Riset IFJ: Ancaman Serius Bagi Jurnalis Berasal dari Medianya Sendiri

Rabu 06-02-2019,13:51 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

Riset International Federation of Journalists dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara menunjukkan, ancaman paling serius bagi jurnalis justru berasal dari perusahaan media sendiri. Pemberian upah rendah dan penggajian tidak teratur dari perusahaan membuat jurnalis sulit bekerja profesional serta rawan menerima sogokan. Temuan ini tercantum dalam laporan perdana mengenai kebebasan media di Asia Tenggara 2018 bertajuk “Underneath the Autocrats” yang digagas oleh International Federation of Journalists (IFJ) dan Serikat Jurnalis Asia Tenggara (South East Journalist Unions/SEAJU) serta didukung oleh UNESCO. Riset ini melibatkan hampir 1.000 jurnalis dan pekerja media dari 7 negara, yaitu Indonesia, Kamboja, Filipina, Malaysia, Thailand, Myanmar, dan Timor Leste. “Sebanyak 81 persen dari total responden menyebutkan situasi (industri) media di negara mereka tidak mengalami perbaikan dan justru memburuk,”kata Pelaksana Tugas Direktur IFJ Asia Pasifik Jane Worthington, akhir pekan lalu. Memburuknya kondisi industri media otomatis berpengaruh pada pemberian upah yang rendah dan pembayaran gaji yang tidak teratur. Situasi ini mempengaruhi profesionalitas jurnalis dalam bekerja dan mengakibatkan mereka rawan menerima suap yang jelas-jelas bertentangan dengan kode etik jurnalistik. Setelah persoalan upah dan penggajian yang tidak teratur, di level regional ancaman tertinggi berikutnya adalah penyensoran dan penyerangan terhadap jurnalis. “Riset ini diharapkan dapat menjadi alat advokasi yang mendesak pemerintah dan perusahaan media dalam upaya melindungi jurnalis. Selain itu, laporan ini juga dapat digunakan oleh beragam pihak, termasuk organisasi sipil untuk ikut ambil bagian dalam upaya meningkatkan keamanan bagi pekerja media dan menjamin kebebasan pers serta kebebasan berekspresi,” ujar Jane. Di bawah UMP Dalam hasil riset upah layak jurnalis 2019 di Jakarta akhir Januari lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat masih ada 10 media masih mengupah jurnalis pemulanya di bawah UMP DKI Jakarta yang sebesar Rp 3,94 juta per bulan. ”Dalam kondisi kesejahteraan yang tak memadai, produk-produk jurnalistik yang berkualitas akan sulit dihasilkan dan independensi jurnalis dipertaruhkan,” kata Sekretaris Jenderal AJI Jakarta Afwan Purwanto. Salah satu kasus pembayaran gaji tidak teratur ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers yang sejak 20 September 2017 mendampingi pekerja media majalah Femina yang tergabung dalam Forum Komunikasi Karyawan Femina Group (FKKFG). Mereka menuntut pembayaran hak gaji yang belum dibayarkan oleh PT Gaya Gavorit Press (anak perusahaan dari Femina Group). Setelah berjuang demikian lama, 24 Januari 2019, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta akhirnya mengabulkan gugatan perselisihan hak yang diikuti dengan permohonan pemutusan hubungan kerja FKKFG. Dalam persidangan, majelis hakim menyatakan, pihak perusahaan terbukti bersalah melakukan pembayaran tidak tepat waktu mulai dari Februari 2016, Juni 2016, Juli 2017 hingga Desember 2017, serta Januari 2018 hingga September 2018. Majelis hakim menyatakan bahwa penggugat demi hukum putus hubungan kerja serta wajib mendapatkan uang kompensasi sebesar 2 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Setelah berjuang demikian lama, 24 Januari 2019, Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta akhirnya mengabulkan gugatan perselisihan hak yang diikuti dengan permohonan pemutusan hubungan kerja FKKFG. Dalam persidangan, majelis hakim menyatakan, pihak perusahaan terbukti bersalah melakukan pembayaran tidak tepat waktu mulai dari Februari 2016, Juni 2016, Juli 2017 hingga Desember 2017, serta Januari 2018 hingga September 2018. Majelis hakim menyatakan bahwa penggugat demi hukum putus hubungan kerja serta wajib mendapatkan uang kompensasi sebesar 2 PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). (*)

Tags :
Kategori :

Terkait