Utang Indonesia menjadi topik pembicaraan belakangan ini karena jumlahnya dikabarkan melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Menjelang pemilu 2019, masalah tersebut ramai diperdebatkan di media maupun masyarakat. Apalagi, kurs Rupiah terhadap Dolar AS telah anjlok ke posisi terburuk sejak Oktober 2015, sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai hubungan utang luar negeri dan kurs Rupiah. Jenis utang Indonesia yang berkaitan dengan kurs Rupiah secara langsung adalah utang luar negeri. Lazim diketahui bahwa dampak pelemahan kurs Rupiah dapat memperbesar Utang Luar Negeri. Namun, sebenarnya peningkatan Utang Luar Negeri juga dapat berpengaruh negatif terhadap kurs Rupiah. Dengan kata lain, kenaikan utang dan depresiasi nilai tukar dapat membentuk spiral lingkaran setan. Pelemahan kurs Rupiah membuat Utang Luar Negeri yang harus dibayar oleh orang Indonesia menjadi lebih tinggi. Bayangkan skenario ini: Anda punya utang USD100 saat kurs Rupiah masih Rp13,000 per Dolar AS, sehingga untuk mengembalikannya maka harus menyiapkan uang Rp1,300,000. Setahun kemudian, saat akan membayar utang tersebut, kurs Rupiah telah jatuh ke Rp14,000 per Dolar, sehingga pengembalian utang mencapai Rp1,400,000. Itu baru perhitungan pokok utang, belum mencakup biaya bunganya. Dalam upaya untuk membayar utang luar negeri yang kian membengkak tersebut, permintaan terhadap valas di dalam negeri akan menggerogoti cadangan devisa negara dan cenderung berdampak negatif pada nilai tukar. Fenomena ini biasanya luput dari pemantauan orang awam, tetapi telah terbukti secara empiris dalam beberapa penelitian. Salah satu penelitian yang mengungkap dampak utang luar negeri terhadap nilai tukar tertuang dalam paper berjudul \"Impact of Public External Debt on Exchange Rate in Nigeria\" yang dirilis di European Journal of Business and Management Vol 7 No 21 Tahun 2015 (Saheed, Sani, dan Idakwoji). Di Indonesia, sebuah paper berjudul \"Pengaruh Utang Luar Negeri, Tingkat Suku Bunga dan Neraca Transaksi Berjalan Terhadap Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat\" yang dirilis di e-Jurnal Perdagangan, Industri, dan Moneter Vol 6 No 1 Januari-April 2018 (Yudiarti, Emilia, dan Mustika) menemukan bahwa utang luar negeri berpengaruh signifikan dan positif terhadap nilai tukar atau kurs. Artinya, semakin tinggi utang luar negeri, maka makin buruk pula kurs Rupiah. Pertanyaannya, bagaimana dengan status utang Indonesia (khususnya utang luar negeri) dan kurs Rupiah saat ini? Data Utang Indonesia Per Agustus 2018 Saat membicarakan utang Indonesia, umumnya akademisi dan analis akan mengutip data dari dua sumber, yakni Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia. Kementrian Keuangan mempublikasikan data utang pemerintah. Di sisi lain, Bank Indonesia rutin merilis laporan utang luar negeri (ULN) dari sektor pemerintah maupun swasta. Dari kedua sumber data tersebut, bagaimana utang Indonesia? Awal pekan ini, Kementrian Keuangan melaporkan bahwa total utang pemerintah pusat periode Juli 2018 tercatat Rp4,253.02 Triliun, atau meningkat 12.51 persen (year-on-year). Dengan demikian, rasio utang terhadap GDP (Debt-to-GDP Ratio) saat ini diestimasikan berada sekitar 29.75 persen; setelah konsisten menanjak sejak tahun 2014 hingga mencapai 28.7 persen pada tahun 2017. Menurut pemerintah, sebagian besar utang tersebut dialokasikan ke sektor produktif, utamanya pembangunan infrastruktur. Dilihat dari strukturnya, kenaikan utang pemerintah bersumber dari penerbitan obligasi berupa Surat Berharga Negara (SBN), khususnya SBN berdenominasi Rupiah. Saat ini, disebutkan bahwa 60 persen utang pemerintah dalam mata uang Rupiah, dan hanya 40 persen dalam valas. Sementara itu, BI melaporkan bahwa utang luar negeri Indonesia kuartal II/2018 sebesar USD355.7 Miliar. Meskipun nominalnya masih bertambah, tetapi pertumbuhannya melambat dari 8.9 persen (yoy) pada kuartal pertama menjadi 5.5 persen pada kuartal kedua. Total utang luar negeri tersebut terdiri atas utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD179.7 Miliar, serta utang swasta sebesar USD176.0 Miliar. Sepanjang kuartal II/2018, ULN Pemerintah tercatat tumbuh 6.1 persen (yoy), melambat dibanding 11.6 persen pada kuartal I. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa utang Indonesia memang terus meningkat. Namun, pihak swasta maupun pemerintah saat ini cenderung mengurangi utang luar negeri atau yang berdenominasi valas denganmengalihkan mayoritas sumber utang ke dalam denominasi Rupiah. Kurs Rupiah Per Agustus 2018 Saat ulasan ini ditulis (24/Agustus), USD/IDR telah melonjak lagi ke Rp14,657 berdasarkan pemantauan pada data FX_IDC di platfom TradingView. Lonjakan tersebut berarti kurs Rupiah telah merosot sekitar 7 persen dalam tahun 2018 ini. Banyak pihak menilai pelemahan kurs Rupiah sejak awal tahun 2018 disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, seperti kenaikan suku bunga bank sentral AS (Fed Funds Rate), eskalasi konflik dagang China-AS, serta imbas krisis Turki. Namun, sejumlah faktor dari dalam negeri juga menggarisbawahi rapuhnya fondasi ekonomi Indonesia. Salah satu aspek yang paling membebani kurs Rupiah di dalam negeri adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (Current Account) kuartal II/2018 ke USD8 Miliar dari USD5.7 Miliar. Proporsinya telah mencapai 3 persen dibanding total GDP. Hal ini menandai tingginya aliran dana ke luar negeri sekaligus rendahnya aliran dana masuk ke dalam negeri. Untuk saat ini, walaupun merosot drastis, tetapi status kurs Rupiah boleh jadi bisa dianggap masih aman. Namun, perlu diperhatikan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan pelemahan Rupiah saat ini tidak akan sirna dalam waktu dekat. Ke depan, utang luar negeri juga tetap perlu diwaspadai agar jangan sampai pembayarannya memperburuk depresiasi kurs Rupiah. Demikian pula sebaliknya, pengurangan utang luar negeri patut diprioritaskan selama kurs Rupiah masih rentan. Sementara, menurut Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) Faisal Basri penguatan rupiah tersebut bukan karena \"keringat\" pemerintah dalam memperbaiki perekonomian Indonesia, namun karena utang yang terus ditimbun. \"Kelihatan utang pemerintah itu naik. Utangnya lebih banyak sehingga ikut membantu nilai tukar rupiah. Jadi rupiah membaik bukan karena darah keringat kita [pemerintah Indonesia], tapi utang,\" kata Faisal sewaktu memberi pemaparan dalam seminar nasional INDEF, di Hotel Bidakara, Rabu (28/11/2018). Faisal menjelaskan utang tercipta dari aliran modal atau investor asing yang masuk melalui surat berharga negara. Menurutnya, pemerintah \"mengobral\" suku bunga, sehingga investor banyak yang masuk ke Indonesia. Meskipun demikian, Faisal tidak menampik bahwa, banyaknya modal asing yang masuk, bisa menguatkan nilai mata uang suatu negara, termasuk rupiah. Namun perlu diingat, hal ini hanya berlangsung dalam jangka pendek. \"Kalau rupiah pergerakan harian, fenomena moneter. Dalam jangka pendek, bisa hubungan antara CAD (Current Account Deficit) dengan rupiah. Mau CAD memburuk, rupiah bisa membaik, karena pemerintah utangnya sangat banyak.\" \"Pemerintah obral suku bunga tinggi, biar uang datang. Jadi menguatnya rupiah karena uang datang, [modal] asing datang atau tidak itu dipengaruhi oleh berapa hasil investasi yang dia [investor] dapatkan di suatu negara. Kalau pemerintah naikkan suku bunga, ya modal otomatis datang, bukan karena percaya sama Indonesia,\" jelas Faisal. Jika ingin rupiah stabil, Faisal menegaskan, pemerintah harus memperbaiki defisit transaksi berjalan atau CAD, secara struktural. Jika tidak, maka rupiah masih bisa kembali melemah. \"99% rupiah akan melemah. Kalau bicara jangka panjang, hubungan rupiah dengan defisit transaksi berjalan itu erat sekali. Sepanjang defisit maka rupiah akan melemah. Tinggal persoalannya melemahnya berapa banyak,\" tutupnya. (*)
Mencermati Hubungan Utang Indonesia Dan Kurs Rupiah
Rabu 23-01-2019,12:26 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :