Ortu Siswa Doa Bersama untuk Aop

Jumat 22-06-2012,02:27 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

SUMBERJAYA - Pasca turunnya surat panggilan kepolisian kepada Aop Saopudin, para wali murid kelas III hingga VI SD Negeri Panjalin Kidul V berbondong-bondong datang ke sekolah, Kamis (21/6). Mereka menggelar doa bersama sebagai wujud dukungan moril terhadap Aop. “Sebelum Aop berangkat untuk diperiksa kepolisian, kami para orang tua (ortu, red) murid dan guru memberikan motivasi kepadanya. Semoga beliau tabah menjalaninya. Saya selaku kepala sekolah sangat berterima kasih kepada para wali murid dan dewan guru atas kedatangannya untuk memberikan apresiasi kepada saudara Aop,” ujar Kepsek SD Panjalin Kidul V, H Ayip Rosyidi SPd kepada Radar, kemarin. Kedatangan wali murid, lanjut dia, bukan karena adanya dorongan dari pihak sekolah. Tetapi masyarakat/wali murid memang berinisiatif sendiri. Selain itu, pihak sekolah tetap akan menjalankan tata tertib yang sudah berjalan puluhan tahun sebagaimana tertulis pada Undang-Undang. Sementara itu, Waridin selaku perwakilan wali murid mengatakan, kedatangan mereka sebagai bentuk dukungan kepada Aop. Meskipun hanya mendoakan, minimal bisa akan memberikan motivasi kepada Aop. “Kami perwakilan orang tua murid merasa prihatin atas kejadian yang telah terjadi di SD ini. Apalagi saat saya melihat di media massa, saudara Aop malah ditetapkan sebagai tersangka. Kami berharap proses pemeriksaan berjalan lancar,” bebernya. Waridin menambahkan, pihaknya dan orang tua siswa lainnya, mendukung adanya tata tertib di sekolah tanpa pandang bulu. Karena itu bisa memberikan pembelajaran terhadap semua siswa. Karena sudah kewajiban para guru untuk mendidik siswa-siswinya di bidang pendidikan. Tetapi, wali murid tentu tidak akan terima jika sanksi yang diberikan kepada para siswa seperti intimidasi serta kekerasan kepada anak-anaknya. Seperti diketahui, isi surat panggilan tersebut, atas dasar Pasal 7 ayat 1 huruf g, pasal 11, pasal 112 ayat 1 dan 2, pasal 113 KUHAP dan menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 Kepolisian Republik Indonesia. Aop dijerat tindak pidana melakukan diskriminasi terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian secara moril, melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak, dan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, sebagaimana dimaksud Pasal 77 huruf a, Pasal 80 UU RI No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Sementara itu, saat koran ini mendatangi kediaman orang tua murid IW, belum bisa menemuinya. Terlihat rumah tersebut dalam keadaan sepi. Bahkan, pintu gerbang pun sudah terkunci. Terpisah, Presiden DPP Lira, Drs HM Jusuf Rizal SE MSi didampingi Wakil Presiden DPP Lira Bidang Polhukam, Imam Bogie Yudha Swara kepada Radar melalui sambungan telepon meminta Polres Majalengka untuk segera melakukan tindakan tegas dalam permasalahan tersebut, karena permasalahan Aop adalah masalah yang sederhana. “Bisa diselesaikan dengan musyawarah tidak perlu aksi premanisme lagi, karena sudah bukan zamannya,” kata Imam. Untuk itu, mendapat aduan kasus seperti yang menimpa Aop, DPP Lira akan membuat surat kepada Kapolda Jawa Barat yang isinya meminta Polda Jabar untuk turun tangan terlibat dalam pemeriksaan kasus tersebut agar pemeriksaan harus berjalan objektif. “DPP Lira juga akan membuat surat untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,” ungkapnya. DPP Lira pun siap mengirimkan bantuan tim advokasi hukum untuk membantu Aop apabila kasus tersebut sudah memasuki persidangan. “Yang pasti Lira prihatin, kalau seperti ini kan ada yang salah dalam tindakan polisi, seharusnya mereka bertindak adil,” ujarnya. SIAPKAN LAPORAN KE PROPAM POLDA JABAR Bertempat di Gedung PD 2 PGRI Jl KH Abdul Halim, pada kesempatan tersebut dibahas soal langkah-langkah PGRI untuk tindakan selanjutnya mendukung Aop Saopudin SPdI. Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Kabupaten Majalengka Ayi Ratnaningsih SH mengatakan, semua komponen tidak berharap Aop dijadikan tersangka. Apalagi sampai divonis di pengadilan. “Kalau salah, dari sisi yang mana? Aop itu sudah melaksanakan amanat konstitusi menerapkan disiplin di kelas. Bukan kemudian jadi tersangka,” ujarnya kemarin (21/6). Dia menambahkan, semua komponen yang tidak berharap Aop menjadi tersangka diharapkan hingga ke tingkat pemerintah pusat. “Saya harap Aop tidak lagi ikut dalam kasus ini,” tambahnya. Dikatakan Ayi, pihaknya akan berjuang maksimal sampai ke tingkat pusat untuk mendukung Aop. Bahkan, PGRI akan membawa masalah tersebut pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PGRI di Makasar dalam waktu dekat. Sebagai langkah awal, PGRI menyusun surat lalu melaporkan kasus Aop ke Propam Polda Jawa Barat. Hal ini supaya Aop bisa mendapatkan keadilan bahwa guru yang sedang menjalankan profesi tidak harus menjadi tersangka. “Tindakan polisi benar karena menjalankan KUHP. Tapi kan kita juga punya aturan masing-masing. Misalnya adalah Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) (Nomor B/3/I/2012) dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) (Nomor 70/Um/PB/XX/2012) tentang Perlindungan Hukum Profesi Guru,” jelasnya. Dukungan lainnya datang dari eks Ketua Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia (FKGBI) Kabupaten Majalengka, Aceng Kusmawan SPd. Menurutnya, polisi tidak punya hak untuk menetapkan Aop menjadi tersangka karena ada unsur penganiayaan. “Jadi apakah menegakkan disiplin masuk dalam kategori penganiayaan? Engga kan?” ungkapnya. Pada kesempatan tersebut, Ketua Ikatan Forum Komunikasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran Seni dan Budaya, Yaya Warlia SPd juga mendukung Aop. Dikatakannya, sesuai dengan UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 39 disebutkan, siapa saja yang melaksanakan pendidikan baik perorangan maupun lembaha, dilindungi undang-undang. “Apalagi ini di kelas. Hanya menertibkan dengan menggunting rambut sedikit, malah jadi tersangka,” katanya. Di tempat yang sama, Ketua PGRI Kota Cirebon, Djodjo Sutardjo tetap siap memberikan dukungan kepada Aop. “Ini kewajiban kita sebagai pengurus PGRI. Kita akan bersama-sama mendukung Aop,” katanya. (ono/aff/mid)

Tags :
Kategori :

Terkait