DERITA guru Aop adalah derita guru di Indonesia. Karena itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengecam keras sikap semena-mena yang dilakukan Polres Majalengka dan pihak pelapor. Ketua PGRI Kabupaten Cirebon, Drs H Dadang Dawud MM MPd didampingi Wakil Ketua Drs H Sutanto Habsi dan Sekretaris Drs Edin Suhaedin MM, mengecam apa yang dilakukan Polres Majalengka yang telah menetapkan Aop sebagai tersangka karena mencukur rambut siswanya. “Ini pelecehan dan melukai hati guru,” tegas Dadang, kemarin.
Menurutnya, dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan kata lain, lanjut Dadang, segala hal yang mengajarkan dan membentuk karakter siswa menjadi lebih disiplin dan teratur, dianggap bagian dari tugas utama guru. “Itu UU yang mengatur. UU dibuat dan disahkan oleh negara, melanggar UU berarti melanggar aturan negara yang merupakan bagian dari keinginan masyarakat Indonesia,” paparnya.
Kejadian yang menimpa guru Aop di Majalengka, lanjut Dadang, sudah pernah disampaikan ke seluruh perwakilan PGRI di Jawa Barat saat mengadakan pertemuan pada bulan lalu. Saat itu, tambah Dadang, PGRI seluruh Jawa Barat sepakat untuk melakukan aksi ke Polres Majalengka. Menurut Dadang, guru maupun sekolah, memiliki aturan sendiri dalam menegakkan disiplin siswanya. Salah satu yang paling umum dilakukan para guru dan sekolah di Indonesia, melakukan pemeriksaan disiplin melalui pemeriksaan pakaian, kuku, gigi dan rambut. Artinya, memotong rambut siswa, bagi guru dan sekolah merupakan bagian dari pembentukan karakter siswa dan menegakkan disiplin.
Dadang menjelaskan, saat ini sudah ada kerjasama antara Kapolri yang mewakili Kepolisian RI bersama Ketua Umum PGRI yang mewakili PGRI. Di situ telah ditandatangani MoU atau kesepakatan untuk menyelesaikan perkara yang terkait dengan guru, dimulai dari Dewan Kehormatan Guru Indonesia (DKGI), bukan langsung ke polisi. “Ini jelas melampaui batas kepatutan. Harusnya diselesaikan di DKGI Jawa Barat dulu, bukan langsung ke Polres Majalengka,” kata Dadang kesal, seraya menegaskan bahwa PGRI Kabupaten Cirebon sangat siap untuk mengerahkan massa dalam rangka memberikan dukungan langsung secara fisik atas nasib guru Aop.
Kecaman juga datang dari Ketua Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) Kota Cirebon, Dede Permana. Dia mengatakan kasus Aop seharusnya tidak langsung masuk ke pihak kepolisian. Karena sepengetahuan Dede, ada perjanjian antara PGRI dan kepolisian tentang kode etik profesi guru. Sehingga, saat guru yang dianggap melakukan pelanggaran, maka yang menangani haruslah dewan guru. “Kalau memang statusnya naik (menjadi tersangka, red), berarti polisi harus mengkaji ulang dengan aturan Undang-Undang guru yang ada. Seharusnya Aop tidak jadi tersangka. Dan ini harusnya ditangani terlebih dahulu oleh dewan guru,” ujarnya ditemui di SMK Nasional Kota Cirebon, kemarin.
Ketua PGRI Kota Cirebon Djojo Sutardjo juga mengecam keras atas kenaikan status Aop menjadi tersangka. Dia merasa prihatin dengan kasus yang menimpa Aop. “Kami akan menyiapkan aksi solidaritas untuk Aop. Mengenai seperti apa dan kapan, sedang kami rapatkan dengan jajaran PGRI Kota. Yang pasti kita akan tetap mendukung Aop,” tukasnya.
Dukungan juga disampaikan Ketua PGRI Kuningan, Opid Ropidi MPd, kemarin (19/6). Dia siap untuk mengerahkan ribuan guru dari Kuningan mulai dari Satgasus hingga perwakilan pengurus cabang. ”Satgasus ada 900 orang ditambah dengan perwakilan pengurus cabang dari seluruh kecamatan, maka jumlahnya bisa ribuan,” tandasnya saat dikonfirmasi Radar.
Diakui Opid, sejak munculnya kasus tersebut sebetulnya semua pengurus PGRI se-Jabar sudah sepakat menggelar aksi solidaritas. Namun lantaran ditahan oleh PGRI Majalengka, maka aksi urung dilaksanakan. Kini, lanjut dia, Ketua PGRI Jabar, Drs H Edi Parmadi MMPd sudah memberikan lampu hijau. Nampaknya aksi solidaritas tersebut jadi dilaksanakan. ”Senin kemarin pada acara konferensi kerja, kebetulan Pak Edi hadir. Beliau memberikan lampu hijau kepada kami untuk melakukan aksi solidaritas,” tutur dia kepada Radar. ”Kuningan sudah siap, tinggal menunggu komando dari PGRI Jabar,” tegasnya.
Menurut Opid, apa yang dilakukan Aop merupakan ranah pendidikan. Ketika berbicara pada ranah tersebut, maka tujuan seorang guru adalah mendidik. ”Saya kira mencukur rambut itu tidak keterlaluan. Tapi entah kenapa masuk kepada UU Perlindungan Anak dan juga aturan perbuatan tidak menyenangkan,” terangnya.
Masyarakat Desa Panjalin Kidul, tempat tinggal Aop, juga memberikan dukungan. Tokoh masyarakat setempat, H Waridin, menyatakan kekecewaanya terhadap sikap kepolisian. Menurut sesepuh Desa Panjalin Kidul ini, penetapan status tersangka kepada Aop tidak berdasar. Menurut Waridin, tindakan Aop merapikan rambut siswanya yang gondrong dianggapnya sebagai wujud rasa sayang dari guru kepada muridnya. “Ibaratnya gini, kalo kita orang tua ngeliat anaknya berbuat tidak baik terus didiemin aja, itu kan sama saja kita pengen ngejerumusin anak kita. Justru tindakan yang dilakukan Pak Aop merupakan wujud teguran agar si anak berpenampilan rapi,” jelasnya kepada Radar, kemarin.
Menurutnya, atas ketetapan status tersangka ini, bukan hanya hati para guru yang tersakiti. “Kita juga sebagai orang tua dan masyarakat Panjalin Kidul bahkan Sumberjaya merasa terlukai karena salah satu warga kita ada yang jadi tersangka tanpa salah apa-apa,” tegasnya. (via/ysf/kmg/aff/ded/azs)