INDRAMAYU-Kawasan Legok dan Ganyong, Kecamatan Patrol, kini sepi. Tidak terdengar lagi musik dangdut tarling yang menjadi cirri khas suasana warem. Tak terlihat pula wanita muda hingga paruh baya yang saban hari berjejer menunggu pria hidung belang. Warem di kawasan itu, yang mayoritas dibangun secara permanen kini telah rata dengan tanah, setelah dua alat berat backhoe yang diterjunkan Satpol PP membongkarnya. Penertiban warem atau tempat hiburan malam, merupakan bentuk komitmen dan keseriusan Bupati Indramayu Hj Anna Shopanah untuk mewujudkan Kabupaten Indramayu, bebas mihol dan porstitusi ditahun 2019. Namun, penertiban ternyata menyisakan masalah sosial lainnya. Saat ini, pemilik bangunan telantar. Jangankan memenuhi kebutuhan hidupnya, tidurpun mereka kesulitan. Sejumlah korban gusuran saat ditemui wartawan Koran ini mengaku tidak memiliki tempat tinggal lagi, setelah bangunannya dibongkar. Ketika ingin tidur, mereka terpaksa memanfaatkan sisa-sisa puing bangunannya. Tidak terpiikirkan oleh mereka, jika suatu waktu nanti tiba-tiba turun hujan. Itu dilakukan, dikarenakan mereka tidak memiliki tempat tinggal selain bangunan yang kini sudah rata dengan tanah itu. “Mau balik ke daerah asal, di sana kami tidak punya rumah. Hanya di sini tempat tinggal kami sekeluarga. Sementara di sini bangunan yang kita tempati digusur. Kini kami tidur dengan kondisi seperti ini di sisa-sisa reruntuhan,” tutur Ceter (60). Pria asal Desa Plawangan, Kecamatan Bongas itu, mengakui usaha yang digelutinya melanggar norma hukum dan agama. Namun, menurut Ceter, dirinya membuka warem, karena tidak memiliki usaha lain. “Pada dasarnya, saya tidak ingin menggeluti profesi sebagai mucikari. Tapi, karena urusan makan dan tuntutan hidup lainnya, serta dirasakan bisanya seperti (usaha, red) ini, ya terpaksa saya jalani, walaupun pada akhirnya seperti ini. Sekarang saya tidak punya apa-apa lagi, karena seluruh perabotan yang ada kita jual untuk makan. Saya bersama keluarga juga terpaksa harus tidur di bekas reruntuhan bangunan. Kadang numpang tidur di rumah warga yang tidak terkena gusuran,” ungkapnya, sembari memunguti sisa sisa puing bangunannya bersama istrinya, Darsinah. Hal sama juga dirasakan Midi, korban gusuran lainnya. Pria asal Desa Lamarantarung, Kecamatan Cantigi itu, bersama istrinya, Yani, terpaksa harus tidur di sebuah ruangan kecil yang masih tersisa. Namun, ruangan berukuran 2 X 3 meter itu tidak beratap. Midi mengaku pasrah dengan kondisi sepertiitu. Baik Midi maupun Ceter dan korban gusuran lainnya, berharap pemerintah menyediakan tempat tinggal yang layak. Mereka juga siap beralih profesi jika pemerintah memberikan solusi. (kom)
Korban Gusuran Terpaksa Tidur di Puing Bekas Bangunan Liar
Selasa 18-07-2017,11:00 WIB
Editor : Dedi Haryadi
Kategori :