Kuasa Hukum Tersangka RTH Sebut Kejari Langgar Perintah Jokowi

Jumat 22-07-2016,11:30 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

KESAMBI – Penetapan pejabat Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), MTB menjadi tersangka kasus pengadaan lahan untuk ruang terbuka hijau (RTH) ternyata belum dilengkapi surat penetapan resmi dari Kejaksaan Negeri (Kejari). Tim kuasa hukum tersangka MTB, Sugianti Iriani SH mengungkapkan, surat itu penting bagi MTB. Sebab, yang bersangkutan merupakan PNS aktif dengan posisi strategis. “Saya menyayangkan, kenapa penetapan tersangka kok diumumkannya di media. Padahal, Pak MTB saja belum menerima surat penetapannya,” ujar Sugianti, di Ruang Rapat Lantai I Graha Pena Radar Cirebon, Kamis (21/7). Sugianti juga menilai, penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Cirebon tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dijabarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Karena itu, tim advokat MTB segera melayangkan surat kepada orang nomor satu di Indonesia. Pada sisi lain, tim penyidik Kejari Kota Cirebon tetap menjalankan tugasnya. Termasuk menunggu hasil dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tim kuasa hukum MTB juga menyebut proses penyidikan Kejari melanggar SOP. Kemudian, penyidikan dilakukan tanpa menunggu hasil audit keuangan dari lembaga yang diberikan kewenangan oleh negara. “Kasus ini atas dasar laporan seseorang. Bukan karena temuan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan),” ucapnya. Dalam waktu yang berdekatan, Presiden Jokowi telah mengumpulkan Kapolda dan Kajati di seluruh Indonesia. Dalam pemaparan tersebut, Jokowi meminta penegak hukum tidak asal melakukan penyidikan. Artinya, saat ada temuan dari BPK sekalipun, ada waktu 60 hari untuk kepala daerah dan bawahannya mengembalikan temuan tersebut. Namun, dalam kasus pengadaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang menetapkan MTB sebagai tersangka, prosedur seperti itu tidak ditempuh. Artinya, hasil BPK maupun audit BPKP belum keluar. Tetapi, penyidik Kejari Kota Cirebon sudah menyimpulkan tersangka. Karena itu, Sugianti Irianti meminta penyidik untuk mengkaji ulang. Di samping itu, Irianti meminta hasil audit BPKP yang dilakukan pada 19-20 Juli 2016, diumumkan secara terbuka melalui media massa seperti saat menetapkan tersangka RTH. “Hasil audit BPKP jangan disembunyikan. Umumkan secara terbuka di media massa,” tegasnya. Bila hasilnya tidak ada temuan, Sugianti meminta penyidikan berhenti. Begitupula sebaliknya. Bila ada temuan, berikan waktu 60 hari untuk pengembalian sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi. “Pak MTB siap mengganti berapa nilai kerugian negara itu. Tapi SOP yang disampaikan Pak Jokowi mohon diterapkan,” tandasnya. Atas kondisi ini, tim advokat tersangka MTB akan melayangkan surat ke Presiden Jokowi dengan tembusan ke Kejati Jawa Barat dan Kejaksaan Agung RI, tentang perjalanan penyidikan yang dilakukan Kejari Kota Cirebon. Hal ini dilakukan agar presiden menilai, mempertimbangkan dan membuat keputusan terhadap apa yang dilakukan penyidik Kejari Kota Cirebon. Sugianti menyampaikan, dalam surat tersebut akan dikirimkan bukti-bukti yang menguatkan bahwa penyidikan melanggar SOP. Sugianti berharap, keputusan dari Presiden Jokowi menjadi panutan dan dilaksanakan. Sebab, dia menilai kasus RTH yang menjerat kliennya persoalan administrasi. Sementara itu, tim penyidik Kejari Kota Cirebon tetap menjalankan tugasnya. Beberapa pihak telah dipanggil secara bergiliran. Mereka menjadi saksi untuk mendukung penyidikan yang dilakukan terhadap dugaan korupsi dalam pengadaan RTH di Argasunya. Kepala Kejari Kota Cirebon Hariyatno SH melalui Kepala Seksi Pidana Khusus Tandy Mualim SH mengatakan, pemeriksaan saksi-saksi dilakukan untuk memperkuat apa yang ada. Dalam hal ini, tim penyidik sangat yakin dua tersangka RTH, yaitu MTB dan AMM, memiliki peran yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. “Apapun yang dilakukan sah saja. Tetapi perlu diingat, kami juga memiliki bukti yang kuat. Itu pembuktian di pengadilan,” ucapnya.  (ysf)  

Tags :
Kategori :

Terkait