China mengklaim telah membuat serangkaian persenjataan baru yang lebih canggih dibanding negara-negara lainnya. Tapi, apakah semua senjata itu siap tempur? Sejak awal bulan Januari 2019, militer China telah mengungkapkan serangkaian persenjataan baru yang canggih dan kuat. Pengujian beberapa perangkat tersebut telah disertai dengan kehebohan luar biasa. Tapi seberapa masuk akalkah teknologi baru tersebut dalam situasi di medan perang? Berikut ini rangkuman dari laporan hari Selasa (15/1) dari Badan Intelijen Pertahanan (DIA/Defense Intelligence Agency) Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa China “memimpin dunia” dalam beberapa sistem senjata. https://youtu.be/tTgB9M48iAc Global Times yang dikelola pemerintah China melaporkan pada awal Januari 2019 bahwa China telah menguji versinya sendiri tentang “induk dari segala bom” (mother of all bombs) sebuah nama yang diadopsi dari bom Massive Ordnance Air Blast (MOAB) milik Angkatan Udara AS, yang dijatuhkan di sebuah komplek gua di Afghanistan tahun 2017. Versi senjata China adalah yang kedua setelah bom nuklir, menurut laporan Global Times. Gambar-gambar yang menyertai cerita tersebut menunjukkan senjata jatuh dari ruang penyimpanan bom dari apa yang dikatakan sebagai jet pengebom H-6K dan kemudian ledakan besar berapi-api di tanah. “Ledakan dahsyat itu dapat dengan mudah dan sepenuhnya menghapus sasaran darat yang dibentengi seperti bangunan yang diperkuat, benteng, dan tempat pertahanan,” kata Global Times mengutip analis militer Wei Dongxu. Laporan itu mengatakan bahwa MOAB China lebih kecil dan lebih ringan dari MOAB Amerika, yang memungkinkannya untuk dijatuhkan dari pengebom seperti senjata konvensional, tidak seperti versi AS yang pada dasarnya didorong dari bagian belakang pesawat kargo C-130. Akibatnya, China mengklaim versinya tentang ledakan besar non-nuklir akan lebih akurat daripada milik AS. Analisis: Sangat mungkin. China telah berusaha meniru teknologi militer dari yang lain dan memperbaikinya sesuai kebutuhan. Tetapi bahkan dengan apa yang dikatakannya sebagai metode pengiriman superior, pengerahan bom dalam pertempuran kemungkinan membutuhkan superioritas udara penuh. https://youtu.be/GjT-LMgQW44 Sebuah cerita yang diunggah di situs internet berbahasa Inggris Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA/People’s Liberation Army) pada tanggal 13 Januari 2019 menyatakan bahwa Tembok Besar Baja Bawah Tanah (Underground Steel Great Wall/USGW) sebagai serangkaian instalasi pertahanan yang ditempatkan jauh di bawah medan pegunungan di lokasi yang dirahasiakan di suatu tempat di China. Tembok tersebut dimaksudkan untuk melindungi pangkalan militer yang aman dari serangan musuh. Menurut laporan itu, batuan gunung akan menahan banyak ledakan potensial. Bagian “baja” dari dinding, sementara itu, merujuk pada karya Qian Qihu, seorang ilmuwan yang dikatakan telah menemukan cara untuk memberikan perlindungan ledakan tambahan untuk pintu keluar dan pintu masuk yang rentan. Qian mengatakan bahwa karyanya akan memberikan perlindungan dari senjata hipersonik masa depan, rudal yang dapat terbang lima hingga 10 kali kecepatan suara, dan dapat mengubah arah dalam penerbangan untuk menghindari pertahanan rudal sambil mengirimkan hulu ledak nuklir. “Pekerjaan Qian menjamin keamanan senjata strategis, fasilitas peluncuran dan penyimpanan negara, maupun keamanan para komandan selama masa-masa ekstrem,” kata pakar militer Song Zhongping dalam tulisan itu. Meskipun Rusia mengklaim memiliki rudal hipersonik yang siap untuk dikerahkan, salah satunya belum pernah digunakan dalam pertempuran sehingga mengembangkan “baja” yang dapat menahan senjata semacam itu akan tampak teoretis. Setelah Angkatan Laut AS mengirim kapal perusak berpeluru kendali di dekat pulau-pulau yang diklaim China di Laut China Selatan pada tanggal 10 Januari 2019, media pemerintah China mengatakan Tentara Pembebasan Rakyat telah mengerahkan rudal balistik DF-26 “yang mampu menargetkan kapal-kapal berukuran besar dan sedang” di laut. Sebuah laporan dari Global Times mengatakan bahwa penyebaran rudal dengan jangkauan 3.400 mil atau 5.471 kilometer “adalah pengingat yang baik bahwa China mampu melindungi wilayahnya.” Misil DF-26, yang dipamerkan untuk pertama kali pada parade militer tahun 2015 di Beijing, pada awalnya dipandang sebagai rudal balistik jarak menengah untuk digunakan terhadap sasaran darat. Para analis menjulukinya “pembunuh Guam” karena fakta bahwa ia membawa pulau AS di Samudra Pasifik tersebut dan berbagai pangkalan militer penting dalam jangkauan rudal China. Tetapi China tidak pernah menghadirkan bukti bahwa mereka telah menguji DF-26 dalam konfigurasi anti-kapal, yang mampu menargetkan kapal perang yang bergerak. Analis militer Carl Schuster, mantan kapten Angkatan Laut AS, mengatakan belum ada militer yang pernah berhasil mengembangkan rudal balistik anti-kapal. Benar-benar menggunakan sebuah rudal balistik anti-kapal dalam pertempuran akan membutuhkan beberapa kali peluncuran latihan untuk memperbaiki taktik dan prosedur, sesuatu hal yang belum terbukti telah dilakukan China. Versi baru dari pesawat tempur siluman J-20, yang diperkenalkan dalam armada Angkatan Udara Tentara Pembebasan Rakyat China pada bulan Februari 2018, dapat dikonfigurasikan ke dalam pesawat tempur pengebom serta versi perangkat perang elektronik dan berbasis kapal induk, menurut sebuah laporan pada situs internet berbahasa Inggris PLA. Versi-versi jet bermesin ganda itu mungkin juga termasuk tempat duduk untuk pilot kedua, menurut laporan itu, yang diambil dari Global Times. “Semua jet tempur siluman saat ini memiliki satu kursi, sehingga varian J-20 yang potensial mungkin menjadi jet tempur siluman dua kursi pertama di dunia,” kata laporan itu, mengutip China Central Television. Laporan tersebut mengatakan kru kedua akan diperlukan untuk menangani banjir informasi yang masuk ke sistem medan digital J-20. Laporan DIA AS di China mengatakan bahwa, “PLAAF (People’s Liberation Army Air Force) sedang mengembangkan pesawat pengebom siluman jarak menengah dan jarak jauh baru untuk menyerang target regional dan global. Teknologi siluman terus memainkan peran kunci dalam pengembangan pesawat pengebom baru ini.” Pesawat pengebom baru tersebut bisa beroperasi dalam enam tahun ke depan, kata DIA. Pisau genggam yang menembakkan peluru, pistol yang menembak di balik sudut, dan senapan serbu yang meluncur granat. Itu hanya beberapa hal yang diinginkan China untuk melengkapi pasukan khususnya dengan menciptakan “tentara super,” menurut sebuah tulisan di situs internet PLA. Pisau peluru bisa digunakan ketika musuh sudah dalam jarak dekat. Sementara itu, pistol sudut akan memungkinkan tentara untuk bersembunyi di balik dinding sambil melawan musuh yang datang ke arah mereka dari sudut 90 derajat, menurut laporan itu. Senapan serbu peluncur granat memberikan “senjata individu terkuat di dunia” dan menghubungkan medan perang menggunakan sensor digital, sistem penentuan posisi, dan pembagian data, menurut laporan itu. Analis militer Wei Dongxu menyebut senjata baru itu sebagai senjata “fiksi ilmiah” yang akan membuat satu prajurit China setara dengan 10 pasukan musuh. Analisis: Sangat mungkin. Meski senjata tersebut mungkin terdengar sedikit seperti sesuatu yang dikembangkan Q untuk James Bond, China bukanlah negara pertama yang mengerjakan hal-hal semacam ini. Tahun 2015, Badan Riset Produk Pertahanan Tingkat Lanjut AS mengatakan sedang mengembangkan peluru kaliber .50 dengan sensor optik yang dapat mengubah arah di udara. Laporan Malam Tahun Baru di South China Morning Post mengatakan bahwa China telah menyelesaikan pembuatan antena radio Wireless Electromagnetic Method (WEM). WEM terdiri dari kabel tegangan tinggi yang dirangkai dalam bentuk menara baja yang disusun dalam pola silang selebar 60 kilometer dan sepanjang 80 hingga 100 kilometer, menurut laporan SCMP. Sebentuk persegi panjang di dalam peta tersebut, yang akan mencakup area seluas 3.700 kilometer persegi, hanya sedikit lebih kecil dari Shanghai, meskipun China belum memberikan lokasi yang tepat dari antena tersebut untuk alasan keamanan. Terhubung dengan pembangkit listrik di bawah tanah, pengaturan antenna tersebut dapat mengirimkan sinyal radio frekuensi sangat rendah (ELF/extremely low frequency) yang dapat melakukan perjalanan melalui kerak bumi sejauh 3.500 kilometer, menurut laporan itu. Mengapa benda ini dibutuhkan? Begitulah cara Anda mengirimkan perintah ke kapal selam tanpa harus membuatnya muncul ke permukaan. Seperti yang ditulis analis Joseph Trevithick di blog The War Zone, China memiliki armada kapal selam terbesar di dunia. Trevithick mengatakan bahwa komunikasi ELF akan memungkinkan kapal selam rudal balistik bersenjata nuklir China untuk menyelam lebih dalam di laut, dibandingkan dengan metode lain. Hal itu akan membuat mereka lebih sulit untuk dideteksi dan akan meningkatkan posisi mereka sebagai pencegah serangan nuklir kedua. Masalah dengan sistem tersebut adalah hanya memungkinkan komunikasi teks satu arah, dari pangkalan ke kapal selam. Teknologi ini jauh dari hal baru sehingga lebih merupakan investasi infrastruktur daripada terobosan ilmiah apa pun. Angkatan Laut AS pernah menempatkan sistem semacam itu di Michigan dan Wisconsin, tetapi menutupnya awal abad ini ketika teknologi yang lebih baik telah dikembangkan. Berbagai laporan di media yang dikelola pemerintah China sejak awal Januari 2019 mengatakan bahwa China akan “segera” dapat mengerahkan railgun elektromagnetik di atas kapal perangnya. Secara teori, railgun akan menembakkan cangkang logam menggunakan listrik dan bukannya peledak, sebuah potensi pengembangan revolusioner dalam teknologi senjata yang akan membuat bubuk mesiu menjadi alat usang. Dengan jarak jangkau lebih dari 100 mil, proyektil itu akan bergerak hingga sembilan kali kecepatan suara (6.850 mil per jam). Proyektil itu juga akan menggunakan energi kinetic, alih-alih ledakan, untuk menghancurkan targetnya. Tanpa residu yang mudah meledak, railgun elektromagnetik diharapkan lebih akurat dan lebih mudah dirawat daripada artileri konvensional. Foto-foto dari apa yang dikatakan sebagai railgun yang dipasang di kapal atas pendarat Angkatan Laut PLA beredar di internet awal bulan Januari 2019. Sebuah tulisan di Global Times mengutip seorang pakar angkatan laut China, Li Jie, yang mengatakan foto-foto itu berarti railgun China mungkin sedang dalam tahap akhir pengujian. Senjata itu dapat ditujukan untuk digunakan pada kapal perusak Type 55 baru China saat telah beroperasi, salah satu kapal yang paling canggih di dunia saat ini, menurut laporan itu. Angkatan Laut AS juga telah bekerja untuk menyempurnakan railgun, dan melampaui China dalam pengembangannya, kata Schuster, analis militer di Hawaii Pacific University. Tetapi China mengejar dengan cepat, katanya, dan mungkin mengalahkan AS untuk pengerahan yang sesungguhnya. Keduanya bisa memiliki railgun yang berfungsi di laut dalam waktu kurang dari satu dekade, menurutnya. https://youtu.be/mAg6o1czuAY Televisi China menunjukkan pesawat tak berawak baru Sky Hawk China dalam penerbangan untuk pertama kalinya pada awal Januari 2019, membanggakan kemampuan pesawat untuk terbang “lebih cepat, lebih jauh, dan menghindari deteksi.” Sebuah laporan dari Global Times yang disponsori negara menyebut drone itu “seperti piring terbang.” Namun, pesawat tersebut sebenarnya lebih terlihat dengan pesawat pengebom siluman B-2 Angkatan Udara AS, meskipun dalam bentuk mini. Sky Hawk dipajang secara statis di Airshow China di Zhuhai pada bulan November 2018, ketika layanan berita Xinhua yang dikelola pemerintah mewawancarai kepala perancang pesawat, Ma Hongzhong, yang menggembar-gemborkan fitur-fiturnya. “Pesawat itu bisa sangat tersembunyi dari pandangan, serta bisa memiliki kemampuan serangan, pertahanan, dan pertahanan hidup yang lebih kuat ketika digunakan dalam pertempuran,” kata Ma dalam sebuah wawancara video. Dia juga mengatakan pesawat itu mewakili kemajuan dalam aerodinamika yang menawarkan daya tahan lebih besar, ditambah interior yang lebih besar yang memberikan kemampuan untuk membawa lebih banyak bahan bakar dan senjata. Sky Hawk adalah salah satu dari serangkaian drone dalam program China yang diperluas untuk kendaraan udara tak berawak, dengan penggunaan militer China dan penjualan ekspor sama-sama menjadi sasaran. Meskipun menggembor-gemborkan penerbangan Sky Hawk, Song mengatakan kepada Global Times bahwa China masih tertinggal di belakang AS dalam pengembangan pesawat siluman tak berawak. Tahun 2013, Angkatan Laut AS berhasil meluncurkan dan mengembalikan pesawat tanpa awak yang terlihat mirip, X-47B, di atas kapal induk. Pesawat itu pada tahun 2015 juga berhasil melakukan pengisian bahan bakar dalam penerbangan. Laporan-laporan berita mengatakan bahwa kapal induk buatan dalam negeri pertama milik Angkatan Laut PLA telah menyelesaikan uji coba laut putaran keempat dan kembali ke pelabuhan tempat kapal itu dibangun, galangan kapal Dalian Shipbuilding Industry Company (DSIC) di Dalian. Sebelum kapal induk pergi untuk uji coba itu, Global Times mengatakan bahwa tes putaran keempat diharapkan untuk fokus pada pesawat yang ditempatkan di kapal, dengan tes dijalankan pada radar, kontrol lalu lintas udara, serta peralatan peluncuran dan pendaratan di kapal seberat 50.000 ton. Wang Yunfei, seorang ahli angkatan laut dan pensiunan perwira Angkatan Laut PLA, mengatakan kepada Global Times bahwa mungkin jet-jet tempur J-15 akan mencoba latihan lepas landas dan pendaratan selama uji coba laut keempat. Foto-foto kapal saat kembali ke Dailan setelah 13 hari di laut menunjukkan J-15 dan sebuah helikopter berada di geladaknya, menurut South China Morning Post. Laporan terakhir mengutip pakar militer Li Jie yang mengatakan kapal induk itu dapat secara resmi dikirim ke Angkatan Laut PLA pada tanggal 23 April 2019, ketika kapal itu dapat berpartisipasi dalam peninjauan armada besar-besaran di provinsi Shandong untuk Hari Angkatan Laut China. Dengan desas-desus di media yang disponsori negara bahwa kapal induk baru itu akan berada pada peninjauan armada pada Hari Angkatan Laut, akan memalukan bagi Angkatan Laut PLA jika kapal itu tidak berhasil. Selain itu, kapal induk pertama China, Liaoning, dan kapal perusak Type 55 baru, salah satu kapal perang terbesar dan paling canggih di Asia, diperkirakan akan berada di parade angkatan laut, menurut Global Times. Gambar ketiga kapal yang berlayar bersama akan menjadi pemandangan patriotik yang memukau bagi dalam negeri China. (*)
China Pamer Persenjataan Baru: Imajiner atau Siap Tempur?
Selasa 22-01-2019,16:39 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :