Selama musim politik Pilpres 2019 dan realitas dunia maya, terutama di kolom komentar media sosial, orang dapat begitu mudah melampiaskan amarah. Suatu perdebatan, yang semestinya menjadi ajang untuk beradu ide atau gagasan, justru berubah fungsi sebagai wilayah pertarungan umpatan, caci maki, hingga ancaman. Apa yang membuatnya demikian? Art Markman, seorang profesor psikologi dari University of Texas, menyebut bahwa makin ke sini, kolom komentar cenderung “luar biasa agresif” tanpa bertujuan untuk memecahkan persoalan apapun. “Pada akhirnya, Anda merasa tiada seorang pun yang mendengarkan. Merasakan pengalaman emosional yang tidak dapat menyelesaikan masalah secara sehat jelas bukan hal yang bagus,” ujar Markman. Berdasarkan analisisnya, Markman juga menyebut ada empat faktor mengapa orang bersedia menghabiskan waktu untuk berkelahi di dunia maya: (1) Orang dapat menyamarkan identitas menjadi anonim di internet sehingga mereka bisa mengelak dari tanggung jawab akibat kemarahan mereka. (2) Mereka berada jauh dari target yang menjadi sosok kemarahan. (3) Lebih mudah bersikap jahat dalam menulis daripada berbicara. (4) Karena kolom komentar tidak terjadi secara real time, orang bisa bermonolog dalam sudut pandang yang ekstrem. Pada poin nomor dua, Markman memberi catatan khusus: \"Nada suara dan gerak tubuh memiliki pengaruh besar pada kemampuan Anda untuk memahami apa yang dikatakan seseorang. Semakin jauh jarak dialog tatap muka, semakin tidak presisinya waktu dalam berdialog, maka semakin sulit untuk berkomunikasi.\" Maria Konnikova, psikolog keturunan Rusia-Amerika, dalam kolomnya di New Yorker yang berjudul ‘The Psychology of Online Comment’, juga turut mengamati perihal kekhawatiran para psikolog klasik terhadap komunikasi non-tatap muka yang dimediasi teknologi lawas, seperti surat dan telepon, hingga yang kekinian, seperti internet dan medsos. Problem yang muncul adalah menurunnya kemampuan seseorang untuk memahami gestur non-verbal, nada bicara, hingga konteks. Tanpa hal-hal tersebut, kata Konnikova dengan merujuk pada sejumlah riset, orang akan mudah untuk bersikap impersonal, dan menciptakan komunikasi yang dingin. Situasi ini, terutama di negara yang menjunjung tinggi kebebasan berbicara, jadi salah satu faktor yang mendorong warganet lebih ekspresif dalam beropini—termasuk dalam mengomentari unggahan warganet lain. Konnikova juga menyoroti bagaimana anonimitas turut menjadi faktor pemicu agresivitas seseorang dalam berkomentar. Ia menyinggung sejumlah penelitian yang mengungkap bagaimana anonimitas membuat orang melepas beban moral sehingga ia bisa lebih terbuka sekaligus berani dalam berpendapat. Konsekuensinya, warganet lain merasa berhak untuk menimpalinya juga dengan agresif. Situasi ini bak lingkaran setan, sebab komentar balasan juga sama-sama atau bahkan lebih agresif. Dunia medsos mengistilahkannya dengan kondisi triggered (terpicu). Analisis lain mengenai perilaku agresif seseorang dalam dunia maya juga dikemukakan oleh Edward Wasserman, profesor bidang jurnalisme etika dari Washington dan Lee University. Wasserman berbicara mengenai faktor eksternal yang mendukung perilaku tersebut: pengaruh buruk yang dihasilkan oleh media melalui produk mereka. Dalam konteks ini, ia juga menyoroti bagaimana acara televisi turut menjadi biang keroknya. \"Media arus utama, sayangnya, turut membuat kesalahkaprahan mengenai cara orang berbicara satu sama lain. Lihatlah Jerry Springer, Crossfire, Bill O\'Reilly (sederet acara reality show yang populer di AS--red). Orang-orang menyimpulkan bahwa kemarahan merupakan percakapan sehari-hari, tentang bagaimana komunikasi publik diterjemahkan. Ini sama sekali salah,” demikian ujarnya, seperti dikutip artikel ‘Why Is Everyone on the Internet So Angry?’ yang tayang di Scientific American. Pada 2014, seorang pembuat film asal Norwegia, Kyrre Lien, meluangkan waktunya untuk melihat berbagai kolom komentar di media daring saat Hari Natal. Dia terkejut melihat bagaimana banyaknya orang menyebar kebencian lewat komentar agresif mereka. Merasa penasaran dengan para komentator tersebut, Lien pun turut mengecek profil mereka satu per satu. “Saya terpesona oleh betapa banyaknya kebencian dan ketidaktahuan yang ditulis orang-orang di kolom komentar sebuah situs berita, jadi saya mulai mencari tahu mereka dengan melihat profilnya masing-masing. Banyak yang tampak cukup normal, memiliki keluarga dan hidup sebagaimana orang pada umumnya, tetapi komentar yang mereka tulis di ruang publik sangat ekstrem. Ada ketidaksambungan,” ujar Lien kepada The Guardian. Sejak itu, petualangan Lien mengamati para komentator tersebut terus berlanjut hingga tiga tahun lamanya. Dimulai dari tipikal komentator agresif di Norwegia, hingga ke pusatnya di Amerika Serikat. Ada sekitar 200 subjek yang diamatinya, namun hanya sedikit yang berhasil diwawancarainya, baik secara langsung atau tidak. Hasil riset dan wawancara tersebut kemudian dirangkum Lien menjadi sebuah film dokumenter berjudul The Internet Warriors. Lien mengkategorisasikan komentator agresif itu berdasarkan tipikal mereka: rasis, homofobik, hingga yang slut-shamers (perilaku yang kerap menstigmatisasi perempuan karena menganggap mereka provokatif secara seksual). “Untuk mencari tahu apa motif mereka, siapa mereka, dan mengapa mereka memiliki pandangan demikian, saya menjadi [semacam] investigator,” katanya. Dari sekian banyak tipikal komentator tersebut, ada satu jenis yang selalu menghindari Lien untuk diwawancarai: para misoginis. “Saya menghubungi banyak sekali misoginis, tapi tidak ada satupun yang bersedia berbicara langsung, yang mana itu justru menarik.” Lalu apa yang dipelajari Lien usai membuat film dokumenter tersebut? Ia berkesimpulan: “Banyak, banyak sekali orang yang merasa kesepian. Mereka merasa masyarakat telah meninggalkan mereka di belakang, dan banyak juga dari mereka yang pernah menjadi korban perundungan. Tapi, pada akhirnya, saya belajar bahwa setiap orang mampu untuk berubah, terutama karena kita semua hidup dinamis. Kita tidak bisa menutup mata dan menganggap mereka tidak ada jika kita ingin mengubah cara mereka berdebat dan berkomunikasi. Penting untuk mendengar suara-suara tersebut.” Sebetulnya ada pula istilah lain yang lebih populer untuk menyebut para jago kelahi di internet ini: Keyboard Warrior. Dalam Urban Dictionary, istilah tersebut didefinisikan menjadi: “Seseorang yang, karena tidak mampu mengekspresikan kemarahannya melalui kekerasan fisik (memiliki kelemahan fisik, kurang berani dan/atau nyali dalam kehidupan nyata), memanifestasikan emosinya melalui media berbasis teks dari internet, biasanya dalam bentuk tulisan agresif yang tidak akan diungkapkan oleh mereka di kehidupan nyata.” Keyboard Warrior pun dibagi lagi menjadi dua tipe: (1) Mereka yang memang sengaja mencari perhatian dengan memancing keributan, (2) Mereka yang melampiaskan amarah di dunia nyata ke dunia (ini tipe yang sama dengan definisi umum, baik di Urban Dictionary atau kalangan pengguna internet lain). Untuk tipe yang pertama, sikap tersebut sejatinya lebih menjurus ke “troll”: orang-orang yang punya kecenderungan terhadap kekerasan hingga ke tahap yang mampu membikin onar di suatu lingkungan. Dalam laporannya berjudul \"How The Internet Created an Age of Rage\", Tim Adams dari The Guardian turut menjelaskan perilaku “troll” tersebut. Dengan mengutip Tom Postmes, profesor psikologi sosial dari University of Exeter, Inggris, dalam buku Individuality and the Group: Advances in Social Identity (2006), Adams menyebut: “Pada tahun-tahun awal, perilaku online ini disebut \'flaming\', dan lama-kelamaan makin populer serta mengakar. Bagi teman-temannya, pelaku sebenarnya meniatkan perilakunya untuk lucu-lucuan saja, tapi pada akhirnya tetap berbenturan dengan standar norma sebagian besar pengguna internet lainnya. Mereka sengaja memicunya. Mereka ingin mempromosikan emosi antipati, rasa jijik, dan kemarahan, yang anehnya memberi mereka perasaan senang.” “Perasaan senang” menjadi kalimat kunci untuk membedakan antara Keyboard Warrior dengan perilaku troll. Jika seorang Keyboard Warrior fokus kepada perkelahian untuk menunjukkan betapa jagoannya mereka di dunia maya, perilaku troll justru menganggap komentar agresif terhadap mereka adalah keasyikan tersendiri dan makin menguatkan ekstensi mereka. Selain itu, perilaku troll kerap dianggap tidak mengandung konsekuensi serius karena terlindungi berkat anonimitas pelakunya. Hingga kini, solusi terbaik dalam menghadapi perilaku agresif di dunia maya, baik Keyboard Warrior atau troll, adalah memblokir akun bersangkutan atau mengacuhkan mereka. Kecuali Anda memang kebelet betul ingin berkelahi di dunia nyata, itu tentu pilihan pribadi dengan konsekuensi yang kelak ditanggung sendiri. Inilah yang dilakukan dua orang pengguna Twitter di Jakarta pada 2015 lalu. Setelah “twitwar” terkait mobil nasional dan Presiden Joko Widodo, keduanya sepakat untuk adu jotos di Istora Senayan. (*)
Mengapa Warganet Galak di Kolom Komentar?
Selasa 19-02-2019,09:55 WIB
Editor : Dian Arief Setiawan
Kategori :