Menelusuri Desa-Desa Terdampak Longsor dan Tanah Gerak di Kuningan (3-Habis)

Rabu 07-03-2018,14:01 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

Lokasi Dusun Cipari, Desa Margacina, Kecamatan Karangkancana, yang kini mengalami bencana longsor dan pergerakan tanah ternyata merupakan permukiman hasil relokasi musibah serupa tahun 1982. Warga yang semula menempati Dusun Situ, kala itu mengungsi ke Dusun Cipari. Kini, Cipari juga terancam ditinggalkan. Muhammad Taufik, Kuningan YOPI Muhammad Ikhlas tahu kejadian 1982 itu. Ketika itu, saat terjadi longsor, Margacina pun masih berstatus sebagai salah satu dusun di Desa Karangkancana. Hingga akhirnya beberapa tahun kemudian terjadi pemekaran, dan Margacina menjadi desa yang terdiri dari beberapa dusun. Salah satunya Cipari. Yopi yang kini menjabar Sekdes Margacina itu sedikit menceritakan asal-usul nama Margacina. Menurut dia, nama itu memang tergolong unik. Berdasarkan cerita orang tua, sambung Yopi, nama tersebut tidak ada kaitannya dengan keberadaan pemukiman khusus warga keturunan Tionghoa. Walau buktinya ada peninggalan pemakaman warga Tionghoa. Konon pada zaman penjajahan dahulu, daerah ini pernah kedatangan empat warga Tionghoa. Mereka disebut-sebut mencari kayu jati untuk kebutuhan membuat peti jenazah. Empat orang itu lalu berhasil menemukan satu pohon jati ukuran paling besar dan menebangnya. “Tapi pohon jati itu rupanya salah satu yang dikeramatkan warga. Sehingga tidak lama kemudian keempatnya meninggal dunia dan dikuburkan di sini,\" tutur Yopi kepada Radar. Atas peristiwa tersebut, warga pun kemudian menjuluki tempat itu dengan sebutan Margacina. Yopi menjelaskan, ada dua pendapat mengartikan nama Margacina. Yang pertama, Marga berarti penyebab. Kedua, artinya jalan seperti sebutan pada jasamarga. “Sebagian orang dahulu berpendapat Margacina berarti disebabkan oleh orang Tionghoa, dan lainnya menyebut daerah ini sebagai jalan perlintasan orang Tionghoa. Tak tahu mana yang benar. Namun bukti makam orang Tionghoa masih ada di salah satu Dusun Margacina. Namun kondisinya sudah tidak terawat dan harus dicari dengan teliti,” lanjut Yopi. Peristiwa kedatangan orang Tionghoa tersebut, Yopi pun tidak bisa memastikan kapan kejadiannya karena tidak ada data akurat dari peninggalan prasasti ataupun dokumen tertulis lainnya. Namun berdasarkan perkiraan, peristiwa tersebut berlangsung pada saat zaman penjajahan Jepang atau Belanda. Kini seiring berjalannya waktu, keberadaan penduduk Dusun Margacina pun tumbuh dan berkembang dengan pesatnya. Dari awal ketika terjadi peristiwa kedatangan orang Tionghoa, konon hanya terdapat sekitar lima rumah di wilayah tersebut. Kini telah berkembang menjadi sebuah desa dengan jumlah penduduk mencapai dua ribu jiwa lebih. Salah satunya menempati Dusun Cipari yang beberapa hari lalu terkena bencana longsor dan pergerakkan tanah sehingga menyebabkan wilayah tersebut terisolir dan ratusan rumah warga rusak. Warga Desa Margacina yang pekerja keras dan suka bertualang, menjadikan daerah yang tergolong terpencil karena berada di ujung Kabupaten Kuningan dan berbatasan dengan Kabupaten Cilacap itu justru tingkat perekonomian warganya tergolong mapan. Terbukti dari keberadaan perumahan warganya yang sebagian besar sudah permanen. Bahkan tak sedikit yang tergolong mewah. \"Di Dusun Cipari terdapat sekitar 200 KK, dengan 60 persen penduduknya bekerja sebagai perantau di kota besar sebagai pedagang bubur, rokok dan indomi atau biasa disebut BRI. Sisanya bertani. Penghasilan dari merantau di Jakarta terbukti berhasil meningkatkan perekonomian warga di sini. Bisa dilihat dari jumlah kendaraan yang sempat tidak bisa keluar dari desa karena terisolir akibat longsor. Sebanyak 23 unit kendaraan roda empat dan sekitar 400 unit kendaraan roda,\" jelas Yopi. Yopi menyebutkan, sedikitnya lima rumah warga Dusun Cipari yang tergolong mewah dan pembangunannya dikabarkan menghabiskan anggaran mencapai miliaran rupiah. Keberadaan rumah mewah tersebut, kata Yopi, berada di RT 06 RW 02 yang masuk dalam daerah yang tidak terdampak bencana pergerakan tanah. Pemiliknya pun memilih tetap bertahan. “Ada yang masih dalam proses pembangunan. Katanya sudah menghabiskan biaya Rp2,5 miliar. Pemiliknya merupakan warga Cipari yang sukses di Jakarta sebagai pengusaha proyekan, istilah orang sini bilang,\" ungkap Yopi. Hal ini juga bisa dilihat dari keberadaan warga yang mengungsi. Sejak sepekan setelah musibah, sebagian warga sudah mulai meninggalkan pengungsian di aula Desa Kaduagung dan memilih mengontrak rumah di wilayah tersebut dan desa tetangga lainnya. Hal ini selain bertujuan untuk kenyamanan dan keamanan, juga untuk menampung barang-barang perabotan rumah tangga mereka. (*/habis)

Tags :
Kategori :

Terkait