat surat susulan ke Gubernur dan Mendagri dengan tembusan ke Presiden RI, dikuatkan dengan SK DPRD Kota Cirebon uuntuk meninjau kembali keputusan pelimpaham sengketa tanah perbatasan,” harapnya. Ketua RW 10 Elia Harliyono menegaskan, dirinya dan warga ingin nembus ke Jokowi saat kunjungannya ke Cirebon. Bahkan Senin mendatang akan hearing ke dewan dan balaikota dengan mengambil start alun-alun Kejaksan bersama RW 1 dan RW 2 ke gedung DPRD. “RW 10 menolak masuk ke kabupaten, sebab payung hukum pengadilannya adalah kota, kabupaten juga tidak pernah ada bantuan pembangunan,” tegas Elia. (abd)

Tags :
Kategori :

Terkait