Teroris Sudah Tak Cinta Sepak Bola

Selasa 07-06-2016,13:46 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

BEBERAPA tahun lalu, dedengkot kelompok salah satu teroris paling berpengaruh di dunia, secara samar-samar menyatakan dukungannya kepada salah satu klub di liga Eropa. Bukan cuma itu, dalam satu kesempatan merebak foto di mana dia bersama rekan-rekannya tengah menikmati pertandingan Piala Dunia. Dan konon kelompok ini pernah berjanji tidak akan berniat mengganggu atau mengintimidasi dunia lewat media sepak bola. Pendeknya, ini melegakan banyak pihak yang menyanjung sikap sportif mereka dalam mencintai sepak bola. Tapi itu dulu. Sekarang tampaknya tidak lagi. Rasa aman di stadion dan funzone sepertinya jadi barang mewah. Teror ledakan bom di luar stadion Stade de France di Paris, Prancis, November 2015 lalu jadi semacam bukti, bahwa saat sekarang teroris dianggap tidak lagi menghargai kesakralan sepak bola sebagai hiburan dunia untuk semua golongan. Pengungkapan teori, bahwa sebenarnya pelaku teror Paris 2015 ingin meledakkan bom di dalam stadion saat Prancis dan Jerman beradu dalam tajuk persahabatan menjelang Euro 2016, jelas membuat bulu halus di tengkuk berdiri. Jika aksi teror “kecil” itu dianggap sebagai ajang latihan bagi teroris, tentu saja hal tersebut memaksa kita mengakui bahwa Euro 2016 adalah target empuk bagi mereka. Bagaimana tidak, bahkan dalam hitungan bulan setelah teror Paris 2015, bandara internasional dan Stasiun Metro di Brussel Belgia, juga diserang teroris Maret 2016. Stadion, bandara, stasiun, cafe, pub, funzone dan plaza terbuka adalah tempat favorit berkumpulnya massa turnamen sepak bola. Prancis sudah 8 tahun terakhir mempersiapkan diri membuat tempat-tempat tersebut, juga hotel dan pusat jajanan kuliner, untuk menyelenggarakan Euro 2016. Komite Olimpiade akan menjadikan Euro 2016 semacam parameter untuk menilai apakah Prancis siap menjadi tuan rumah Olimpiade untuk 2024 nanti. Namun dengan fakta terjadinya teror di 2 negara maju Eropa tersebut, sekarang seluruh dunia sedang menantikan apakah Euro 2016 bisa berjalan dengan aman? Kontestan 24 tim dari negara finalis Euro 2016, beberapa di antaranya memang harus diakui sebagai pelopor antiteror. Belgia, Prancis, Inggris, Jerman, Italia, Swedia dan Spanyol adalah nama-nama beken yang sering keluar dari mulut agen teror sebagai “musuh” ideologi mereka. Berkumpulnya mereka di ajang Euro 2016, tentu saja dengan mambawa pendukungnya. Ini sudah pasti diperhitungkan kaum teror sebagai sasaran empuk. Sekali tembak dua tiga ekor burung akan terkapar bersamaan. Ini rancangan teori sederhana yang sangat mungkin terjadi. Tak heran kalau pemerintah Amerika sebagai ibukota antiteror, awal bulan ini mengeluarkan peringkatan terbuka bahwa Euro 2016 di Prancis ada pada titik tidak aman. Dua sisi mata pisau. Di satu pihak peringatan ini sangat membantu pihak penyelenggara event dan para calon pelancongnya. Sedangkan sisi lain sebagai bumerang, peringatan ini tentu saja menyenangkan para penebar teror. Sebab mereka merasa sangat berhasil apabila aroma terornya telah tercium dan ditakuti. Takut ajang hajatannya terganggu, otoritas pemerintah Prancis buru-buru mengeluarkan pernyataan bahwa segala usaha telah mereka lakukan untuk mencegah dan menangkal terjadi teror selama Euro 2016. Ribuan mata kamera CCTV, mulai dari bandara, sudut jalan, sekeliling stadion dan arena terbuka terutama funzone di tengah kota, tak luput dari pantauan selama 24 jam. Kampanye Prancis melawan teror seolah menjadi slogan propaganda, bahwa Euro 2016 adalah ajang sepak bola besar yang tidak perlu dikhawatirkan soal keamanannya. Mereka mengatakan bahwa sikap takut dan menghindar justru mendatangkan keberanian para teroris berkali lipat lagi. Teror harus dilawan dengan keberanian dan sikap tidak takut, kurang lebih demikian tutorialnya. Sebenarnya aksi teror di perhelatan Euro bukanlah barang baru. Tahun 2012, bom menyasar 4  stasiun vital di Ukraina, salah satu negara tuan rumah Euro. Lebih dari 20 orang tewas. Demikian pula menjelang Euro 2004, bom besar meledak, juga di 4 stasiun di kota Madrid, Spanyol tetangga dekat tuan rumah Portugal, hanya beberapa bulan sebelum perhelatan itu dimulai. Korbannya nyaris menempus angka 200 jiwa, aksi terror terbesar di Eropa hingga saat ini. Di arena Piala Dunia pun demikian. Prancis 1998 nyaris berdarah, namun aksi teroris yang menargetkan AS dan Inggris itu digagalkan, tanpa banyak gembar-gembor karena dikhawatirkan mengganggu jalannya kompetisi terakbar sejagat tersebut. Halnya semua teror itu tidak menjadi momok menakutkan, beda dengan peristiwa Paris 2015 dan Brussel 2016. Sebab salah satu anggota sel yang tertangkap, saat interograsi jelas menyebutkan dengan jujur bahwa Euro 2016 adalah target sasaran utama. Sedangkan dalam teror tahun-tahun sebelumnya, mereka lebih banyak tutup mulut. Perbedaan ini mungkin karena pelaku teror sendiri sudah berubah sosok. Yang ini kali diyakini lebih bengis dan tidak mencintai sepak bola, sedangkan yang terdahulu tidak segan mengenakan jersey popular dari klub atau timnas jagoannya. So, memang bisa jadi ada benarnya bahwa kaum teroris sekarang ini tidak lagi mencintai sepak bola. Jika hal ini benar terbukti, otoritas Prancis kecolongan soal pengamanan, maka Euro 2016 bisa jadi ajang sepakbola antarnegara Eropa yang terakhir dalam penbyelenggaraan tuan rumah tunggal. Ada benarnya juga gagasan Michels Paltini, mantan Presiden UEFA yang merencanakan penyelenggaraan event 4 tahunan itu dilakukan di banyak negara, bukan cuma satu atau dua negara tuan rumah, tetapi setidaknya di 12 negara tuan rumah. Dan kontestan finalis disamakan dengan Piala Dunia menjadi 32 tim. Banyak yang menentangnya, karena hal tersebut dipercaya akan menurunkan kualitas Euro sebagai ajang tertinggi di benua biru. Namun dalil Platini sederhana, untuk pemeratan kesempatan dan peningkatan sektor pariwisata Eropa dalam upaya bangkit dari krisis ekonomi berkepanjangan di sana. “Sudah saatnya sepak bola dibutkikan bukan hanya soal menendang dan menangkap bola, tapi lebih berarti sebagai motor kehidupan nyata,” ujar Platini, yang justru saat ini berpredikat pesakitan sebagai koruptor FIFA dan UEFA. Namun setidaknya, menyebar titik tuan rumah Euro, adalah strategi jitu untuk memecah konsentrasi sasaran para teroris. Sambil menunggu, siapa tahu mereka mau menonton dan menikmati sepak bola untuk kembali mencintainya. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait