Oknum Kelurahan Minta Rp150 Ribu

Jumat 24-02-2012,01:36 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

Memungut Tanpa Perda Keterangan Domisili Usaha HARJAMUKTI – Kekosongan payung hukum retribusi Pemkot Cirebon merugikan masyarakat. Oknum birokrat berbuat semaunya. Warga yang ingin mengurus surat keterangan domisili usaha ke salah satu kelurahan, justru diminta oknum membayar uang sebesar Rp150 ribu. Peristiwa ini dialami Cicip Awaludin SH, warga Kecamatan Harjamukti. Kepada Radar, Kamis (23/2), ia mengeluhkan mental birokrasi Kota Cirebon, khususnya di kelurahan. Hal ini membuat alumnus Unsoed Purwokerto ini kaget. Pria yang juga pengurus DPC PDIP ini bahkan tidak habis pikir dengan tingginya tarif yang diminta kelurahan. Untuk mendapatkan surat keterangan domisili usaha. “Saya tidak tahu apakah ada dalam perda atau tidak, yang jelas kelurahan minta Rp150 ribu. Tentu saja angka itu bagi saya sangat besar,” tegas Cicip. Menurut Cicip, seharusnya birokrasi ini memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Bagaimanapun mereka digaji dengan uang rakyat. Bukan malah membebani rakyat dengan dalih uang administrasi. Padahal aturan itu tidak pernah ada, apalagi hingga Rp150 ribu. “Membuat akta kelahiran saja bagi yang terlambat cukup membayar Rp25 ribu. Ini hanya keterangan domisili, minta Rp150 ribu,” tandasnya. Anggota Komisi A, Cecep Suhardiman  SH MH mengkritik mental birokrat yang  masih mengedepankan pola pendekatan uang, untuk menyelesaikan segala sesuatu. Padahal pemkot melalui perda sudah mengatur secara resmi aneka bentuk retribusi yang boleh ditarik di Kota Cirebon. Sedangkan untuk surat keterangan domisili penarikan retribusinya tidak ada dalam perda. Sehingga dengan kata lain, apabila ada yang menarik, berarti kelurahan melakukan pungli. Itu tidak diperbolehkan. Cecep menjelaskan, jenis retribusi jasa usaha yang diatur cukup banyak. Mulai retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar, grosir atau pertokoan, tempat pelelangan ikan, terminal, parkir, penginapan/villa, rumah potong hewan, pelayanan ke pelabuhanan, rekreasi/olahraga, penyeberangan di air dan penjualan produksi usaha daerah. “Intinya, sesuatu yang tidak ada aturannya berarti tidak boleh dipungut,” pungkasnya. (abd)

Tags :
Kategori :

Terkait