Udara dingin langsung menghajar tulang begitu keluar dari mobil. Suhu di layar ponsel menunjukkan 18 derajat Celsius ketika kami berada tepat di depan gerbang Taman Nasional Cheng Ho (Zheng He) di Gunung Yuesan, Kunyang, Provinsi Yunnan, Tiongkok. Laporan: KARDONO S dan BOY SLAMET dari Kunyang, Yunnan Cukup menguras fisik untuk mencapai puncak Zheng He Gongyuan Park (Taman Nasional Cheng Ho). Harus menapaki sekitar 150 anak tangga yang sangat curam. Meski capek, setidaknya membantu juga untuk melawan hawa dingin. Zheng He dianggap orang besar di Tiongkok. Setidaknya, hal itu terlihat dari adanya empat taman nasional untuk mengenang laksamana terbesar tersebut. Yakni, yang pertama di Kunnyang, lalu di Nanjing, berikutnya di Taicang, dan yang terakhir di Chang Le. Yang utama adalah dua taman yang di depan, yakni di Kunyang dan Nanjing. Kunyang merupakan tempat kelahiran dan bekas rumah Cheng Ho saat kecil. Juga, ada makam ayahnya, Mi Lijin, yang kemudian dikenal sebagai Ma Hazhi (karena sudah berhaji, Hazhi adalah haji). Sedangkan di Nanjing adalah makam Cheng Ho. Memang, ketika meninggal dalam perjalanan pulang dari ekspedisi ketujuh, jasad Cheng Ho dilarung di perairan India. Yang ada di Nanjing itu adalah pakaian dan topinya saja. Tradisi Tiongkok memang seperti itu. Jika jasadnya tidak ada, yang dimakamkan adalah barang kesayangan atau bajunya atau hal-hal yang berkaitan dengan yang bersangkutan. *** Awalnya kami membayangkan bahwa desa kelahiran Cheng Ho sama dengan desa-desa lain. Masih banyak penduduknya, dengan rumah yang berdempetan. Ternyata, situasinya sudah berubah. Tanah tempat Cheng Ho dulu tinggal masih ada. Namun, rumah aslinya sudah tidak ada. Demikian pula rumah para tetangganya. Lokasi di bekas rumah Cheng Ho dulu kini berubah menjadi dua bangunan. Yang satu bertingkat. Bangunan pertama berisi memorabilia ekspedisi laksamana besar tersebut. “Tiap hari selalu ada anak-anak sekolah (setingkat SD dan SMP) yang datang ke sini,” kata Yang Liyun, staf Taman Nasional Cheng Ho, yang menemani kami berkeliling. Menurut Yang, bangunan asli rumah Cheng Ho sudah tidak ada. Begitu pula rumah para tetangganya. “Semua dipugar untuk kepentingan taman (Taman Nasional Zheng He, red) ini,” ungkap perempuan berkacamata tersebut. Di bangunan bertingkat, benda-benda yang dipamerkan agak berbeda. Yakni, kostum laksamana yang dikenakan para aktor dalam sinetron Zheng He yang diputar televisi Tiongkok beberapa tahun lalu. Sinetron tersebut cukup populer di Tiongkok. Selain itu, ada beberapa foto keluarga besar keturunan Cheng Ho. Menurut Yang, ada tiga tempat yang menjadi pertemuan para keluarga Cheng Ho. Yakni, Chiang Mai, Thailand; Nanjing; dan Yuxi. “Jika ingin bertemu, sebaiknya di Nanjing. Di sana mereka yang paling aktif,” terangnya. Selain itu, ada beberapa potongan kayu yang disebut-sebut sebagai mainan Cheng Ho kecil. “Dulu sewaktu kecil, Zheng He suka sekali bermain di Danau Dianchi (baca: Tienje). Dia sering buat rakit, lalu berkeliling danau bersama saudara-saudaranya,” ungkap Yang. Selain bekas rumah Cheng Ho, situs penting lainnya adalah makam ayahanda Cheng Ho, Mi Lijin alias Ma Hazhi. Di makam itu tertulis sejarah singkat mengenai Ma Hazhi. “Kakek dan ayah Zheng He adalah pejabat di Dinasti Yuan. Kakeknya adalah pejabat cukup tinggi saat itu,” kata Yang. Menjadi haji bukan perkara gampang di Tiongkok saat itu. Harus kaya dan mempunyai pengaruh. Dua hal yang hanya bisa dicapai seorang pejabat. Menurut Yang, memang tidak terlalu banyak cerita atau peninggalan tentang Cheng Ho secara pribadi di Taman Nasional Cheng Ho di Kunyang. “Sebab, Zheng He sudah pindah ke Nanjing, menjadi kasim Pangeran Zhu Di sejak umur 11 tahun. Tidak banyak kenangannya di sini,” kata Yu. Menurut dia, Taman Nasional Cheng Ho yang paling lengkap berada di Nanjing. BERGANTUNG ANGGARAN PEMERINTAH Menempati lahan 16,6 kilometer persegi di Gunung Yuesan, Taman Nasional Zheng He tak ubahnya ruang terbuka hijau raksasa. Bangunan utama hanya tiga. Yakni, bekas rumah Cheng Ho, makam Ma Hazhi, dan Sanpao Building. Bangunan terakhir itu merupakan replika kapal Laksamana Cheng Ho dengan skala sepertiga kapal aslinya. Di dalamnya ada lukisan muhibah bahari Cheng Ho ke sejumlah negara seperti Arab dan Tanzania. Ada pula lukisan kedatangan pangeran Malaka sebagai duta besar ke Kaisar Zhu Di. Namun, yang paling menarik dari taman itu adalah lanskapnya. Arsitek Tiongkok, tampaknya, selalu memperhitungkan lingkungan sekitar ketika membangun. Karena itu, segala sesuatunya terasa simetris. Contoh paling ekstrem adalah Kota Terlarang. Taman Nasional Cheng Ho mempunyai patung raksasa laksamana tersebut setinggi 15 meter menghadap kota. Dipandang dari atas, tampak seperti Cheng Ho menatap Kunyang dan kawasan sekitar. Sangat simetris. Selain itu, ada sejumlah ruang lapang dengan lambang perhitungan astronomi kuno atau shio. Sangat asri dengan pohon-pohonan khas lereng pegunungan. Mereka juga menanam ratusan pohon sakura yang hanya berbunga pada musim semi. “Setiap akhir pekan, jumlah pengunjung rata-rata 600 orang. Hari biasa sekitar 200 orang,” kata Yang Liyun. Sejak Juni 2015, para pengunjung tak perlu merogoh kocek untuk bisa mengakses taman nasional. “Sebelumnya ditarik 2,5 yuan (sekitar Rp5 ribu),” katanya. Segala keperluan operasional taman nasional itu disubsidi pemerintah Provinsi Yunnan. Mereka menganggarkan sekitar CNY 5 juta (Rp10 miliar) per tahun. Dengan model gratisan dan lanskap yang tertata begitu bersih, tak heran banyak warga sekitar yang datang. “Memang, mayoritas yang datang hanya untuk menikmati lanskap ini. Bukan studi tentang Zheng He,” paparnya. Yang datang bermacam-macam. Bahkan, ada sejumlah kelompok masyarakat yang mempunyai agenda tetap aktivitas di sana. Misalnya, kelompok senam tao atau semacam PKK yang ingin bersantai menikmati udara segar. Taman nasional itu juga menjadi penyelenggara konferensi internasional secara berkala tentang Zheng He. “Rencananya, Juni nanti ada konferensi tentang Zheng He,” terangnya. (bersambung/ano/c5)
Kampung Cheng Ho Kini Jadi Taman Nasional
Selasa 30-05-2017,04:35 WIB
Editor : Husain Ali
Kategori :