Ribuan Warga Palu Bertahan di Gunung

Minggu 07-10-2018,19:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

PALU-Hari kedelapan bencana Sulteng, puluhan ribu warga masih bertahan di tenda pengungsian. Trauma terus membayangi mereka. Weni (56) berdiri di pinggir Jalan Trans dari arah Palu ke Donggala, Sabtu, 6 Oktober. Jarum jam menunjukkan angka 17.15 Wita. Ekor matanya terus memperhatikan kendaraan yang lewat. Dia sendiri. Jilbab hitam yang dikenakannya telah pudar berubah warna menjadi cokelat berpadu krem dan abu-abu. Tak ada masker di mulutnya. Sambil berbincang, dia terus memantau kendaraan yang lewat. \"Ke Sirenja? Saya mohon, jangan ke sana, Pak. Bahaya di sana,\" jawab Weni saat Fajar Indonesia Network/FIN (Radar Cirebon Group) menanyakan kondisi Sirenja, Donggala, Sabtu (6/10). Dia ketakutan setiap kali mendengar ada orang yang hendak ke daerah pantai. Bayangan tentang tsunami melekat pada ingatannya. Padahal, dia telah mengungsi ke daerah ketinggian. Dengan melarang, dia berharap tak ada lagi korban ketika sewaktu-waktu terjadi tsunami. Weni tinggal di Kelurahan Baiya, Kecamatan Tawaeli, Palu. Sebuah wilayah yang berbatasan dengan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, juga masih daerah Palu. Rumahnya rusak, namun tak parah. Trauma yang membuatnya mengungsi. \"Ada 2.000 warga Baiya mengungsi ke Gunung Tanainolo, mereka takut,\" beber Weni lagi sambil menunjuk ke arah bukit. Kawasan Mamboro (Palu) hingga Wani (Donggala), merupakan salah satu area dengan tingkat kerusakan besar akibat tsunami. Posisinya di pesisir, sekaligus di kaki bukit. Namun, di Mamboro, Pentoloan, Wani, hingga Labuan (Donggala), ratusan rumah rata dengan pantai. Hilang. Tsunami menghancurkannya. \"Satu tenda berisi 30 KK lebih. Cuma bantuan kurang. Hanya dua liter satu KK. Tidak cukup kita,\" keluhnya. Sebenarnya, banyak warga yang rumahnya tak terlalu terdampak, khususnya di Baiya. Namun, tak ada lagi yang bisa tenang tinggal di rumah. Setiap getaran, mereka histeris. Pengungsian mereka yang berada di atas gunung, menyulitkan pemasok bantuan melihat posisi mereka secara langsung. Alhasil, mereka kekurangan pangan. \"Sudah dua hari kita makan pisang saja. Beras sudah habis,\" imbuhnya. Baru Tersentuh Di kawasan pesisir Palu bagian utara hingga Donggala, baru kemarin alat berat dimasifkan ke sana. Kawasan pergudangan, pelabuhan, dan pelabuhan rakyat, baru mulai dibersihkan dari material. Tim SAR juga masih terus mengevakuasi korban meninggal yang terjebak di dalam material tsunami. Di Desa Labuan Induk, Kecamatan Labuan, Donggala, ribuan warga juga masih bertahan di kawasan Labuan Taposo, daerah berbukitan di perbatasan Palu dan Donggala. Trauma juga jadi alasan mereka meski tsunami telah berlalu sepekan lebih. \"Untung saya masih bisa hidup,\" kata Ida (42), warga Labuan Induk yang kini masih terluka akibat tertimbun reruntuhan saat gempa 7,4 Skala Richter mengguncang kampungnya. Kepalanya masih penuh perban. Rambut panjangnya telah digunduli untuk memudahkan proses menjahit luka menganga di kepalanya. Seluruh tubuhnya memar. Termasuk wajahnya yang penuh lebam biru dan darah yang mengering. \"Kami masih mengungsi, Pak. Takut. Tapi sudah mau pindah kita ini ke lapangan bikin tenda,\" kata Ida. Anak-anak Gempa dan tsunami Sulteng memang membawa dampak traumatis. Anak-anak yang paling terpengaruh. Salah satunya, Afan Lapasere (5). Kemarin, dia terlihat bermain di sebuah tanah lapang di kawasan Jl Rajawali, Palu. \"Sempat trauma sehari. Tidak mau main,\" beber Yuliastri (40), ibu Afan. Karena alasan itu, bersama sang suami, Iwan Lapasere (42), Yuli yang tinggal di BTN Dayo Dara, Jl Dayo Dara, Kelurahan Valangbuni, Kecamatan Mantikulore, Palu, meninggalkan rumah setiap hari. Malam hari baru mereka kembali. Itu pun tak tidur di rumah. Hanya menggelar tenda di jalanan depan rumah. Banyaknya penjarahan usai gempa, membuat mereka harus tetap menjaga isi rumah meski masih trauma gempa susulan terjadi. \"Satu kompleks telah dievakuasi. Pulang kampung. Sisa kami yang bertahan. Rumah kami ada retak, sudah mau runtuh,\" imbuh Yuli. Trauma Healing Seto Mulyadi alias Kek Seto juga menaruh perhatian terhadap korban gempa dan tsunami Palu, Sigi, dan Donggala. Bencana itu membawa dampak traumatis, terutama bagi anak-anak. Dia khawatir, kondisi itu akan memengaruhi perkembangan mental anak. Secara khusus, dia pun ikut mengunjungi para pengungsi di titik-titik pengungsian Palu-Donggala. Fokusnya kepada para pengungsi anak-anak. Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) itu mengatakan, akan ada dampak negatif jika trauma anak-anak korban gempa dan tsunami tak segera dipulihkan. Padahal, mereka generasi bangsa yang harus diselamatkan. \"Kami memberikan trauma healing supaya anak-anak kita ini bisa melupakan pengalaman traumatiknya,\" kata Seto. Mantan Ketua Komnas Anak ini mengurai, pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Sosial (Kemensos) melakukan pendampingan terhadap anak-anak pengungsi. Penekanannya pada layanan pendampingan psikososial dan mental. \"Kami harus membuat mereka bermain kembali. Tersenyum kembali,\" imbuhnya. Para terapis atau relawan trauma healing anak bahkan diberi pelatihan khusus untuk mendampingi para korban bencana ini. Saat mengujungi anak-anak pengungsi Balaroa, Palu Barat, Seto bahkan mencium tangan mereka satu per satu. Terlihat sangat akrab dan dekat. Kedatangannya membuat mereka tersenyum dan mengerubutinya. Orang tua anak-anak bahkan mengucapkan terima kasih atas kunjungannya. \"Di posko pengungsian, kami melatih agar anak-anak bisa bernyanyi dan bermain kembali. Bermain adalah hak dasar anak. Sementara orang tua masih stres akibat bencana ini,\" jelasnya. Oleh karena itu, tim trauma healing turun tangan. Para pendamping juga berikan pelatihan khusus sebelum melakukan pendampingan. Seto belum mematok waktu, sampai kapan pendampingan ini dilakukan. \"Kita lihat perkembangan kejiwaan dan kepribadian mereka. Anak sebenarnya masih trauma. Kalau tidak segera diterapi, pertumbuhannya bisa negatif. Misalnya akan agresif, pemarah, emosional, dan tidak konsentrasi,\" paparnya. Seto juga menggandeng Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi). Mereka sama-sama turun, mengembalikan keceriaan anak-anak di hampir 200 titik pengungsian yang saat ini terdata. (FIN)

Tags :
Kategori :

Terkait