Usia 34 Terlalu Tua

Rabu 08-11-2017,10:01 WIB
Reporter : Harry Hidayat
Editor : Harry Hidayat

SAYA bertemu seorang CEO media seru di rapat komite media Asia-Pasifik di Singapura baru-baru ini. Umurnya masih 34 tahun, tapi dia sudah merasa terlalu tua!

***
Waktu memang berjalan cepat.
Tidak terasa, sudah sekitar delapan tahun saya jadi anggota komite Asia-Pasifik di WAN-IFRA, asosiasi penerbit dunia. Hampir setiap tahun saya bertemu dengan bos-bos media se-Asia-Pasifik, bahkan sedunia. Tidak terasa, saya sudah bukan lagi anggota termuda. Dulu, saat masih berusia sekitar 32 tahun, saya merupakan anggota termuda komite. Bahkan mungkin yang paling muda yang pernah diminta bergabung. Dan itu berarti orang-orang lain di komite pun terus bertambah usia. Bahkan, ada yang sudah jadi ”professional golfer” alias pensiun, ada yang sudah tidak lagi menjadi pimpinan di medianya, dan lain sebagainya. Kami biasanya bertemu dalam kongres tingkat Asia-Pasifik atau tingkat dunia. Bisa setahun tiga kali, minimal sekali. Plus, ada pertemuan-pertemuan khusus. Dalam setiap acara, selalu ada pembicara-pembicara hebat yang dimunculkan untuk sharing pengalaman perkembangan media masing-masing. Harapannya, bisa menjadi inspirasi atau contoh bagi yang lain. Kebetulan, saya juga sering diminta, termasuk untuk sharing di tingkat dunia. Saya pernah menerima untuk sharing di India, Austria, dan beberapa negara lain. Tapi juga pernah menolak untuk sharing di Afrika Selatan dan beberapa negara lain (karena jadwal tidak memungkinkan). Kata mereka, sangat jarang ada orang muda yang bisa bicara soal media. Khususnya media cetak. Kata mereka, saya ini tergolong orang langka dan termasuk tipe maverick (apa pun itu). Tentu bangga bisa bicara di depan mereka. Paling bangga waktu di Austria, di World Newspaper Congress 2011, di depan seribu pemilik koran sedunia. Atau waktu di Filipina, ketika saya jadi pembicara pertama setelah presiden! Ayah saya termasuk legenda media Indonesia, tapi dia pun tak pernah diminta bicara di tingkat dunia! Hehehe… Bangga tentu tidak ada artinya jika tidak ada hal nyata yang benar-benar bisa diceritakan. Pergi ke kongres tingkat apa pun, dengan pembicara siapa pun, belum tentu bisa memberikan jawaban dari segala pertanyaan yang kita miliki. Sebab, sang pembicara hanya punya waktu beberapa menit sampai satu jam untuk sharing. Bagi saya, yang paling penting adalah saat pertemuan komite itu tadi. Di ruang khusus, hanya diikuti belasan orang, dan waktunya jauh lebih panjang. Tradisinya, satu per satu anggota komite sharing tentang situasi medianya dan negaranya. Kemudian bisa tukar pikiran. Siapa tahu solusi di India bisa berguna untuk Indonesia. Atau solusi Indonesia cocok untuk Malaysia. Dan begitu seterusnya. Awal November lalu ada yang seru di pertemuan komite Asia-Pasifik di Digital Media Asia 2017, di Singapura. Akhirnya, setelah bertahun-tahun, ada anggota komite baru yang lebih muda daripada saya! Dia CEO media besar di Hongkong. Usianya masih 34 tahun. Sempat mengenyam pengalaman di New York sebelum menjadi bos di grup media tersebut. Begitu banyak perubahan dia lakukan sehingga menjadi sumber cerita baru yang seru bagi pelaku industri yang lain. Saat tampil di panggung kongres, ada celetukannya yang membuat saya tertawa kecil. Yaitu saat bicara soal pembaca muda. Dia bilang, mengejar generasi milenial itu terlambat. Karena itu yang sekarang, bukan masa depan. Kalau mau yang masa depan, ya harus mengejar generasi Z. Kenapa saya tertawa kecil? Karena cara berpikir kami mirip. Sejak dua tahun lalu, saya sudah menerapkan strategi serupa di Jawa Pos. Halaman anak muda yang sudah belasan tahun sukses, DetEksi, saya tutup. Saya gantikan dengan Zetizen untuk generasi baru, yaitu generasi Z. Banyak orang di Jawa Pos bingung lagi dengan Zetizen, bahkan sampai sekarang. Tapi, orang sering lupa bahwa mengejar anak muda itu tidak pernah untuk sekarang. Melainkan untuk tahun-tahun ke depan. Bahkan, DetEksi dulu baru menunjukkan hasilnya setelah lima tahun eksis. Di Digital Media Awards 2017 itu, Zetizen pun meraih penghargaan. Gelar pertama Jawa Pos Group di ajang digital. Karena sama-sama di komite, saya bisa ngobrol lebih banyak dengan anak muda itu secara lebih privat. Di pertemuan tersebut, dua tema utama yang dibicarakan adalah berapa penghasilan digital jika dibandingkan dengan print, plus soal konsumen muda. Soal penghasilan digital, semua masih bilang terlalu kecil. Sangat jarang di atas 5–10 persen dari total pemasukan perusahaan. Anak muda itu mengaku lebih baik dari kebanyakan, pemasukan digitalnya mencapai 30 persen. Tapi, dengan lantang dia bilang, semua harus berjuang mengejar penghasilan digital dari subscription alias pelanggan. Jangan pernah mengharapkan penghasilan iklan digital akan menggantikan print. Itu berarti terus memburu konsumen muda. Menyediakan bagi mereka konten atau produk yang membuat mereka mau menjadi pelanggan. Membayar untuk membaca. Dan itu berarti harus punya tim yang muda-muda pula. ”Usia saya ini (34 tahun, Red) merupakan usia rata-rata karyawan di perusahaan saya. Tapi, saya sendiri sudah merasa tua. Untuk beberapa hal, saya sudah tidak paham dengan apa yang dilakukan anak buah saya,” paparnya. Saya bercanda ke dia, kalau dia merasa terlalu tua, maka saya jadi merasa seperti kakek-kakek. Dan usia saya 40 tahun, jauh lebih muda daripada kebanyakan pemimpin media besar lain. Kami pun saling sharing berdua. Kebetulan, usia karyawan di Jawa Pos tidak jauh dari perusahaan dia. Saya bilang senang bicara dengan dia. Karena makin lama makin sulit mencari teman berbicara yang sepantaran! Walau saya masih lebih tua, wkwkwkwk… Bayangkan mereka yang lebih tua lagi. Wkwkwkwk… Mohon maaf, bukan bermaksud menyinggung. Walau terus terang saya bermaksud menyentil. Wkwkwkwk… Toh, saya sendiri juga tersentil. Bahwa saya sudah menjadi generasi ”sekarang”, bukan lagi generasi masa depan. Dan dalam hati, saya selalu menantikan kapan momen peralihan itu tiba. Dengan hadirnya anak muda Hongkong tersebut di komite, saya merasa bahwa momen yang lama saya tunggu itu tiba. Di dalam rapat komite, dia berbicara begitu berapi-api, begitu bersemangat. Apalagi ketika ada ”generasi tua” yang berbicara seolah ”menyerah” menghadapi konsumen generasi baru. Anak muda itu tahu betul mau pergi ke mana, mau berbuat apa. Masih menggebu-gebu mengejar pembuktian. Memang, kelak dia belum tentu benar, tapi dia akan habis-habisan memburunya. Dia masih no fear. Walau sudah merasa tua, dia tetap lebih dekat dengan konsumen yang lebih muda, tetap lebih mudah berbaur dan bergaul dengan mereka yang lebih muda. Dan umur tidak bisa berbohong! Berdasar pengalaman saya belasan tahun bikin program anak muda, yang muda lebih mudah berkomunikasi dengan mereka yang usianya tidak terlalu jauh berbeda. Ketika yang muda harus memanggil ”Pak” atau ”Om”, barrier sudah terbentuk. Dan memanggil ”Kakak” atau ”Mas” itu tidak bisa dipaksakan! Seperti mengharapkan respek dari orang lain, termasuk dari yang lebih muda. Harus lewat attitude dan pembuktian, tidak bisa dipaksakan! Ironisnya, masih banyak orang yang mencoba memaksakan itu. Sudah tua tapi merasa sok muda. Bahkan berdalih berjiwa muda. Padahal, usia sangat sangat tidak bisa dibohongi. Nah, kalau tua tidak bisa dipaksakan, lalu harus bagaimana? Saya sangat percaya dengan youth empowerment. Relakan. Lepaskan. Beranikan diri memercayai dan membiarkan yang muda berkarya. Saya termasuk produk youth empowerment. Rasanya, saya belum termasuk orang gagal dan semoga tidak pernah jadi orang gagal. Anak muda Hongkong yang jadi CEO itu juga produk youth empowerment. Bayangkan, perusahaan dia itu besar sekali, termasuk jadi acuan bukan hanya di Asia-Pasifik, tapi juga di dunia. Dan pemilik medianya, salah satu orang terkaya di dunia yang sangat terkenal, memilih seseorang yang berusia 34 tahun untuk menjadi CEO-nya! (*)
Tags :
Kategori :

Terkait