Tentang Genderuwo, Makhluk Mitologi Jawa, Begini Kajiannya

Minggu 18-11-2018,13:25 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Presiden Joko Widodo mengatakan banyak politikus yang pandai memengaruhi. Banyak yang tidak menggunakan etika dan sopan santun politik. Namun, politik propaganda yang menakutkan, membuat ketidakpastian, dan menjadikan masyarakat ragu-ragu. “Cara-cara seperti ini adalah cara-cara politik yang tidak beretika. Masak masyarakatnya sendiri dibuat ketakutan? Nggak benar kan? Sering saya sampaikan itu namanya politik genderuwo, nakut-nakuti,” kata Jokowi dalam acara pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11). Dalam ensiklopedi hantu di Jawa, De Javaansche Geestenwereld karya H.A. van Hien yang terbit tahun 1896. Genderuwo merupakan salah satu jenis makhluk halus di Jawa. “Tuan H.A. van Hien, seorang Belanda, menulis buku yang berisi tentang setan-setan yang khusus di Tanah Jawa. Tak terkecuali yang ada di Surabaya tentunya. Bertahun-tahun dia mengumpulkan cerita tentang alam gaib dari Dunia Lain. Lantas, dia menghimpunnya dalam sebuah buku. Tempo dulu, ternyata setan-setan di Tanah Jawa ini banyak sekali jenisnya. Tempat tinggalnya pun berbeda-beda. Begitu juga dengan kegiatannya. Tapi tak ada (seorang) hantu Belanda pun yang diceritakan oleh Tuan H.A. van Hien,” tulis Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, Volume 1. Menurut Dukut, dalam De Javaansche Geestenwereld, diceritakan bahwa genderuwo adalah setan yang tidak jahat. Kerjanya hanya membuat takut manusia. Di siang hari, ia bisa berwujud sebagai macan, ular besar atau bajul (buaya). Ia bisa juga berupa burung alap-alap atau binatang buas lainnya. Jika malam hari, ia bisa berubah wujud menjadi lelaki ganteng yang suka mengganggu perempuan yang lewat di jalan sepi. \"Konon, genderuwo bisa kawin dengan manusia. Genderuwo laki-laki akan kawin dengan perempuan. Begitu juga sebaliknya. Jika genderuwo perempuan bisa menikahi laki-laki. Jika genderuwo marah, ia melempari rumah dengan bebatuan tanpa diketahui darimana arah batu-batu itu,\" tulis Dukut. Sumber lain, dalam buku Abangan, Santri, Priayi dalam Masyarakat Jawa karya antropolog Clifford Geertz. Buku itu hasil penelitian di Mojokuto, Jawa Timur pada 1950-an. Di dalamnya terdapat bagian kepercayaan orang Jawa terhadap makhluk halus. Menurut Geertz genderuwo merupakan memedi (tukang menakut-nakuti) laki-laki yang paling umum –memedi perempuan disebut wewe. Pada umumnya, genderuwo lebih senang bermain-main daripada menyakiti dan suka mengerjai, seperti menepuk pantat perempuan (terutama saat sedang sembahyang), melemparkan pakaian orang ke kali, melempari atap rumah dengan batu, melompat dari pohon di kuburan dengan wujud besar dan hitam, dan sebagainya. “Ketika Pak Paidin jatuh dari jembatan selagi berjalan di sana, dia tahu bahwa genderuwo telah mendorongnya; karena ketika dia jatuh ke air, hantu itu membelenggu tangannya ke belakang dan berbicara kepadanya (dalam Bahasa sastra Jawa klasik; genderuwo selalu berbicara dengan kata-kata kuno, kata Paidin), menanyakan apakah dia tidak cedera. Jelas bahwa hantu itu tidak punya maksud buruk,” tulis Geertz. Namun, lanjut Geertz, betapapun senangnya dengan lelucon, genderuwo juga berbahaya. Sering kali mereka muncul dalam wujud orangtua, kakek, anak, atau saudara kandung sambil berkata: “Hei, ayo ikut aku.” Orang yang menuruti ajakannya tidak akan terlihat. Keluarga yang kehilangan akan mencarinya sambal memukul pacul, arit, panci, dan sebagainya. Suara gaduh itu akan mengganggu genderuwo lalu menawarkan makanan kepada si korban. Kalau korban memakannya, dia akan tetap tak terlihat; kalau menolak, dia akan tampak lagi dan keluarganya akan menemukannya. Kadang-kadang, menurut Geertz, genderuwo bertindak melewati batas. Dia menyamar jadi suami seorang perempuan lalu menidurinya. Maka, lahirlah anak yang menyerupai raksasa. “Di Mojokuto, ada seorang yang seperti itu –anak yang besar, hitam dan bentuknya aneh, yang hidup sampai usia 16 tahu, lalu meninggal,” kata Geertz. Lima tahun lalu pada 2013, Wagini yang mengaku anak genderuwo dari Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, menjadi pemberintaan di berbagai media, seperti tampil di acara \"bukan empat mata\" di Trans 7. https://twitter.com/twt_jawa/status/886961860041297920?s=19 Akhirnya, kata Geertz, walaupun genderuwo umumnya berpembawaan baik, tetapi tidak dapat disepelekan begitu saja. Malahan orang tak boleh bercakap tentang genderuwo –meski setiap orang membicarakannya– karena ada kemungkinan akan mendengarnya dan merasa tersinggung. “Tak seorang pun, anak-anak atau orang dewasa, dalam keluarga tempat saya dan istri menumpang, yang berani pergi ke kakus sendirian sesudah matahari terbenam, karena takut kepada genderuwo,” kata Geertz. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait