Anggap Putusan MA
Keliru, Loyalis Suryana-
Sunaryo Yakin Bebas
CIREBON - Rencana Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung, yang dilakukan kubu Sunaryo dan Suryana, akan mengalami hambatan. Sebab, untuk mencapai ke tahapan PK, diperlukan syarat yang tidak mudah. Di antaranya, apabila ditemukan bukti baru (novum) dan atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Pengamat Hukum, Irham Hanif SH menilai, PK yang akan diajukan kubu Sunaryo dan Suryana tidak akan berpengaruh banyak terhadap keputusan Kasasi MA. Pasalnya, untuk menemukan keadaan baru yang diduga kuat bisa memberikan putusan bebas maupun lepas dari segala tuntutan, bukan perkara mudah. Dalam hal ini, kuasa hukum harus berupaya keras meyakinkan Mahkamah Agung (MA) untuk keadaan baru tersebut. Namun, melihat posisi Sunaryo dan Suryana selama persidangan berlangsung, keadaan baru yang diharapkan akan sulit terwujud.
Pria yang sedang menyelesaikan tesis S2 di Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menegaskan, PK atau Herzeining merupakan upaya hukum luar biasa yang dimiliki seorang terpidana atau ahli warisnya, dalam mengajukan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. “MA menjadi penentu nasib PK kedua tokoh Cirebon itu. Syarat yang harus dipenuhi sangat sulit. Saya melihatnya kecil kemungkinan PK itu dikabulkan,” terangnya.
Dalam aturannya, Pasal 263 ayat (2) KUHAP menyebutkan alasan pengajuan PK minimal memenuhi 3 syarat, yaitu terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas, atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
“Ini menjadi PR bagi kuasa hukumnya dalam mencari keadaan baru yang dimaksud. Jika tidak, besar kemungkinan PK akan ditolak,” terkanya.
Selain itu, terpidana melalui kuasa hukumnya, harus pula mencari berbagai putusan yang pernyataan Majelis Hakim antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya, bertentangan satu dengan yang lain. Di samping itu, ujar Irham Hanif, kuasa hukum terpidana harus pula mencari satu kejelasan berdasarkan temuan hukumnya, tentang kekhilafan majelis hakim dalam memberikan amar putusan yang bersifat kekeliruan yang nyata.
“Sekalipun itu merupakan terpidana kasus korupsi yang merupakan perbuatan teramat jahat, namun aturannya sudah jelas. Yaitu, PK itu memang diperbolehkan asalkan memenuhi sejumlah syarat tersebut,” ulasnya seraya mengatakan PK hanya dapat diajukan satu kali saja.
Menurutnya, kasus korupsi di Kota Cirebon merupakan sebuah fenomena yang harus disikapi dengan semangat perubahan. Artinya, kasus tersebut harus dijadikan cambuk pembenahan birokrasi di Kota Cirebon. “Jangan sampai budaya seperti ini terjadi lagi ke depannya. Ini menjadi PR yang sangat berat untuk generasi berikutnya,” tukasnya. Sebab, generasi penerus itu, kata Irham, harus bisa mengubah kekurangan sistem dan meningkatkan kepercayaaan masyarakat.
Selain itu, lanjutnya, budaya hukum perlu ditingkatkan. Karena, budaya untuk mengetahui “benar dan salah”, berani karena benar, malu ketika salah, serta berani untuk memperbaiki yang salah dan malu membenarkan sesuatu yang salah. “Budaya hukum seperti ini harus dibumikan, seperti halnya di negara Singapura. Orang malu membuang sampah sembarangan, karena negaranya tegas dan masyarakatnya memiliki budaya hukum yang bagus,” paparnya.
Di samping mencukupi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, masyarakat harus pula dibekali pengetahuan hukum yang baik dan benar. Tujuannya, kata Irham Hanif, agar proses pengawasan dari masyarakat bisa lebih maksimal. “Sebelum bisa mengawasi pemerintah, masyarakat harus mengetahui dulu “benar dan salah” sistem pelayanan masyarakat, sistem administrasi, sistem perizinan, dan lain-lain,” tukasnya.
Sistem-sistem tersebut, apabila tidak segera dibenahi, akan menimbulkan lubang-lubang yang memberikan kemungkinan untuk memperkaya secara pribadi. “Ini akan menjadi bibit-bibit korupsi. Karena itu, kesempatan korupsi harus ditutup. Salah satunya dengan membumikan budaya hukum yang baik dan mengetahui benar-salah,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Aliansi Rakyat Cirebon, Hartoyo menuding MA telah berlaku khilaf atau keliru. Karena putusan yang dijatuhkan nyata-nyata keliru dan hakim agung yang menangani kasasi Suryana tidak memahami konstitusi negara.
Hartoyo bahkan mengaku, 3 hari lalu dirinya mendapat informasi dari Rutan Kebonwaru Bandung, tentang putusan kasasi dari MA yang menjatuhkan vonis 4 tahun kepada Sunaryo dan Suryana.
Mendengar informasi itu, kata Hartoyo, pihaknya hanya tersenyum. Dirinya beranggapan, Perda No 3 Tahun 2004 tentang APBD Kota Cirebon Tahun 2004 dan Perda No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan APBD Kota Cirebon Tahun 2004, yang memayungi penganggaran bantuan dana operasional dewan dan dana penunjang kegiatan, tidak pernah dibatalkan. Oleh karena tidak pernah dibatalkan gubernur, maka Perda itu bersifat mengikat.
Berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemda, Pasal 42 ayat 1 mengatur ketentuan yang menjelaskan bahwasanya DPRD memiliki kewenangan membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama kepala daerah.
Oleh karena itu, lanjut sekretaris Pemuda Demokrat Kota Cirebon ini, maka perkara yang menimpa Suryana dan Sunaryo beserta anggota DPRD yang lain, yang telah menganggarkan dan menyetujui dana operasional DPRD sebesar Rp4,9 miliar, bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Namun, justru tindakan itu diamanahkan undang-undang. Maka, perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang sebagaimana ditentukan Pasal 50 KUHP tidak dapat dipidana.
“Coba hakim bisa tidak menunjukkan kepada kami, anggaran yang mana yang sebenarnya dikorupsi? Kalau semua dana operasional dan penunjang kegiatan dewan yang digunakan Suryana dkk sebagai pejabat negara DPRD itu yang dikorupsi, maka kami balik bertanya kepada hakim, berarti selama tahun 2004 mengabdi kepada negara, anggota DPRD tidak mempunyai hak untuk digaji dan mendapat tunjangan serta fasilitas negara lainnya?” tegasnya dengan nada bertanya.
Pihaknya bahkan mempertanyakan, apakah undang-undang yang mengamanatkan bahwa DPRD adalah lembaga kerja bakti atau kerja gotong royong yang tidak berhak mendapatkan apa-apa. “Penegak hukum jangan munafik, para hakim saja kemarin demo ke pemerintah karena kesejahteraannya kurang kan,” ujarnya.
Pihaknya juga setuju pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi dia meminta agar hukum tidak dipaksa sebagai alat memberangus lawan-lawan politik untuk kepentingan politik dan karir para jaksa penuntut serta hakim.
“Salah besar jika mematikan karir politik seseorang melalui proses peradilan. Hukum tidak akan amnesia sejarah, zaman penjajahan Belanda memenjarakan Bung Karno, tetapi beliau justru besar, zaman rezim Orba banyak politisi yang dipenjarakan, sekarang pun Suryana dan Sunaryo Cs dipaksa oleh penjajahan gaya baru neo kolonialisme bernama sistem abu-abu, delegitimasi, diskriminasi, tebang pilih, kriminalisasi, politisasi hukum dan lainnya. Kami yakin secepatnya akan ada koreksi total dari para hakim MA pada PK nantinya,” beber dia.
Sementara itu, terdakwa APBD Gate, Sukarela Cakra mengaku pasrah dan menyerahkan persoalan ini kepada yang di atas. Karena sebagai manusia, dirinya telah berusaha, tapi semuanya ada yang mengatur. “Saya serahkan semuanya kepada Allah,” kata pria yang akrab disapa mama Suka ini.
Jika loyalis Suryana akan melakukan konsolidasi dan menggalang kekuatan, namun hal itu tidak terjadi dalam tubuh DPD Partai Golkar Kota Cirebon.
Pengurus DPD Golkar Kota Cirebon, Dardjat Sudradjat mengaku hingga saat ini belum ada konsolidasi terkait dengan pemberitaan putusan kasasi Sunaryo dan Suryana. “Belum, belum ada rapat pengurus DPD menyikapi putusan kasasi MA. Saya tahunya malah dari koran hari ini, kemarin ada acara keluar kota,” pungkasnya. (ysf/abd)