Simplifikasi Olahraga

Rabu 06-09-2017,08:39 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

OLAHRAGA benar-benar bisnis ”emosi”. Sesuatu yang begitu besar, yang ketika indah bisa membuat semua orang lupa dan buta. Ketika terpuruk, memberi kesedihan atau amarah luar biasa. Dan, baik dan buruk sering tetap mengabaikan akal sehat. *** Bicara soal olahraga, Indonesia ini terus-menerus dilanda kesedihan dan kekecewaan. Walau sesekali muncul kabar gembira dan membanggakan, tetap saja sepertinya lebih sering sedih dan kecewa. Kalah dalam hal ini, merosot dalam hal itu, terpuruk dalam hal yang lain. Naik gemilang di satu sisi, tenggelam di sisi-sisi lain. Meski demikian, ada satu hal yang luar biasa dalam menyikapi situasi ini. Masyarakat Indonesia itu luar biasa bersemangat dan bangganya, tak pernah berhenti memberikan dan menyampaikan dukungan walau sudah berkali-kali dilanda kekecewaan menyakitkan. Olahraga memang hebat. Mungkin benar, kalau bicara bisnis, olahraga itu masuk dalam kategori langka. Yaitu kategori bisnis emosi yang tak bisa mati. Seperti kesehatan dan pendidikan. Sayangnya, masih banyak yang belum sadar, tetap harus ada ketenangan dan akal sehat untuk menjaganya. Tulisan ini sebenarnya berisi banyak cuplikan dari tulisan-tulisan lama saya dalam hal olahraga, yang terbitnya tersebar mungkin dalam 15 tahun terakhir. Kebetulan, saya juga telanjur sering basah di dunia olahraga. Dulu pernah ikut klub bulu tangkis Djarum dan klub sepak bola Indonesia Muda di Surabaya serta belakangan pernah mengelola liga basket nasional plus sekarang mengelola Persebaya Surabaya. Bukan berarti saya paling mengerti, karena saya pasti bukan yang paling mengerti. Saya selalu menekankan di berbagai tulisan bahwa saya bukan paling pintar, saya bukan paling jago. Tapi, kebetulan mungkin saya agak punya gambaran soal ini. Dan siapa tahu, unek-unek saya bisa merangkum dan memberi alternatif pemikiran supaya Indonesia kelak tidak terus murung soal olahraga di masa mendatang… *** Saya punya mimpi, semua cabang olahraga di Indonesia berkembang berbasis kompetisi. Bukan berbasis training camp, baik jangka pendek, jangka panjang, maupun jangka-jangkaan. Penduduk Indonesia ini ratusan juta. Berdasar hukum probabilitas saja, masak tidak ada Michael Jordan, Mike Tyson, Usain Bolt, atau superstar lain dalam berbagai cabang yang tersembunyi entah di pelosok mana. Cara mencarinya, di atas kertas, ya harus lewat kompetisi. Kompetisi, kompetisi, dan kompetisi. Bayangkan kalau ada kompetisi bulu tangkis di semua kota/kabupaten, kompetisi atletik di semua desa, kompetisi voli di semua perumahan, dan lain sebagainya. Diselenggarakan secara rutin dan konsisten dengan penjadwalan yang saklek. Dana olahraga yang begitu besar langsung saja fokuskan ke kompetisi. Semakin banyak pertandingan atau perlombaan yang diselenggarakan, semakin besar kemungkinan kita menemukan atlet dengan jam terbang kompetisi yang mumpuni. Ya, di atas kertas, sekarang sudah ada yang arahnya ke situ. Tapi, intensitas dan konsistensinya bikin elus dada. Andai Anda tahu berapa banyak proposal bantuan pembiayaan kompetisi yang lewat ke depan saya… Tidak ada cara untuk meningkatkan performa dan kualitas selain kompetisi. Lebih dari pemusatan latihan dalam bentuk apa pun. Kompetisi, kompetisi, dan kompetisi. Pemusatan latihan tidak akan menumbuhkan industri olahraga. Dengan kompetisi, semakin banyak orang terlibat di olahraga, semakin banyak orang datang untuk menonton dan mendukung acara olahraga, semakin banyak pula dana tambahan –dalam bentuk sponsor atau yang lain– yang ikut semakin meramaikan olahraga. Contohnya kan banyak. Di Amerika, yang paling maju, semuanya murni berbasis kompetisi. Mulai tingkat SMP sampai profesional, ada kompetisi dalam cabang apa pun. Di Eropa pun seperti itu. Bahkan di negara-negara yang penduduknya ”sedikit” seperti Australia, kompetisi juga sangat diutamakan. Saya pernah diajak melihat kompetisi basket tertinggi perempuan di Negara Bagian Australia Barat. Karena tidak ada sponsor komersial yang mau mensponsori, maka dari pihak pemerintah yang membantu memastikan kompetisi terselenggara. Tentu saja di Australia ada perbedaan sedikit. Mereka juga mengutamakan program atlet khusus, yang dikelola badan khusus. Ketika berbincang dengan seorang pelatih basket senior di Australian Institute of Sports (AIS) di Canberra, dia bilang ada alasan kenapa harus begitu. ”Kalau di Amerika, penduduknya banyak. Kalau atletnya kurang baik, tinggal cari yang lain. Kalau di Australia, kami tidak bisa seperti itu karena jumlah orangnya tidak banyak. Jadi, kami harus punya sistem untuk memaksimalkan potensi atlet yang ada,” ucapnya. Lebih jauh lagi, karena minimnya jumlah manusia, sports science dikembangkan begitu hebat. Dan anak sejak usia dini sudah diukur segala macamnya untuk memperkirakan, kira-kira dia itu nanti berbakat atau bagus di olahraga apa (misalnya, densitas tulangnya diukur di usia 12 tahun supaya tahu kira-kira dia bakal tumbuh setinggi apa). Kembali ke kompetisi. Karena semuanya harus mengutamakan kompetisi, memaksimalkan jumlah pertandingan, memaksimalkan infrastruktur pertandingan (bangunan dan manusia), mungkin ya perlu simplifikasi saja. Serahkan semua urusan kompetisi dan pengembangan olahraga ke pengurus cabang masing-masing. Toh, ada pengurusnya dari pusat sampai daerah. Diberi anggaran dan target harus menyelenggarakan sekian banyak pertandingan dalam setahun. Ketika berkunjung ke Australia Barat dulu, saya benar-benar suka dengan konsep department of sports and recreation. Departemen olahraga dan rekreasi itu sama sekali tidak mengurusi kompetisi atau pembinaan atlet. Urusan kompetisi itu diserahkan kepada pengurus cabang masing-masing. Lalu, apa tugas departemen olahraga dan rekreasi? Simpel. Tugas mereka memastikan di setiap wilayah masyarakat tersedia gedung atau fasilitas olahraga yang memadai. Kalau kawasan itu tidak punya gedung indoor, ya dibangunkan. Kalau tidak ada area rekreasi, ya dibuatkan jogging track dan lain sebagainya. Memastikan masyarakat berolahraga, memastikan olahraga memasyarakat. Simpel banget. Jelas, fasilitas olahraga jadi tanggung jawab siapa. Jelas, pengembangan kompetisi dan pembinaan atlet jadi tanggung jawab siapa. Dan kompetisi terus berjalan, juga berjalan dengan baik, karena fasilitas serta infrastrukturnya ada. Itu contoh dari negeri di dekat kita. Ada contoh lain yang simpelnya lebih ekstrem. Pernah dengar Amerika punya menteri atau departemen olahraga? He he he… Tidak ada. Silakan cari, Anda tidak akan menemukan. Sebab, memang tidak ada kementerian olahraga di Negeri Paman Sam. Tapi, itu tidak berarti mereka tidak punya anggaran untuk olahraga. Punya. Dan besar sekali. Tapi diarahkan langsung ke badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan olahraga. Seperti subsidi untuk kampus-kampus peserta NCAA, kompetisi nasional tingkat universitas… (*)

Tags :
Kategori :

Terkait