CIREBON-Kekerasan anak dan perempuan seringkali menjadi luka fisik dan psikis yang dipendam korban dan keluarganya. Sementara pelakunya gagal dijerat hukum, karena berbagai faktor. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Cirebon Kota, sepanjang tahun lalu mencatat penanganan 42 kasus. Dari angka tersebut kasusnya terdiri dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), trafficking, pencabulan dan pidana umum lainnya. Sedikitnya 15 kasus telah P21 dan masuk proses penuntutan di Kejaksaan Negeri, atau sudah sidang di Pengadilan Negeri. Sisanya masih dalam proses penyidikan Unit PPA. Kapolres Cirebon Kota AKBP Roland Ronaldy melalui Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) AKP Rynaldi Nurwan Sitinjak mengatakan, pelaku kekerasan perempuan dan anak terancam dijerat Pasal 76 E dan atau Pasal 82 UU 35/2014 tentang perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Sementara untuk kekerasan terhadap perempuan dan KDRT, ketentuan pidana bagi pelaku KDRT diatur dalam pasal 44 sd 53 UU 23/2004. Dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara. Terkait kasus kekerasan seksual kepada anak di bawah umur, Kasatreskrim mengingatkan kasus pelanggaran UU Perlindungan Anak, hampir semuanya dilakukan orang terdekat korban. Baik itu dari dalam keluarga ataupun teman pergaulan sehari-hari anak tersebut bahkan di sekolah. \"Orang dekat,” kata Rynaldi kepada Radar Cirebon. Oleh karenanya, ini menjadi peringatan dan perhatian bagi semua orang tua. Untuk terus mengawasi dan menjaga anak-anaknya dengan siapa bergaul dan orang dekat. Masih rendahnya kasus kekerasan terhadap perempuan yang tertangani hukum disebabkan belum ada payung hukum yang membuat efek jera. Sementara Manajer Program Forum Pengada Layanan MWC Mawar Balqis Saadah mengatakan, banyak pelaku yang lolos dari hukman karena undang-undang yang ada belum meng-cover kasus yang ada. Sejauh ini, upaya penagakan hukum terhadap kasus kekerasan perempuan mengacu pada UU Perlindungan Anak, Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan UU trafficking. Pihaknya mendorong terus pengesahaan Rancangan Undang-undang penghapusan kekeraaan seksual yang akan memuat penindakan pelaku yang dijerat. Namun UU ini masih mandek di legislatif. “Kami mendorong RUU disahkan. Di sana ada muatan hukuman yang membuat jera,” tuturnya. Menurutnya, kondisi saat ini pelaku banyak yang lolos. Kadang penyelesaiannya dinikahkan. Ada juga yang diberi kompensasi uang. Banyak kasus yang tidak diproses hukum juga ada semacam risiko korban dan keluarga yang mendapat ancaman dari pelaku. Sehingga korban lebih memillih tidak memproses hukum. Dari kasus yang ditangani, sejauh ini para pelaku kekerasan seksual paling lama mendapat vonis 7 tahun. Padahal ancaman hukuman sampai 15 tahun. “Sepanjang kami mendampingi belum ada yang hukumannya maksimal,” ucapnya. Maka dari itu, pihaknya menyampaikan sejumlah rekomendasi terhadap penanganan kasus kekerasan perempuan. Salah satunya untuk Unit PPA Polres berharap bisa menambah tenaga karena selama ini penyidik harus perempuan, tenaga polwan masih sedikit. Di lain sisi, pihaknya juga menyampaikan agar P2TP2A untuk meningkatkan koordinasi dengan gugus yang ada. Sejauh ini keberadaan P2TP2A minim tenaga pendamping untuk korban. Mereka lebih kepada datang ke korban habis itu memberi bantuan. “Tidak langsung pendampingan ke psikolog, polres, penanganan kasusnya,” jelasnya. Pihaknya juga berharap kepada pemerintah daerah, untuk bisa saling bersinergis satu sama lain, terutama antara SKPD. Hal ini menjadi bahan evaluasi, agar pemerintah bisa mempertimbangkan kebijakan di tahun mendatang. Selain juga masyarakat juga harus lebih peduli. Dengan melaporkan kekerasan perempuan dan anak. (gus)
Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Hanya Sedikit yang Diproses Hukum
Senin 07-01-2019,13:31 WIB
Editor : Dedi Haryadi
Kategori :