DPR Gulirkan Hak Angket Kasus E-KTP, KPK Berhak Tolak Beri Keterangan

Minggu 30-04-2017,20:35 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

JAKARTA - Hak Angket yang digulirkan DPR untuk menyelidiki kasus E-KTP bakal menjadi blunder bagi Senayan. Dari sisi konstitusional, hak angket tersebut tidak memiliki kekuatan. Selain itu, penggunaan hak angket itu menyalahi ketentuan yang ada dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). UU tersebut mengatur, hak angket baru bisa dilakukan bila ada pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang menyalahi ketentuan perundang-undangan. UU atau kebijakan yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berimplikasi luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Jimly Asshiddiqie menuturkan, memang akan ada benturan kewenangan konstitusional saat hak angket itu dilaksanakan. Di satu sisi, hak angket merupakan hak konstitusional DPR. Di sisi lain, KPK punya kewenangan konstitusional berkaitan dengan proses hukum. Menurut Jimly, proses hukum merupakan bagian dari kekuasan kehakiman. \"Sudah mutlak konstitusi mengatakan, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka. Itu lebih tinggi dari kedaulatan rakyat,\" terangnya saat dikonfirmasi kemarin. Itu berlaku di semua negara demokrasi, baik yang menganut sistem presidensial ataupun parlementer. Karenanya, kedua hal tersebut tidak bisa dibenturkan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menuturkan, silakan saja bila DPR hendak menggunakan hak angket. Menyelidiki apa yang dirasa salah. \"Tapi, KPK punya kebebasan untuk memberi atau tidak memberi (keterangan), tergantung kriteria apakah masuk proses hukum atau bukan,\" lanjutnya. Senada dengan Jimly, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa hak angket DPR punya batasan. Batasan itu sudah diatur dalam UU MD3. Yakni, berkaitan dengan UU atau kebijakan yang berdampak pada kepentingan umum. \"Ini kepentingan umumnya apa?\" tanya dia. Menurut Asep, akan lebih tepat bila DPR mendorong KPK mempercepat penuntasan kasus E-KTP. Bila hak angket itu dibenturkan dengan proses hukum, posisi angket justru akan menjadi lemah. \"Instrumen ketatanegaraan berupa hak angket tidak bisa digunakan, bila substansinya sudah menyangkut penegakan hukum,\" lanjutnya. Karena itulah, KPK berhak untuk menolak memberikan keterangan kepada DPR, bila yang diminta sudah masuk ke dalam substansi penegakan hukum. Penolakan itu juga dilindungi oleh KUHAP, UU KPK, UU Keterbukaan Informasi Publik, hingga UU MD3. Bila KPK menuruti keinginan DPR, dampaknya akan berbahaya bagi penegakan hukum. Dalam jangka pendek, para calon tersangka yang mungkin berasal dari unsur DPR berpotensi tidak terungkap. \"Ini jangan-jangan hanya bentuk solidaritas DPR kepada orang-orang yang disebut namanya itu,\" ujar Asep. Sementara, dalam jangka panjang, bisa menimbulkan preseden buruk terhadap penegakan hukum. Bakal muncul anggapan bahwa hukum bisa diintervensi, dan kali ini yang dituding mengintervensi adalah DPR. Bagaimanapun, kasus E-KTP merupakan ranah hukum, bukan ranah politik. Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja meminta komisi antirasuah tidak terpengaruh dengan manuver DPR. Hal itu untuk menjaga stigma publik bahwa KPK merupakan lembaga independen yang memiliki prinsip clean and clear. ”Apapun (manuver DPR), kalau bisa jangan terpengaruh,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos (Radar Cirebon Group), kemarin (29/4). Adnan menilai keluarnya hak angket itu tidak lepas dari rangkaian serangan balik legislatif terhadap upaya KPK mengusut megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Menurutnya, intervensi DPR ke KPK itu merupakan yang paling mencolok sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di tanah air. ”Biar masyararakat yang merespon (DPR),” tuturnya. Lagipula, kata Adnan, sejumlah alasan hak angket DPR juga terkesan dicari-cari. Tentang indikasi kebocoran informasi yang diduga disebarkan oknum internal KPK, misalnya, belum cukup kuat jadi alasan DPR mengeluarkan hak angket. Sebab, kerugian dari kebocoran informasi itu belum cukup signifikan bagi kelembagaan KPK. ”Harus dilihat dulu kerugiannya apa?” katanya. Soal salah satu poin alasan hak angket yang merujuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK tahun 2015, Adnan menilai hal itu juga seperti dibuat-buat. Temuan itu terjadi saat Adnan menjabat komisioner KPK. ”Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?” imbuh komisioner KPK jilid 3 ini. Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Boyamin Saiman menuturkan, sudah dapat dipastikan bahwa proses pengambilan persetujuan hak angket tentang KPK ilegal. Hal tersebut dikarenakan tidak melalui mekanisme voting dan tidak dilakukan penghitungan kehadiran fisik. ”Saat aklamasi tidak bisa ditempu, voting yang harus dilakukan. tapi, tanpa voting langsung ketok palu,” jelasnya. Untuk tidak menghitung kehadiran fisik, lanjutnya, sesuai dengan undang-undang 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disyaratkan pengambilan hak angket harus dihadiri minimal separo dari jumlah anggota DPR. ”Saat itu penghitungan fisik tidak dilakukan, maka jelas sekali tidak sah,” terangnya. Dengan prosesnya yang diduga kuat ilegal, maka tidak bisa dibentuk panitia hak angket. Karena itu pula, KPK tidak perlu untuk menggubris hak angket DPR tersebut. Panggilan untuk meminta keterangan pada KPK juga tidak bisa dilayangkan. ”Ini hanya pepesan kosong untuk memenuhi ego politis,” paparnya. Menurutnya, kejanggalan yang dilakukan DPR ini perlu untuk dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sehingga, pelanggaran yang patut diduga dilakukan Fahri Hamzah bisa disanksi. ”Kita lihat bagaimana prilaku anggota DPR yang kian menginjak kehormatannya sendiri,” jelasnya. Yang juga perlu untuk ditelisik, ada dugaan langkah DPR ini bisa menganggu kinerja dari KPK dalam memberantas korupsi. ”Mengingat ada conflict of interest dimana ketua DPR menjadi saksi dalam salah satu kasus. Bahkan sudah dicekal,” ujarnya. (byu/tyo/idr/lum)

Tags :
Kategori :

Terkait