Menebak Nasib Inggris Saat Ratu Elizabeth II Tiada

Senin 04-02-2019,22:34 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Inggris menghidupkan kembali rencana darurat era perang dingin untuk merelokasi Ratu Elizabeth II jika terjadi kerusuhan di London terkait carut-marut negosiasi Brexit. Dua sumber di pemerintah Inggris mengatakan tindakan ini akan dilakukan jika Inggris mengalami gangguan serius dalam proses keluarnya dari Uni Eropa atau Brexit pada bulan depan. \"Rencana - rencana evakuasi darurat ini pernah diujikan pada era perang dingin dan sekarang telah dievaluasi lagi apabila ada gangguan karena tidak adanya kata sepakat dalam negosiasi Brexit,\" tulis Sunday Times pada Minggu, 3 Februari 2019, berdasarkan keterangan dua sumber, yang keberatan dipublikasi identitasnya. Inggris juga telah mempelajari sejumlah rencana untuk memindahkan keluarga kerajaan, termasuk Ratu Elizabeth II ke lokasi yang jauh dari ibu kota London. Di sisi lain, tak ada yang abadi di dunia fana ini. Selama orang-orang Jepang belum menemukan obat anti-kematian, Bill Gates belum menciptakan piranti lunak pengulur umur, atau Elon Musk belum bertemu alien dari luar angkasa yang punya teknologi penangkal semaput, semua makhluk hidup akan berakhir dijemput maut. Utamanya, para manusia. Keniscayaan itu pasti akan mendatangi siapa saja, termasuk Ratu Elizabeth II dari Inggris Raya. Bulan lalu adalah penanda tepat 65 tahun ia mendapuk tahta. Bulan depan, umurnya akan bertambah angka satu di belakang kepala sembilan. Waktu telah membuat Sang Ratu jadi orang pertama yang paling lama memegang tahta Kerajaan Inggris Raya. Ia bahkan mengalahkan prestasi buyutnya, Ratu Victoria, yang pernah mencatat sejarah sebagai pemimpin wanita terlama berkuasa. Di hari kematiannya, Ratu Elizabeth II akan disemayamkan di ruang tahta dalam Istana Buckingham. Akan ada sebuah altar, selendang penutup peti—sesuai standar kerajaan, serta empat pasukan penjaga lengkap dengan topi dari kulit beruangnya, dan mulut senapang yang tunduk ke lantai. Di koridor-koridor, para staf yang telah melayani Sang Ratu lebih dari 50 tahun akan berlalu-lalang, mengikuti prosedur yang sudah dihafal mati. Di luar, para jurnalis akan berkumpul di titik yang telah disepakati, di sebelah Gerbang Kanada di ujung Green Park—Taman Hijau. Di sepenjuru negeri, bendera akan diturunkan, dan lonceng didentingkan. Seluruh upacara akan jadi tanggung jawab Letnan Kolonel Anthony Mather, mantan petugas resmi kerajaan yang pensiun pada 2014 lalu. Saat usianya masih 23 tahun, Mather ini juga orang yang jadi pemimpin upacara pemakaman Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris ketika zaman Perang Dunia II. Tim pemerintahan sendiri akan berkoordinasi dengan polisi, pengamanan, dan angkatan bersenjata untuk berkumpul di Departemen Kebudayaan, Media, dan Olahraga. Pun akan ada orang yang kebagian tugas mencetak sekitar 10 ribu tiket untuk tamu undangan—orang-orang yang akan menyaksikan langsung proklamasi Raja Charles, putra sulung Ratu Elizabeth II yang akan menggantikannya. Ratu Elizabeth II sendiri masih sehat walafiat hingga hari ini. Mahkota masih di atas kepalanya. Tapi naskah kematiannya sudah tersusun rapi dan rinci seperti deskripsi di atas. Upacara pemakamannya ini diberi kode “Operasi London Bridge.” Persiapan ini tak dilakukan karena usia Sang Ratu yang hampir satu abad. Operasi London Bridge sendiri telah ada pertama kali sejak 1960. Persiapan kematian Sang Ratu telah diperbarui untuk kesekian kalinya. Setidaknya dalam setahun, para panitia terkait akan berkumpul dua atau tiga kali untuk terus memperbarui agenda ini. Pemakaman yang megah dan upacara yang panjang sudah jadi tradisi Kerajaan Inggris sejak lama. Ketika seorang pemimpin monarki wafat, maka di saat yang sama pemimpin baru lahir. Hal inilah yang menjadikan upacara pemakaman sang pemimpin harus dipersiapkan sejak lama. Pemakaman terakhir keluarga kerajaan yang terdekat adalah milik Ratu Elizabeth, ibu Ratu Elizabeth II, pada 2002 lalu. Pemakaman tersebut setidaknya dipersiapkan 22 tahun sebelum Ibu Ratu benar-benar mengehembuskan napas terakhirnya pada Hari Paskah tahun itu. Ia bahkan sempat menelepon sejumlah kerabat untuk mewariskan kuda-kuda kesayangannya. Pemakaman sang Ibu Ratu sendiri berkode “Tay Bridge.” Fakta yang bersifat rahasia ini kemudian dituliskan Sam Knight dari The Guardian, jumat pekan lalu. Ia sendiri menjumpai banyak sekali petugas pemerintahan, petugas kerajaan, media, dan sejumlah orang yang terlibat langsung jadi panitia Operasi London Bridge. Tak semuanya ingin berbagi informasi, sebab sebagian besar masih menganggap tabu memperbincangkan rencana pemakaman Sang Ratu ketika ia masih kelihatan segar bugar. Namun kenyataannya, semua orang tengah mempersiapkan hari itu. Hari kematian Sang Ratu. Kepemimpinan Elizabeth II sebagai Ratu Inggris adalah sebuah sejarah bagi dunia. Menggantikan ayahnya, Raja George VI, ia naik tahta pada 6 Februari 1952, dan setahun kemudian baru dilantik pada 2 Juni 1953. Ada jarak lebih dari setengah abad antara kematian George VI dan Ratu Elizabeth II kelak. Persiapan ini tentu saja melanjutkan sejumlah tradisi, tapi di saat bersamaan juga tak persis presisi dengan pemakaman-pemakaman sebelumnya. Inggris di bawah kepemimpinan Elizabeth II telah berubah sedemikian rupa dibanding saat dipimpin sang ayah. Meski cinta bangsa Inggris kepada anggota kerajaannya masih mendarah daging, tapi ada banyak perkembangan terjadi pada masa kepemimpinan Ratu Elizabeth. Sejarawan David Cannadine menyebut warisan utama Sang Ratu adalah bagaimana ia berhasil mempertahankan sistem monarki yang dimiliki Inggris, dan mengubah Inggris jadi masyarakat yang lebih cair, multikultural, dan lebih sekuler. Sejarawan lain, Henry James juga mengungkapkan hal senada. Ia membandingkan rezim-rezim pemimpin Inggris lainnya yang membuat rakyatnya begitu mencintai kerajaan mereka, namun di saat yang sama merasa takut dan terintimidasi. Sementara di bawah kepemimpinan Elizabeth II, hal itu berubah mengalir mengikuti perkembangan zaman. Di awal kepemimpinannya, salah satu kebijakan Sang Ratu yang paling kontroversi adalah keputusannya melanjutkan Negara-negara Persemakmuran, program sang ayah yang bertujuan menyatukan negara-negara bekas jajahan Inggris. Di masa Raja George, ada tujuh negara lain yang masuk ke dalam organisasi non-pemerintah ini, di antaranya: Kanada, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan, India, dan Sri Lanka. Sementara di masa Ratu Elizabeth, Negara-negara Persemakmuran ini mengalami pasang-surut yang mengarah ke perkembangan baik. Sejumlah negara memang memutuskan keluar dan jadi republik sendiri (misalnya India), tapi sejumlah lainnya tetap bergabung dan mengaku Ratu Elizabeth sebagai pemimpin Persemakmuran, meski tak sedikit yang juga punya monarki sendiri. Salah satu negara yang kabarnya akan segera mengundurkan diri dari perserikatan Persemakmuran adalah Australia, yang konon akan jadi guncangan hebat untuk kerajaan Inggris. Kematian Sang Ratu, diprediksi Sam Knight akan jadi salah satu titik terpenting penentu umur panjang sistem monarki Inggris. Apakah sistem itu akan terus berumur panjang melampaui umur panjang Ratu Elizabeth II? Tak ada yang tahu jawabannya, sebagaimana tak ada yang tahu sampai kapan Operasi London Bridge benar-benar dilaksanakan. Menurut, badan statistik nasional Inggris, perempuan berumur 91 tahun—seperti Ratu Elizabeth—rata-rata punya kesempatan hidup 3 tahun 4 bulan lagi. Tapi, bukankah manusia dan ilmu pengetahuan cuma bisa memprediksi? (*)

Tags :
Kategori :

Terkait