Pengirim Telegram

Senin 12-11-2018,18:29 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Yogyakarta, 19 Desember 1948 MENGANGKAT kedua tanganku sebagai tanda menyerah. Aku mendekati kedua tentara Belanda itu agar mereka tak mendekati Marwoto yang sedang menuntaskan pengiriman telegram kepada perwakilan pemerintah di luar ibu kota Indonesia, Yogyakarta. Tapi kedua tentara Belanda itu tetap menodongkankan senapan mereka ke arah kami. “Tuan, tolong kami hanya ingin mengirimkan pesan kepada kakak saya di Sumatera. Istrinya sakit keras. Mohon, Tuan,” kataku sambil menangkupkan kedua tanganku. Salah satu tentara Belanda itu merangsek menuju Marwoto sambil menggampar wajahku sampai aku bersenoyong. Ia melihat isi pesan telegram itu. “Godverdomme. Pembohong kalian!” Gagang senapannya mampir di kepala Marwoto. Marwoto terjatuh, lantas punggungnya diinjak. “Inlander!” kata tentara Belanda itu sambil memperlihatkan wajah setengah benci, setengah menghina. Tentara Belanda satunya, berbadan kurus, menjotos perutku dan mendorongku dengan moncong senapannya agar aku mendekati mesin telegram. Di bawah meja Marwoto bertelungkup sambil meringis kesakitan. Geram juga aku dan teman baikku diperlakukan seperti itu. Tapi, aku harus tenang agar tak kehilangan akal, salah sedikit nyawa bisa tanggal. “Kalian mengirimkan telegram kepada para pemberontak, bukan? Kalian camkan ini. Yogyakarta telah jatuh. Kalian juga tak punya lagi pemimpin. Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agus Salim telah kami ringkus,” kata si kurus. “Republik Indonesia sudah mampus!” Tentu saja, dia menggertak. Tapi, dia gagal. Telegram itu kadung terkirim ke 2 dari 3 penerima pesan yang tadi Bung Karno-Bung Hatta amanatkan kepadaku, yaitu kepada AA. Maramis di New Delhi dan kepada Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran di Sumatera. Tadi, Marwoto hendak mengirimkan ke penerima terakhir ketika dia dihajar. Menghadapi dua orang dalam waktu bersamaan perkara mudah bagiku, yang diajari menandingi sampai 5 lawan sekaligus. Namun, dalam latihan silatku bersama kakek, kelima orang itu menggunakan golok, sementara kedua tentara Belanda itu bersenapan. Secepat-cepatnya gerakan golok takkan bisa mengalahkan lesatan peluru. Tentu aku berbohong bila bilang tak takut. Namun, aku melihat jalan keluar. Di pinggir kanan telegram terdapat asbak penuh puntung rokok; di pinggir kiri nangkring gelas berisi air teh. Sekarang tinggal memastikan gerakanku cepat dan leluasa. Karena itu, kuikuti keinginan mereka agar aku mendekati mesin telegram. Kubiarkan mereka mengira bahwa mereka memegang kendali penuh. Kulirik, si kurus itu sudah menyelempangkan kembali senapannya. Begitu aku duduk dan diminta meralat informasi yang barusan kami kirim, aku sudah memperkirakan bahwa yang harus kurobohkan pertama adalah yang sedang menginjak Marwoto. Baru kemudian si kurus di belakangku. Tak tega juga melihat darah mengucur dari kepala Marwoto yang tergeletak dekat sepatu bututku ini. Namun, tampaknya dia lebih tersiksa mencium bau kaus kakiku ketimbang diinjak tentara Belanda. Karena kulihat dia melengoskan kepalanya; dan ini mendatangkan ganjaran tambahan baginya di bagian tengkuk. “Tuan, tolong, jangan siksa lagi teman saya. Kami sudah menyerah,” kataku. “Hei, kowe jalankan saja perintah! Atau mungkin kepalamu perlu disegarkan dengan senapan?” kata tentara Belanda yang menginjak Marwoto. Menarik napas dalam-dalam, aku mulai mengetik. Begitu hendak mengetik huruf L, tangan kananku meraih gelas. Berdiri, aku memecahkannya di muka tentara Belanda yang menginjak Marwoto, kutambah pukulan berat di ulu hati, leher, dan tengkuknya. Tentara Belanda itu terkapar. Dan, si kurus itu hendak meletuskan senapannya ketika menyadari perlawananku. Namun, dia terlambat karena jidatnya telanjur dicium asbak penuh puntung rokok. Tendangan beratku mampir di perutnya, membuat dia terhuyung, lalu tersungkur. Senapannya terlepas, mencelat ke bawah meja. Aku membangunkan Marwoto. Namun, dia malah menarikku agar menunduk. Rupanya tentara kurus itu sedang menarik pelatuk pistolnya, dan tangan kirinya membersihkan wajahnya yang penuh abu rokok. Satu letusan darinya melesat di atas kepala kami; dua letusan dariku: satu pelor mengenai meja di pinggirnya, sisanya mendedel tangan kanannya. Kulibas dia dengan kombinasi tendangan dan pukulan berbumbu popor senapan di wajah, perut, dan kepalanya. Cukup untuk membuatnya semaput agar dia tak terlalu kesakitan akibat jari-jari tangan kanannya yang meledos dan mengucurkan darah tak henti-henti. “ABAH, bisakah cerita bagian ini dipercepat? Ngeri dan agak memualkan membayangkannya,” kata anak lelakiku, Hayee, yang sedang menyimak ceritaku. Dia sedang menyendokkan suapan-suapan terakhirnya. “Lho, katanya mau jadi dokter. Kalau dokter, yang begitu itu bakal jadi pemandangan sehari-hari,” kataku. “Betul, Abah. Tapi, Hayee baru akan lulus SD tahun ini. Tak perlu buru-buru lah,” katanya. Sontak saja jawaban dia membuat aku, istriku, Havid, kakaknya, dan Hayee sendiri terbahak. Dalam tradisi keluarga kami, kami memang menjadikan makan malam sebagai kesempatan untuk berdiskusi atau berbagi cerita. Sudah dua hari ini Hayee meminta aku menceritakan Pakde To, panggilan sayang Hayee kepada Marwoto. Keinginannya bermula dari ketidaksengajaannya membaca artikel panjang tentang pengirim telegram penyelamat Republik di Kedaulatan Masyarakat (KM). Berkat dia dan temannya, tulis KM, Indonesia di mata dunia tetap memiliki pemimpin. “Belanda kalah secara taktik dalam Agresi Militer II itu,” demikian KM mengutip sejarawan Belanda, Kees van Dijk. Tulisan-tulisan itu diturunkan dalam rangka memperingati setahun wafatnya Marwoto. Ya, akhirnya kiprah Marwoto diakui. Namanya memang disebutkan dalam cerita lisan tentang masa-masa perjuangan. Namun, melalui tulisan di KM itulah untuk pertama kalinya namanya tercantum dalam sejarah. Ketertarikan Hayee makin tebal karena abahnya, yang disebut sebagai kawan karib Marwoto, dibahas dalam satu kolom khusus. Setelah tawa kami reda, aku meneruskan cerita bagaimana kami keluar dari gedung Radio Republik Indonesia (RRI) yang sudah dijaga tentara Belanda. Tanpa terasa, ceritaku cukup panjang. Dua malam itu kami mengakhiri makan malam pukul 10 lebih, yang biasanya berhenti pada pukul delapan. Hayee terus saja memintaku meneruskan cerita jika ibunya dan kakaknya tak mengingatkannya bahwa besok pagi dia harus sekolah. Kini, Hayee sedang tidur. Pulas. Melihatnya dia bisa tidur tanpa terganggu suara mesin ketikku ini dan besok dia dan kakaknya bisa bersekolah secara aman, tak pelak aku mengingat masa-masa tahun 40-50-an itu dengan rasa syukur penuh. Sekarang, peristiwa pada masa itu hanya menjadi cerita, mungkin dibumbui senyum dan tawa di sana-sini. Namun pada masa itu pilihannya tak banyak, kadang nyawa menjadi taruhannya. Aku bersyukur negeri ini berjalan, meski pelan, menurut rel para pendirinya. Tentu tak sempurna. Di manakah di bumi ini negara yang sempurna? Tapi aku yakin, Hayee dan Havid dan generasi selanjutnya akan memajukan Indonesia. Yogyakarta, 18 November 1961 DAN YA, di Yogyakarta ini aku terisak kembali, setelah berhasil menahannya dalam dua hari ini. Catatan Abah ini mengingatkanku kepada dua orang yang kucintai, Abah dan Pakde To. Pakde To seorang yang tak bakal aku lupakan seumur hidupku. Dia kerap menghadiahiku buku. Sebagian besar buku masa kecilku berasal darinya. Buku-buku itu kini sudah aku bereskan bersama semua peninggalan Abah dan akan dibawa ke rumahku di Jakarta, agar kenangan Abah dan Pakde To senantiasa mengitari kami sekeluarga. Mereka kini hanya tinggal kenangan. Abah wafat 3 hari lalu. Selama 3 hari ini pula obituarinya menghiasi banyak media. Di mata mereka, peran Abah dalam pembangunan bangsa ini tak sedikit. “Tak hanya menyelamatkan dokumen pengakuan kedaulatan RI dari Mesir, A.R. Baswedan juga mewariskan sikap kebersamaan kepada kami. Menurutnya, tak pernah ada tokoh yang menjulang sendirian,” tulis salah seorang penyair di Panji Masyarakat. Berbagai tindakan dan kegiatan selama Abah hidup dituturkan dalam tulisan-tulisan tersebut (kalau waktunya sudah tepat, akan kuceritakan bagian ini). Penyair itu menggambarkan dengan tepat sikap Abah. Dia memang selalu ditemani seorang sahabatnya di mana pun dia mengalami satu peristiwa penting, seperti kisah Pakde To. Teringat kembali cerita Abah tentang perjuangannya bersama Pakde To dalam mengirimkan telegram. Menurut Abah, setelah melumpuhkan kedua tentara Belanda itu, dia membangunkan Pakde To yang wajahnya belepotan darah. BUK! BUK! BUK! “Londo Sontoloyo!” kata Pakde To. Kakinya mendarat di perut tentara Belanda yang menginjaknya. “To, sudah, dia sudah pingsan,” kata Abah. Abah segera menarik Pakde To keluar dari pintu belakang. Namun, ke mana pun mereka berlari, mereka mentok. Tentara Belanda ada di mana-mana. Mereka akhirnya tertangkap di Kotagede, setelah mereka kelelahan berlari hampir seharian tanpa makan-minum. Pakde To rupanya masih mendendam kepada tentara Belanda. Begitu ditangkap, dia melampiaskannya kepada tentara Belanda yang hendak menawannya. Pakde To mengira bahwa dia bisa melawan karena tentara Belanda itu lebih kecil darinya. Mungkin karena dirasuki kemarahan luar biasa, tenaga Pakde To seperti kerbau. Dia bisa membuat tentara Belanda yang menawannya itu babak belur. Namun, tanpa Pakde To sadari, tentara Belanda itu mengeluarkan baretta dan meletuskan tiga peluru ke Pakde To. Tempurung kaki kiri dan tulang kering kaki kanan Pakde To ditembus pelor (di penjara dia disiksa habis-habisan sehingga tangan kirinya lumpuh). Saat itu Abah sudah dinaikkan ke truk bersama tahanan lainnya. Dia hanya bisa menangis, keras, begitu melihat Pakde To dilempar ke atas truk seperti sekarung beras. Abah mengakui bahwa saat itu dia mengeluarkan banyak umpatan yang belum pernah dia ucapkan seumur hidupnya. Dan, karena itu, dia digebrak tengkuknya dan pingsan. “NAMUN, Nak, Pakde To dan Abah selalu bersyukur karena upaya kami ternyata membuahkan. Presiden, Wakil Presidan, dan pejabat lainnya boleh ditangkap. Tapi, di pedalaman Sumatera sana ada seorang pemimpin lain yang sah menjadi wakil pemimpin bangsa. Dialah Pak Sjafruddin, yang rumahnya di pinggir kanan rumah kita ini,” kata Abah malam itu. ** Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, Pakde To kembali bertugas di RRI. Tugasnya lebih ringan, mengingat kondisinya yang menggunakan kursi roda dan tangan kirinya lumpuh. Namun, di kantor dia menjadi legenda hidup sebagai pengirim telegram Republik. Namanya tetap harum, sampai dia meninggal dunia 25 tahun lalu setelah terkena serangan jantung. Dan, 3 hari lalu sahabatnya menyusulnya setelah berjuang puluhan tahun mengatasi berbagai penyakit dalam tubuhnya. Dalam Biografi Hatta, Deliar Noor menyatakan bahwa telegram itu sendiri tak pernah dibaca Sjafruddin Prawiranegara karena satu dan lain hal. Dia mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia berdasarkan keputusan rapat yang diadakan di Sumatera Barat. Sjafruddin baru mengetahui keberadaan telegram itu beberapa bulan kemudian. (*) *) Cerpen ditulis Muhammad Husnil; pengarang dan penyunting buku yang tinggal di Jakarta.

Tags :
Kategori :

Terkait