[Aksi di PLTU Kanci] Direncanakan Sejak 3 Bulan, Mulai Manjat Jam 2 Malam

Senin 16-05-2016,11:31 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Aksi tiga organisasi pecinta lingkungan, Greenpeace, Walhi dan Jatam yang menolak penggunaan batubara sebagai bahan bakar  utama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Kanci terbilang sukses. Mereka nekat menyegel crane batubara di dermaga jetty milik PLTU Cirebon, Minggu (15/5). Banyak yang bertanya, bagaimana caranya aktivis lingkungan itu bisa memanjat crane setinggi 100 meter dari permukaan laut itu? Ketua Rakyat Penyelamat Lingkungan (Rapel), Moh Aan Anwaruddin yang ikut dalam aksi tersebut mengatakan, aksi ini sudah direncanakan sejak 3 bulan lalu. Pas pada hari yang ditentunkan, aktivis mulai bergerak pukul 01.00 dini hari dengan menggunakan perahu dan speedboat. “Jam 2 dinihari sudah memulai memanjat,” kata Aan kepada radarcirebon.com Aan juga mengatakan, para aktivis yang memanjat itu sebanyak 12 orang, tapi yang bergelantungan hanya 4 orang. “Mereka profesional, terlatih sebagai pemanjat tebing, jadi dengan mudah memanjat crane PLTU itu,” katanya. Menurut Aan, saat akan memanjat sebetulnya ada petugas yang melihat, tetapi kalah dengan gerak cepat para aktivis ini dalam memanjat. Hingga, pukul 5.00 pagi, para aktivis sudah siap dan bergelantungan di spanduk yang bertuliskan ‘quit coal’ dan ‘clean energy clean air’. Keempat aktivis nekat bergelantungan di spanduk agar baliho tetap tegak. Sejumlah rekan lainnya mengelilingi perairan dekat dermaga jetty menggunakan perahu nelayan sebanyak tiga unit sembari memajang poster bertuliskan ‘PLTU bunuh nelayan’. Para aktivis bergelantungan dan bertahan hingga pukul 16.00. Hindun Mulaika, juru kampanye iklim dan energi Greenpeace menjelaskan, aksi damai ini merupakan simbol perlawanan atas proyek ekspansi PLTU berbahan bakar batubara yang masuk ke dalam program 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah. Karena, PLTU batubara yang sebentar lagi akan dibangun, akan menggagalkan komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi rumah kaca yang digagas tahun lalu di Paris, Prancis sebesar 29 persen. “Penurunan emisi tidak akan terjadi jika pemerintah tetap melakukan ekspansi PLTU batubara,” jelasnya. Greenpeace sudah mengkalkulasi, dari existing PLTU batubara yang sudah ada saat ini, diestimasikan dapat menyebabkan kematian dini sebesar 7.100 orang pertahun. Bisa dibayangkan, bila terjadi ekspansi PLTU batubara dalam skala besar, kesehatan masyarakat akan terancam. “Pembakaran bahan bakar fosil dari alat transportasi dan pembangkit listrik sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Mulai dari infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), kanker paru-paru, jantung, penurunan kesuburan dan lain-lain,” imbuhnya. Klaim teknologi yang dimiliki PLTU batubara saat ini ramah lingkungan, bukanlah pemecah masalah. Karena teknologi yang diusung hanya meningkatkan efisiensi pembakaran batubara. Kalaupun dipasang filter pada cerobong, hanya akan menyebabkan coal fly ash (limbah debu batubara) menjadi lebih beracun dengan kadar mercury cukup tinggi. “PLTU batubara memiliki tingkat polusi yang tinggi. Bahkan, tren global saat ini sudah tidak lagi memakai PLTU batubara sebagai sumber energi listrik,” bebernya. Bagi negara yang memiliki kesadaran tinggi, regulasi standar emisi yang cukup ketat sudah diterapkan. Sementara, Indonesia belum mempunyai sama sekali regulasinya. “Bila dibandingkan dengan India, kita 5 sampai 10 lebih rendah,” ungkapnya. Dengan aksi ini, pihaknya ingin menyampaikan pesan kepada pemerintah agar menerapkan regulasi emisi yang sangat ketat dan memprioritaskan energi terbaharukan untuk memenuhi kebutuhan nasional. “Saya kira itu solusinya,” jelasnya. (jun)    

Tags :
Kategori :

Terkait