Saat Anak Mulai Pacaran, Apa yang harus Dilakukan? Moderat atau Saklek

Sabtu 09-09-2017,19:02 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

MASA pubertas anak-anak dimulai sekitar usia 8-14 tahun. Di masa itu pula, anak-anak mulai tertarik dengan lawan jenis. Sebut saja ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), anak mulai menyatakan keinginannya untuk berpacaran. Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan orang tua? Fenomena relationship goals kadang bikin khawatir. Kalangan orang tua tentu tak begitu faham dengan istilah ini. Lain halnya dengan remaja kita yang justru menjadikan tagar #relationshipgoals sebagai sebuah motivasi memiliki pasangan. Lebih lagi, remaja saat ini seperti kegandrungan fenomena macam ini. Bahkan jadi semacam kebanggaan tersendiri. Alhasil, kemesraan remaja-remaja usia belasan ini bertebaran, baik di jagat dunia maya maupun sehari-hari. Sebagai orang tua yang melek teknologi dan perkembangan media sosial, Wihasti Laksita (45) kadang mengelus dada. Memiliki tiga orang putri, dengan rentang usia berdekatan membuatnya lebih berhati-hati soal mendidik ketiga putrinya itu. Tidak seperti orang tua kebanyakan, bentuk pendidikan karakter yang ditanamkan Wihasti kepada tiga orang putrinya itu memang unik. Ketiga anaknya diperbolehkan berpacaran. Dengan syarat telah berusia 17 tahun. Ia memahami betul bagaimana gejolak perasaan yang ada ada usia-usia tersebut. Meski memperbolehkan, ia mengaku tetap memberikan warning dan pengawasan. \"Nggak masalah kalau pacaran, yang penting harus tau aturan dan batasannya. Tanpa perlu dijelaskan, mereka sudah tau apa saja yang menjadi batasan-batasannya,\" ujar Wihasti saat berbincang dengan wartawan koran ini. Keputusannya memperbolehkan anak-anaknya berpacaran tersebut sebelumnya sudah dibekali dengan pendidikan karakter yang telah ditanamkan sejak dini. Sejak kecil, Wihasti membiasakan pada ketiga putrinya untuk menjadi seorang yang terbuka. Termasuk dalam hal hubungan pacaran ketiga anaknya. \"Pacaran nggak saya anggap tabu. Sebagai orangtua punya caranya masing-masing untuk melindungi anaknya. Saya dan suami lebih memilih prinsip terbuka pada anak, sehingga anak terbiasa untuk menceritakan hal-hal yang dianggap tabu bagi orang tua kebanyakan,,\" tuturnya. Lain halnya dengan Wihasti, salah satu orang tua remaja lainnya, Aisyah Hawwa lebih memilih tidak memberi izin kepada putra-putrinya. Menurutnya, pacaran cenderung membuat putri-putrinya tidak bisa berfikir ke masa depan yang terarah karena terpatok pada perasaan. \"Nggak setuju, karena jangkauan anak ini kan masih panjang, masih banyak yang harus digapai selain berpacaran,\" akunya. Aisyah menuturkan, patokannya dalam mendidik anak tentu berasal dari ajaran Islam. Ajaran Islam sendiri tidak mengenal pacaran dalam hubungan manusia. Dengan acuan tersebut, Aisyah menuturkan tidak setuju jika anaknya yang masih duduk di bangku SMP itu mulai berpacaran. \"Di Islam juga tidak kenal pacaran, yang ada taaruf. Untuk itu pacaran di usia belasan saya tidak setuju,\" paparnya. Kalaupun nantinya anaknya terlanjur telah berpacaran dengan lawan jenisnya, Aisyah mengaku akan memberikan penjelasan dan pengertian sebaik-baiknya pada anak bagaimana pacaran. Apa saja dampak buruk ke depannya guna memberikan warning pada anak soal pacaran. \"Maka dari itu sebagai orang tua kita mengawasi putra dan putri kita di usia labil ini. Kalau sekedar tahu tidak masalah. Tapi kalau sudah terlanjur, akan saya berikan penjelasan soal efek buruknya, agar mereka sadar lebih baik fokus pada sekolah dan karirnya nanti,\" jelasnya. Menurutnya, usia yang tepat untuk memulai suatu hubungan bagi anak-anaknya ialah di usia 20 tahunan. Dalam usia tersebut menurutnya emosi anak akan lebih terarah dan terkontrol. \"Bukan membatasi untuk kenal dengan lawan jenis, hanya saja waktunya yang perlu dilihat. Kalau sudah 20 tahunan pun saya mengizinkan anak-anak mulai berpacaran,\" katanya. Dari sisi psikologi, anak yang sudah memasuki usia remaja secara alamiah akan mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Alasannya, karena tubuhnya sendiri telah dipengaruhi hormon-hormon yang berkembang seiring masa pubertas. \"Orang tua yang memiliki anak remaja di masa sekarang mau tidak mau harus bisa bersikap lebih terbuka dan moderat dalam menghadapi perkembangan fisik dan psikologis anaknya,\" ujar Psikolog, Linda Sofyana. Kendati demikian, walaupun orang tua membolehkan si anak mendekati lawan jenisnya, pengawasan tetap diperlukan. Artinya, orang tua harus membekali anak dengan pemahaman mengenai menjalin hubungan. \"Kasih pemahaman ke anak, jangan sampai berbuat yang tidak senonoh apalagi di tempat umum,\" katanya. Tak hanya itu, pendidikan seks menjadi sangat penting diperkenalkan sejak dini kepada anak-anak. Sehingga , remaja akan terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan orang tua. \"Tegaskan selalu bahwa harus sayangi tubuh dengan tidak membiarkan sembarang orang menyentuhnya,\" jelasnya. Saran Linda, orang tua juga harus menerangkan alasan mengapa anak harus menyayangi dan menjaga tubuhnya. Diantaranya, menghindari kehamilan di luar nikah dan tindakan kekerasan seksual. \"Katakan juga risikonya. Kerugiannya apa. Kalau bisa, berikan contoh nyata sehingga anak semakin memahami pentingnya menjaga diri,\" tuturnya. Tanpa pengawasan orang tua, kata Linda, bisa jadi remaja berperilaku semaunya tanpa memperhatikan lingkungan sekitar. Sementara itu, pakar tumbuh kembang anak, dr Tri Gunadi AMd OT SPsi mengatakan, perilaku tersebut sebenarnya tidak terlepas penurunan pendidikan moral dan karakter oleh keluarga. Dijelaskan Tri, karakter itu ada 7 pilar. Diantaranya, empati, hati nurani, kontrol diri, menghargai dan kebaikan, tenggang rasa dan keadilan. Sedangkan, moral yang merupakan prinsip pendidikan karakter diantaranya yakni, jujur, disiplin, tekun, penyayang, bertanggung jawab, seimbang, pencari tahu, berpengetahuan, dan terbuka. \"Itu yang kurang ditanamkan oleh keluarga sejak kecil,\" ujarnya. Terutama, kata Tri, karakter dalam pilar hati nurani. Yang artinya, anak jadi tidak bisa membedakan perbuatan yang baik dan buruk. \"Perbuatan yang melanggar norma agama atau tidak. Di sisi lain masa remaja ada masa yang butuh pengakuan,\" pungkasnya. (mike d setiawati/novrila m pangesti)

Tags :
Kategori :

Terkait