Begini Nasib PKL Selter Alun-alun, Banyak Janji Manis

Senin 19-11-2018,15:33 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Ini perlu jadi perhatian bagi pemerintah daerah. Penertiban pedagang kaki lima (PKL) memang perlu. Begitu juga langkah pemberdayaanya. Tapi, jangan sampai sekadar memindah. Habis itu ditinggal begitu saja. Penghuni selter PKL sedang dalam titik terendah. Kalah gemerlap dari para pedagang yang kembali menguasai trotoar Alun-alun Kejaksan. Tak salah kalau mereka menagih janji pemerintah. Salah satunya, Siti Masripah. Dia menempati lapak urutan ke empat. Lokasinya paling belakang.  Sudah dua tahun ia memakai fasilitas itu. Diawali dengan banyak janji manis. Dan berakhir dengan kerugian yang terus-terusan mendera. “Dulu sih dijanjikan yang enak-enak. Lebih rapih, lebih ramai dan tidak ditertibkan Satpol PP. Sekarang malah tambah sepi,” ujar Siti. Jumlah tersebut diakuinya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Termasuk untuk membayar biaya sekolah anak. Ibu empat orang anak itu, lebih banyak menganggur ketimbang melayani pembeli. “Sekarang saja sudah jam 12 siang, baru dapat uang Rp7 ribu,” keluhnya. Warga Jl Tanda Barat RT 03 RW 06 itu menyebutkan, belasan teman sesama penghuni selter, telah pergi dan kembali berjualan di jalan. Mereka tidak tahan dengan penghasilan yang sangat minim. Beberapa pedagang malah pernah tidak mendapatkan uang sepeser pun setelah berjualan sehari penuh. Belum lagi, mereka musti membayar cicilan utang kepada koperasi. Sehari mereka mengeluarkan Rp5 ribu, ditambah iuran wajib PKL yang juga Rp5 ribu. “Kita sudah tertib, nurut waktu dipindahkan, tapi malah begini nasibnya,” katanya. Masripah teringat ketika masih berjualan di dalam alun-alun. Dalam sehari mampu membawa pulang Rp500 ribu. Sekarang, maksimal Rp100 ribu saja. Itu pun saat alun-alun sedang ramai “Kalau ada Salawatan Habib Syekh, itu pasti ramai. Kalau nggak ada acara, ya sepi,” ucapnya. Para penghuni selter, kata dia, sebetulnya ingin keluar dari lapak tersebut. Tapi selalu ditahan-tahan. Meski pedagang pun sebenarnya sedang berpikir ulang. Untuk kembali jualan di jalanan.  Tety Dwi Ratih, lapaknya berdekatan dengan Masripah. Ia juga berjualan di selter. Meski bukan warga Kota Cirebon. Rumahnya di Plered, Kabupaten Cirebon. Sehari-hari, jualannya juga sepi. Bahkan untuk ongkos saja seringkali tidak cukup. “Seperti sekarang ini, jam 1 siang baru ada satu yang beli,” katanya. Seperti halnya Masripah, dirinya juga mendapatkan janji manis pemerintah. Ia mendengar sendiri bahwa pagar yang menjadi pemabatas antara selter dan alun-alun akan dibongkar. Kemudian dibuka pintu untuk pengunjung. Parkir motor juga dijanjikan di depan selter. Tapi rencana itu tak pernah diwujudkan. “Dulu ada kaya peta yang ditunjukin ke kita. Tapi nggak tahu sampai sekarang belum ada kabar,” keluhnya. Ia yang sebelumnya menjual empal gentong itu kini hanya menjual nasi dan minuman. Sebabnya, ia tidak mendapatkan uang dan tidak mampu belanja bahan dasar empal gentong.  Lantaran jualan sepi, banyak pedagang yang berjualan di selter terjerat utang. Pinjamannya tidak besar. Tety siang itu pinjam Rp100 ribu ke koperasi. Cicilannya Rp5 ribu sehari. Bunganya 25 persen. Sementara itu, Mujiono, pengawas selter mengungkapkan, bahwa saat ini terdapat 15 lapak tidak terisi. Pedagang yang awalnya menempati, kabur karena tidak tahan dengan sepinya pengunjung. Mereka tidak betah, lantaran omzet terus-terusan turun. “Kami nunggu kebijakan walikota yang baru, semoga saja ada solusi,” harapnya. Lapak-lapak yang kosong itu, akan kembali terisi setelah ada pendaftar. Syaratnya, harus ber-KTP Kota Cirebon dan mengantongi izin dari Disdagkop-UKM. Sudah banyak pendaftar, namun banyak yang tidak memenuhi syarat. “Ini gratis nggak ada biaya,” ungkapnya. (day-mg)

Tags :
Kategori :

Terkait