Kejagung Lacak Aset Yayasan Supersemar Hingga Luar Negeri

Kamis 22-11-2018,03:40 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Kejaksaan Agung terus mengejar berbagai aset yang dimiliki Yayasan Supersemar untuk dikembalikan kepada negara. Hal ini usai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi yang digunakan sebagai kantor oleh Yayasan Supersemar.
Bahkan, Kejaksaan Agung akan mencari aset-aset Yayasan Supersemar yang diduga juga berada di luar negeri. “Nanti kami cari,” kata Direktur Pertimbangan Hukum Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan Agung, Yogi Hasibuan di kantornya, Jakarta, Rabu (21/11).
Yogi mengatakan, aset-aset dari Yayasan Supersemar sedang dicari oleh Pusat Pemulihan Aset (PPA), Kejaksaan Agung. Ada beberapa aset Yayasan seperti enam kendaraan yang sedang diajukan untuk disita.
Selain Gedung Granadi, negara sudah menyita tanah dan bangunan di kawasan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas 300 meter persegi. Kedua bangunan itu sedang menunggu perhitungan dari Kantor Jasa Penilai Publik Asmawi sebelum dilelang.  Kejaksaan Agung telah menyita 113 rekening dan tabungan Yayasan Supersemar. “Kalau disetorkan ke negara uangnya sudah Rp 240 miliar,” kata Yogi. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyita Gedung Granadi, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Penyitaan aset itu merupakan bagian dari eksekusi putusan Mahkamah Agung yang mewajibkan Yayasan Supersemar membayar Rp4,4 triliun. Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan, penyitaan berkaitan perkara yang melibatkan Yayasan Supersemar. \"Sudah lama disita untuk memenuhi putusan pengadilan berkaitan dengan perkara Yayasan Supersemar,\" kata Guntur. Kejaksaan Agung menggugat Yayasan Supersemar pada tahun 2007 secara perdata. Gugatan dilakukan atas dugaan penyelewengan dana beasiswa berbagai tingkatan sekolah yang tidak sesuai dan dipinjamkan ke pihak ketiga. Tergugat pertama adalah mantan Presiden Soeharto dan tergugat kedua adalah Yayasan Supersemar. Soeharto membentuk yayasan tersebut pada 1974 dan menunjuk dirinya sendiri sebagai ketua umum yayasan. Sebagai presiden, Soeharto lalu memerintahkan sebagian laba bank pelat merah digelontorkan ke Yayasan Supersemar. Namun dana tersebut diselewengkan bukan untuk kepentingan pendidikan, tetapi malah untuk kepentingan bisnis. Pada tingkat pertama 27 Maret 2008, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah mengabulkan‎ gugatan Kejaksaan Agung dan menghukum Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi kepada pemerintah sebesar $105 juta AS dan Rp46 miliar. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 19 Februari 2009. Mahkamah Agung pun menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI‎ Jakarta pada Oktober 2010. Kejaksaan Agung mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada September 2013 dan permohonan PK tersebut dikabulkan oleh MA dan memutuskan Yayasan Supersemar harus membayar ganti rugi ke negara sebesar Rp4,4 triliun. Untuk menambal kerugian negara itu, kejaksaan menyita sejumlah aset disita antara lain 113 rekening berupa deposito dan giro, dua bidang tanah seluas 16.000 meter persegi di Jakarta dan Bogor, serta enam unit kendaraan roda empat. Jaksa Agung M Prasetyo pernah mengultimatum Yayasan Supersemar untuk menyerahkan gedung Granadi. Prasetyo memastikan gedung Granadi masuk aset Yayasan Supersemar. Kasus bermula saat Kejaksaan Agung pada 1998 menemukan penyelewengan dana beasiswa dari Yayasan Supersemar. Penyelewengan diduga mengalir ke perusahaan milik anak-anak dan orang dekat Presiden Soeharto mulai 1985 sampai 1998. Padahal, dana Yayasan Supersemar merupakan uang negara karena dihimpun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1976. Ketika itu, Soeharto mewajibkan semua bank pelat merah menyisihkan 2,5 persen laba bersihnya untuk yayasan yang dia dirikan. Awalnya, Kejaksaan Agung mengusut kasus ini secara pidana, hanya saja Jaksa Agung ketika itu, Andi M. Ghalib, malah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan pada 11 Oktober 1999. Andi beralasan tuduhan Soeharto menyelewengkan dana tak terbukti. Pada Desember 1999, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid memerintahkan pengusutan dana Yayasan Supersemar dan kekayaan Soeharto lainnya kembali dibuka. Kejaksaan Agung lantas menetapkan Soeharto sebagai tersangka pada 31 Maret 2000. Perkara ini masih tahap Penuntutan pada Agustus 2000. Kendati, persidangan berhenti di tengah jalan karena Soeharto dianggap sakit otak permanen. Pada 9 Juli 2007, Kejaksaan Agung kembali menggugat Soeharto secara perdata. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan sebagian gugatan jaksa yang meminta menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi US$ 315 juta dan Rp 139,2 miliar. Soeharto sendiri lolos dari gugatan karena dianggap penyelewengan dana dilakukan melalui Yayasan Supersemar. Putusan hakim itu bertahan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Hanya saja, dalam putusan kasasi MA pada 2010, terdapat salah terkait nilai ganti rugi. Pada Maret 2015 jaksa mengajukan permohonan peninjauan kembali dan dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Sementara, di gedung Granadi sendiri, terdapat sejumlah kantor termasuk Humpuss Group milik Hutomo Mandala Putera alias Tommy Soeharto yang juga Ketua Umum Partai Berkarya pada Pemilu 2019 ini. Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Berkarya, Martha Dinata mengatakan Gedung Granadi bukan kator Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Berkarya. Kata Martha, Tommy Soeharto tidak ada kaitannya dengan sengketa Yayasan Supersemar. Posisi Tommy sebagai Presiden Komisaris Humpuss Group yang berkantor di Gedung Granadi adalah penyewa, sama seperti penyewa lainnya. Hal senada diungkapkan Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso menegaskan penyitaan Gedung Granadi oleh Pengadilan Jakarta Selatan sama sekali tak berhubungan dengan kantor Partai Berkarya. \"Ini peristiwa hukum biasa antara Yayasan Supersemar dengan penguasa. Dan tidak ada hubungan dengan kantor Partai Berkarya,\" ujar Priyo. Priyo menyatakan, Yayasan Supersemar telah dan akan melakukan langkah hukum terbaik berdasar nilai-nilai keadilan. Priyo mengajak para kader dan relawan Partai Berkarya untuk tetap solid dan berjuang untuk lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen saat Pemilu 2019.(*)
Tags :
Kategori :

Terkait