Penderita Myasthenia Gravis Tak Banyak, Pengobatannya Mahal

Selasa 20-02-2018,19:01 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

Bisa jadi masih belum banyak orang yang tahu mengenai myasthenia gravis (MG). Penyakit autoimun yang menyebabkan kelemahan otot secara menyeluruh hingga dapat mengakibatkan kematian. Penderitanya tidak banyak, pengobatannya mahal. VIRDITA RIZKI RATRIANI, Jakarta SITA Wardhani mulai merasakan keanehan pada tubuhnya saat berusia 24 tahun. Dia tiba-tiba tidak bisa menulis dengan benar dan tak bisa minum menggunakan sedotan. Penyebabnya, mulutnya tak bisa mengatup dengan rapat. Penglihatannya juga mulai samar. Awalnya dia tak acuh. Hingga akhirnya dia mulai sering terjatuh. Merasakan lemas di sekujur tubuh hingga tidak mampu beraktivitas. “Akhirnya saya ke dokter saraf untuk mengecek kondisi. Sudah pergi ke beberapa dokter, tetapi belum ada yang memvonis kalau saya mengidap MG,” kenang Sita saat ditemui di gedung perkantoran di kawasan Jakarta Pusat. Tiga dokter saraf belum mampu menjelaskan penyakit yang diidapnya. Barulah di dokter saraf keempat, Sita terdeteksi mengidap MG. Dia bercerita, pengetahuan yang kurang tentang penyakit itu, kesulitan mendapatkan obat, dan pengobatan yang cukup mahal akhirnya memunculkan rasa untuk bisa berbagi dengan sesama MG. Pada 2006 salah seorang suami penderita MG berinisiatif menghubungkan pengidap MG melalui sebuah milis di Yahoo.com. Lalu pada 10 Oktober 2009 pertemuan kali pertama antara MGers yang tergabung dalam milis tersebut dilakukan di Jakarta. Tak puas hanya dengan berbincang di dunia maya, mereka pun mencetuskan ide untuk membentuk komunitas di dunia nyata. Bernama Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia (YMGI). Namun, selama dua tahun sejak pertemuan tersebut, proses pembentukan yayasan tidak mengalami kemajuan berarti. Hingga terjadi peristiwa yang memukul MGers. Yakni, meninggalnya salah seorang penderita MG Erry Susanto. Dia harus pulang paksa dari RS saat dirawat di ruang ICU pada 13 Maret 2011 lantaran keterbatasan dana. Kala itu Erry harus menggunakan bantuan ventilator. Mereka pun menyadari andai yayasan sudah terbentuk, mungkin keadaan bisa lebih baik. Selain peristiwa itu, sudah banyak kisah MGers lain yang mengalami kesulitan keuangan dalam pengobatan maupun keterlambatan penanganan medis. Pada Juni 2011 komunitas berhasil dibentuk dengan beranggota 40 orang. Yayasan itu sering melakukan gathering, seminar, dan penyuluhan tentang penyakit tersebut. Selain itu, penyebaran informasi dilakukan melalui website serta jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, maupun mailing list (milis), dan brosur. Mereka juga selalu aktif sharing melalui grup WhatsApp dan kuliah WA dengan narasumber dari dokter saraf, bedah saraf, psikolog, ahli gizi, maupun dokter gigi. Keterbatasan kondisi penderita MG mengharuskan kegiatan lebih sering dilakukan melalui dunia maya. Sosialiasi cukup penting agar keluarga dan lingkungan terdekat MGers bisa memberikan dukungan. Minimal pasien memiliki keinginan dan semangat untuk hidup. Sebab, biasanya mereka patah semangat karena tidak bisa sembuh dan harus ketergantungan obat seumur hidup. Penderita MG pun bisa bergabung melalui website YMGI maupun fan page YMGI di Facebook. YMGI juga bekerja sama dengan tenaga medis (dokter) serta industri dalam kesehatan (laboratorium, farmasi, dan rumah sakit). Serta mengusahakan kemudahan fasilitas serta layanan medis dan pendukungnya bagi anggota. YMGI juga sering secara spontan melakukan penggalangan dana guna memberikan bantuan bagi anggota yang membutuhkan. Selama ini belum ada donatur tetap untuk yayasan itu. Dana didapatkan dari iuran anggota. Sebanyak empat kali mereka juga melakukan aksi penggalangan dana di kitabisa.com untuk membantu sesama anggota yang kritis. Keterjangkauan akses penderita terhadap obat-obatan juga menjadi hal yang cukup diperhatikan. Sebab, pada saat kali pertama perempuan yang berprofesi dosen di Universitas Indonesia itu divonis MG, masih belum banyak apotek yang menjual mestinon. Penyakit tersebut memang membutuhkan suplemen bernama mestinon guna menjaga tubuh penderitanya bisa beraktivitas seperti orang normal. Tanpa mestinon, penderita MG hanya bisa beraktivitas dari pagi sampai siang. Di atas pukul 12 siang atau 1 siang, penderita mulai lemas. Untuk itu, YMGI mulai mendirikan bank mestinon tiga tahun lalu. Tujuannya, bisa memberikan mestinon kepada penderita MG yang masih belum memiliki akses ke obat tersebut lantaran biaya maupun lokasi. “Untungnya, sekarang mestinon sudah di-cover BPJS. Kalau dulu harus beli sendiri,” terangnya. YMGI juga membantu penderita mengurus BPJS maupun jamkesda agar bisa mendapatkan mestinon secara gratis. Harga mestinon cukup mahal. Bisa mencapai Rp1,9 juta berisi 150 butir. Sehingga banyak penderita yang tak mampu pun terpaksa menunda pembelian mestinon. Akibatnya, kondisi mereka bisa terus memburuk.  “Pasokan obat bisa didapatkan dari pasien MG yang sudah meninggal, lalu mewariskan mestinon mereka. Ada pula yang menyumbangkan milik mereka,” ujar alumnus Universitas Indonesia itu. Bagi Sita, MG yang dia idap saat ini masih dalam tahap ringan. Sebab, meski mengidap MG, dia masih bisa beraktivitas layaknya orang normal. Bahkan bisa merampungkan gelar master di Negeri Kincir Angin Belanda. “Jika otot di saluran pernapasan yang terserang, cukup berat dan biasanya harus menggunakan alat bantu pernapasan,” imbuhnya. Hal itu dialami Franz Diego. Tubuhnya terbaring lemah saat ditemui di salah satu rumah sakit di Jakarta. Alat bantu pernapasan masuk ke rongga hidungnya. Berbicara pun hanya mampu pelan dan terengah-engah. Untuk bisa mendengarkan suaranya dengan jelas, terkadang orang harus mendekat sekitar 30 cm. Tubuhnya kurus dan agak kecil untuk laki-laki berusia 35 tahun. Sudah dua bulan Franz terbaring di rumah sakit. MG yang menggerogoti tubuhnya selama 13 tahun terakhir mengakibatkan kerusakan permanen di paru-parunya sejak awal 2017. Praktis, Franz harus bergantung pada alat bantu pernapasan seumur hidupnya. “Rasanya seperti berlari sepanjang 5 kilometer. Sudah kehabisan napas dan ingin berhenti, tetapi tidak bisa dan terus dipaksa berlari,” ungkapnya terengah-engah. Sesekali suara napas Franz terdengar saat berbicara. Beberapa kali dia juga harus mengulang jawaban lantaran suaranya tidak terdengar. Kerusakan paru-paru dialami Franz setelah terkena infeksi paru berulang sesudah menjalani operasi pengangkatan kelenjar thymus. Sebagai penyakit autoimun, MG disebabkan gangguan kekebalan yang berhubungan dengan kelenjar thymus. Kelenjar thymus merupakan penghasil antibodi yang dibutuhkan ketika kanak-kanak. Ketika seseorang dewasa, kelenjar thymus mengalami atrofi atau pengecilan ukuran. Namun, pada penderita MG, kelenjar tersebut tetap ada. Tubuh pun memproduksi antibodi yang menurunkan bahkan memblokir jumlah reseptor asetikolin. Reseptor asetikolin adalah semacam protein yang berfungsi mengikat asetikolin (substansi kimia yang memicu pergerakan saraf dalam tubuh). Lantaran jumlah reseptor asetikolin menurun, koordinasi dan kerja saraf terganggu. Bagi penderita MG, gangguan bisa berupa kesulitan mengendalikan gerakan kelopak mata, mengunyah, menelan, berbicara, maupun mengendalikan anggota tubuh lainnya. “Sehingga harus diangkat melalui operasi. Dalam beberapa kasus, ketika kelenjar thymus berhasil diangkat, penderita bisa sembuh,” imbuh Franz. Sayang, Franz kurang beruntung. Setelah pengangkatan kelenjar thymus pada Februari 2008, otot pernapasannya tidak kuat. Akhirnya, harus dipasang ventilator dengan melubangi tenggorokannya. Meski sudah lama, lubang tersebut tidak mau menutup sendiri. Akibatnya, berbagai bakteri, kuman, serta virus menerobos lubang tersebut dan perlahan menggerogoti paru-paru anak ke-7 di antara delapan bersaudara tersebut. Belasan tahun menderita MG menjungkirbalikkan ekonomi Franz. Pria yang sewaktu kuliah menggeluti bidang TI itu lahir di keluarga berkecukupan. Kini, untuk makan dan biaya pengobatan, dia harus mencari bantuan dari sejumlah pihak. Untung, beberapa obat dan biaya rumah sakit sejak 2014 ditanggung BPJS Kesehatan. Sebelum itu, harta benda ludes untuk pengobatan dan rawat inap. “Rumah, mobil, dan semua harta benda sudah dijual untuk pengobatan,” ungkapnya sambil mengambil segumpal kasa untuk menyumbat lubang di tenggorokan agar suaranya terdengar lebih keras. Setiap tahun biaya yang dikeluarkan Franz bisa ratusan juta rupiah. Mengidap MG juga membuat Franz tidak bisa menekuni pekerjaan sesuai dengan bidangnya, yakni TI. Sebab, setiap kali tes penerimaan kerja, laju Franz harus tersandung di tes kesehatan. “Saya berkali-kali gagal di tes kesehatan. Salah satunya masalah di penglihatan,” ungkap pria yang memilih membaca di waktu senggangnya tersebut. Franz diketahui mengidap MG saat berusia 22 tahun. Ketika itu dia masih menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas di Indonesia. Awalnya, Franz mengalami kesulitan saat melihat sesuatu. Puncaknya, dia sering terjatuh. “Di dalam kamar ada kamar mandi. Dari kamar mandi ke ranjang saja saya tidak kuat dan membutuhkan waktu hingga setengah jam lebih,” kenang Franz. Setelah dicek, ternyata Franz divonis mengidap MG. Saat diberi tahu dokter bahwa penyakit tersebut tidak bisa disembuhkan, papanya pun marah. Dia menuntut dokter. “Bagaimana bisa dokter tidak bisa menyembuhkan penyakit? Itu dulu kata papa saya kepada dokter saking shocked-nya,” kenang Franz. Dokter Manfaluthy Hakim menjelaskan, di Indonesia, preferensi penderita MG sebanyak 2 ribu kasus ditemukan setiap tahun. Meski belum familier, jumlah penderita MG cenderung lebih banyak jika dibandingkan dengan penyakit neuromuscular lainnya. Penyakit neuromuscular adalah kondisi medis yang ditandai ketidakmampuan sistem saraf dan otot untuk bekerja sebagaimana mestinya. Di antaranya, neuropati, miopati, CMT, maupun MG. Untuk perempuan, biasanya mereka terjangkit pada usia 20–40 tahun. “Sedangkan laki-laki biasanya terjangkit di atas 50 tahun,” terangnya. Menurut dia, penyebab pasti penyakit itu belum diketahui. Meski begitu, seorang ibu yang mengidap MG berpotensi menurunkan penyakit tersebut kepada anaknya. Sebab, antibodi sang ibu bisa masuk ke plasenta dan janin. “Penyakit itu juga belum bisa disembuhkan. Biasanya pasien memang harus bisa mengenali penyakitnya dengan baik agar bisa mengontrol kambuhnya MG,” ujarnya. Namun, agar bisa beraktivitas layaknya orang normal, pasien harus mendapat asupan mestinon. Selain itu, berusaha tidak stres dan tidak terlalu lelah. (*/c10/oki)

Tags :
Kategori :

Terkait