Mahameru, Satu Dekade Lalu

Senin 17-12-2012,23:29 WIB
Reporter : Dedi Darmawan
Editor : Dedi Darmawan

KERETA yang sama, danau yang sama, dan puncak yang sama. Tonton 5 cm untuk mengenangnya… Pesan pendek itu saya kirim ke wartawan Harian Kontan di Jakarta (Surtan Pantas Siahaan), dan seorang dosen Stikes Indramayu (Yanganto). Bersama mereka berdua, saya menghabiskan libur caturwulan sekolah pada pertengahan Juli 2002, menuju Malang, Jawa Timur. Beberapa hari lalu, Kamis (13/12), di depan sebuah layar lebar, saya mengenang perjalanan sepuluh tahun silam saat masih berseragam putih abu-abu. Ya, saya kembali ke sana. Tanpa riuh sahutan penonton, hanya napas yang menderu dan carier yang mesti selalu tegak di punggung. Sebuah kebetulan, ketika menuliskan ini saya menjalani usia 27. Sementara Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa tahun 60-an yang juga pendiri Mapala UI, gugur di puncak Mahameru sehari sebelum ultah ke-27 pada 16 Desember 1969. Jadi kemarin (16/12), merupakan peringatan 43 tahun kematian Gie, yang merupakan adik kandung tokoh intelektual Indonesia, Arief Budiman (Soe Hok Djin). Gie tewas di puncak Mahameru, bersama seorang rekan lainnya, Idhan Dhanvantari Lubis (19), diduga karena menghirup gas beracun. Saya pernah bertemu kakak kandung Idhan, yang juga aktivis pecinta alam, Idat Lubis, saat mengikuti Sekolah Pendaki Gunung di Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP), pada 2005. Idat dan (alm) Idhan Lubis, merupakan keponakan Mochtar Lubis, seorang sastrawan dan wartawan terkemuka pada zamannya, salah satu pendiri Kantor Berita ANTARA. Mahameru yang dijamah Gie, Mahameru dalam film 5 cm, dan Mahameru yang pernah saya gapai, memang menawarkan uji nyali batas tipis hidup dan mati seseorang. Kereta Matarmaja dalam film 5 cm berangkat dari stasiun Pasar Senen tujuan Malang. Kereta itu pula yang saya naiki dari stasiun Prujakan. Sejak saya dan dua rekan berangkat pukul 17.00, dan sampai stasiun Malang jam 10.00, selama 17 jam di atas ular besi kami duduk di bordes (sambungan antar gerbong) depan toilet yang yang pesingnya mungkin dapat membangunkan mumi Firaun. Sementara carier kami, yang oleh penumpang lain kerap diledeki, bawa kulkas ya dik, terpaksa disimpan dalam toilet yang pintunya tak pernah tertutup. Setelah melewati stasiun Blitar, baru isi gerbong agak lowong. Di salah satu gerbong, saya melihat sekelompok abang-abang (mereka tampak lebih tua dari kami pelajar SMA), kompak memakai kaus putih bertuliskan MAHAMERU dengan tinta merah. Pemimpin rombongan mereka sudah lima kali mendaki Semeru. Kelak setelah sampai pucuk Mahameru, dan kembali ke rumah, kami menilai pertemuan dengan rombongan dari Jakarta itu anugerah Tuhan yang begitu berharga. Boleh dibilang, secara fisik dan mental, kami siap mendaki Mahameru dengan bekal pengalaman pendakian gunung sebelumnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tapi, untuk perlengkapan pendakian, kami modal nekat! Hanya membawa sebuah tenda prisma (bukan dome), yang ketika dipakai menghalau dingin di Arcopodo, ternyata resleting pintu utama tenda jebol. Tak bisa ditutup. Belum lagi, kami bertiga hanya membawa dua sleeping bag (kantong tidur), berbahan tipis sesuai harga kemampuan jajan anak sekolah. Alhasil, saat kabut merubungi Arcopodo dan dingin mencapai satu derajat celcius (kami bawa pengukur suhu yang dipinjam tanpa izin dari lab sekolah), saya dan Surtan “Neo” memasukkan masing-masing satu kaki dalam satu sleeping bag. Sementara satu kaki lain bebas digigiti hantu dingin Semeru. Pintu tenda kami berkibar-kibar dihantam angin. Sepatu kami? Saya memakai sepatu jogging merek Dragon, sepatu terkenal dan paling mahal untuk para tukang becak. Naik-turun puncak pasir berbatu Mahameru, tanpa ampun sepatu itu koyak di tiap sisi. Tapi demi kewibawaan sepatu itu, yang telah berdarah-darah menapaki pelataran puncak Mahameru, sampai di rumah saya tak mencucinya hingga dipakai berbulan-bulan kemudian ke sekolah. Tak peduli peringatan guru hehe… Kami hanya punya sedikit uang saku, dan hasrat untuk menyalurkan kecanduan ngelayap ke tempat-tempat terpencil jauh dari kebisingan kota. Kompor? Ah, untuk kami kompor kupu-kupu dengan selang yang mudah bocor dan tabung gas yang kerap beku karena udara super dingin, sudah jadi barang paling mewah. Tak ada kompor antibadai, Trangia. Tapi kini, bolehlah saya bangga. Saya dan Yanganto sudah urunan beli tenda dome. Kami pun segera membeli Trangia. Saya juga sudah pakai sepatu treking merek Jack Wolfskin yang keren itu, pemberian anggota Wanadri yang tinggal di Kota Cirebon (Ian Bohemian Hobo). Malam itu, setelah lima jam mengayunkan langkah dari Desa Ranupane (titik awal kami memanggul carier dan napas mulai digas), pukul 22.00 sampai di sebuah kawasan serupa surga di kahyangan, tempat dewi-dewi membasuh muka atau merendam tubuh moleknya. Dipagari perbukitan berhutan lebat dan padang savana, area tersebut cukup memesona. Eksotisme Ranu Kumbolo tiada duanya. Kebahagiaan bisa sampai di sana, bagai menerima hadiah cokelat saat Hari Valentine dari kekasih tercinta. Betapa manis, betapa indah! Ada sebuah warung di Ranu Kumbolo. Pemiliknya satu keluarga suku Tengger. Sudah sesak di dalam warung. Bergaya seperti Winnetou yang hendak membuka tenda di sabana hutan tanah Indian, kami menuju satu titik agak jauh di samping warung untuk mendirikan tenda prisma. Namun, tenda kami tak berdiri. Nyala besar api anggun di halaman warung sangat menggoda. Kami pun memilih terlelap melingkari api, tanpa khawatir tubuh terbakar, karena lebih takut serangan dingin yang bisa membuat jantung berhenti berdegup. Aktivitas pagi di Ranu Kumbolo cukup ramai. Sebelum pukul 09.00, kami bertiga kembali memulai langkah. Awal yang berat bergerak dari Ranu Kumbolo. Tak ada jalan landai untuk pemanasan, tapi langsung berhadapan dengan tanjakan sepanjang 200 meter yang melegenda: siapa mampu melewatinya tanpa berhenti sekalipun dan menoleh ke belakang, maka cinta kasihnya dengan seseorang bisa abadi. Welcome to Tanjakan Cinta. Dengan beban carier yang bisa saya bandingkan dua kali lebih berat dari menggendong anak kembar saya yang kini berusia dua tahun, berat rasanya untuk tidak berhenti barang sejenak mengambil napas. Kami bertiga gagal! Namun kelelahan itu segera terobati, begitu sampai di puncak tanjakan. Membalikkan badan, terbentang biru danau di antara hijau savana dan rimbun pinus-pinus. Siapa malaikat yang melukisnya? Saya ingin memberi penghormatan! Pukul 17.00, kami sampai di target pendakian hari itu: Arcopodo (arca kembar). Dua jam sebelumnya kami melewati Kalimati. Biasanya dari Ranu Kumbolo, pendaki akan membuka tenda di Kalimati atau Arcopodo, sebelum ­ngetrek di jalur pasir berbatu. Di sepanjang jalur menuju Arcopodo, kita mudah menemui plakat in memoriam untuk mengenang para pendaki yang tewas di Semeru. Area tempat saya dan dua rekan, juga abang-abang dari Jakarta mendirikan tenda, bersebelahan dengan kemah seorang pendaki asal Belanda yang kala itu ditemani pemandu sekaligus porter (pengangkut beban). Saya sempat menanyakan pada mister itu, kenapa Timnas Belanda tidak lolos ke Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korsel. Pukul 02.00, setelah menyantap kentang goreng dicampur kornet yang ditawarkan pendaki Jakarta, kami bergerak menembus gelap yang membekukan. Lagi-lagi melalui beberapa in memoriam, terus ke atas, hingga kaki sampai pada pijakan yang mudah goyah dan merosot. Pepohonan menghilang, berganti lautan pasir berbatu sepanjang mata memandang ke atas. Sebuah pemandangan menakjubkan, saat saya melihat semburat cahaya merah terpancar di balik gundukan awan di ufuk timur. Waktu Subuh jelas sudah masuk. Tak ada pelataran memadai untuk sekadar duduk dengan semestinya. Tanpa pilihan lain, saya membalikkan badan, membelakangi jalur pasir berbatu. Subhanallah… Di hadapan saya terbentang cakrawala luas tanpa batas. Saya ada di istana langit! Lautan awan mulai tertimpa cahaya kuning keemasan. Sunrise, sunrise, betapa cantiknya. Saya pun mulai mengumandangkan takbir. Salat subuh di tempat paling tinggi yang pernah saya datangi. Tubuh terduduk di jalur pasir berbatu dengan kemiringan 70 derajat. Merosot, melorot, dan merosot lagi. Hati saya tergetar. Kalbu bergelora, menguapkan rasa kagum sekaligus takut. Betapa kecil diri ini di hadapan alam raya milik Tuhan. Setengah mati, dalam kondisi lapar dan haus, setelah melewati satu tanjakan paling curam, di antara batu-batu super besar, pukul 07.30 kami sampai di pelataran puncak Mahameru. Kami pun sibuk mengabadikan momen. Mendatangi bibir puncak di ketinggian 3.676 MDPL, untuk melihat pemandangan laut di kejauhan. Sampai tiba-tiba di tengah kegembiraan, tanah di puncak bergetar, goyang seperti kena gempa. Dibarengi suara gemuruh dari dalam kawah, hingga kemudian buumm.. buumm… letusan asap menggumpal besar keluar dari perut bumi. Kami berfoto dengan latar gumpalan asap. Foto spesial, khas tim pendaki mana pun yang sampai di Mahameru. Waktu beranjak mendekati pukul 09.00. Kami memutuskan segera turun. Sungguh perjalanan tidak terlupakan. Hari-hari berikutnya saat kembali ke rumah, dan sampai sekarang ada di ruang redaksi dikejar deadline, mendengar lagu Mahameru dari Dewa 19 memberi kenangan tersendiri bagi saya. Dan hari ini (17/12), jika Soe Hok Gie masih hidup, Ia akan merayakan ulang tahun ke-70. Selamat ultah bung Gie, tiup lilin di atas sana, ya! (M Rona Anggie, Redaktur Radar Cirebon)

Tags :
Kategori :

Terkait