Makam Tionghoa Tertua di Cirebon Sudah Ada Sejak Tahun 1600-an, Tergusur Perumahan

Selasa 09-04-2019,14:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON-Menapaki kawasan pemakaman Tionghoa Kutiong di Jalan Kalitanjung saya membatin. Jalanannya berbatu. Semak belukar menutupi sebagian besar makam yang sudah tidak terurus. Juga tergusur perumahan warga. Imej makam tionghoa yang ada di benak saya selalu identik dengan arsitekturnya yang khas. Dengan nisan dan pertanda masing-masing makam yang dibangun besar-besar. Kedatangan saya hari itu untuk menghadiri Cheng Beng yang dilaksanakan, Sabtu (6/4). Ritual yang terus dilestarikan masyarakat Tionghoa di Cirebon. Mereka berdoa, juga merawat makam leluhur. Masyarakat sekitar pun berbondong-bondong melihat ritual. Mengincar bagi-bagi sembako yang menjadi bagian pamungkas dari acara.  Di tengah-tengah lahan terbuka di pemakaman tersebut acara dimulai. Dari keterangan beberapa tokoh Tionghoa, diperkirakan komplek makam itu sudah ada sejak tahun 1600-an. Halim Eka Wardana, membuka obrolan soal ini. “Sebagai warga Tionghoa, saya sedih,” katanya, mengawali. Cheng-Beng adalah ritual berkunjung ke makam leluhur. Yang di Tiongkok sampai hari ini juga masih berlangsung. Bak mudik di Indonesia. Masyarakat dari perkotaan ramai-ramai ke kampung halaman. Mengunjungi rumah abu. Membawa sesajian yang biasanya makanan kesukaan mendiang selama masa hidupnya. Kesedihan tokoh yang bergiat di Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) disebabkan kondisi pemakaman yang jauh dari kata layak.  Dalam tradisi Tionghoa, para leluhur sangat dihormati. Itulah kenapa ada Cheng Beng. Kesedihan juga dirasakan masyarakat Tionghoa lainnya. Pembongkaran makam yang dilakukan oleh sejumlah oknum di area pemakaman membuat sejumlah makam hilang. Tak sedikit juga yang berganti dengan rumah-rumah warga. Diduga, pembongkaran makam dilakukan untuk mencari perhiasan maupun barang-barang berharga yang ada di dalam makam. Sanak saudara Halim menjadi korban dari aksi sejumlah oknum itu. Barang-barang yang turut dikubur itu dijarah. \"Makam nenek saya. Ibunya nenek. Adiknya nenek yang laki-laki, yang perempuan sudah rata dengan tanah,” katanya. Halim sangat menyayangkan kondisi ini. Komplek pemakaman Tionghoa bukan hanya memiliki makna untuk keturunannya. Tapi juga punya sejarah tersendiri. Menjadi bagian dalam keberadaan masyarakat tionghoa di Cirebon. Tentu saja, harapan kepada pemerintah untuk bisa mempertahankan pemakaman tersebut. “Semoga keberadaannya bisa dirawat lebih baik saja,\" tambahnya. HILANGNYA JEJAK PENDIRI RSD GUNUNG JATI Pada zamannya, Tan Tjin Kie menjadi penghubung masyarakat Tionghoa Kota Cirebon dengan pemerintah Hindia Belanda. Sang Mayor juga banyak berjasa dalam pembangunan sarana prasarana di Kota Cirebon. Di antaranya, membangun Rumah Sakit Orange yang sekarang menjadi Rumah Sakit Daerah (RSD) Gunung Jati, mendirikan sekolah Tionghoa, dan Vihara Winaon. Orang terkaya di Cirebon pada masanya tersebut, memiliki puluhan rumah mewah dan ribuan hektare tanah serta pabrik gula. Salah satu rumahnya yang paling mewah berada di Desa Luwunggajah, kini masuk Kecamatan Ciledug, yang diberi nama Binarong. Sang mayor memiliki beberapa pesanggrahan bergaya hindia abad ke-19 di seantero Cirebon seperti Roemah Pesisir, Roemah Tambak, dan Roemah Kalitandjoeng. Namun, Gedong Binarong dengan pilar-pilar anggun merupakan istana termegahnya yang bertempat di Ciledug, Kabupaten Cirebon bagian timur. Dia juga memiliki Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya. Makam Tan Tjin Ki diketemukan sekitar permukiman warga di kawasan Dukuh Semar, Kota Cirebon -tak jauh dari Terminal Harjamukti- dan kini tertutup oleh halaman rumah warga. Nisannya pun ditemukan menjadi pijakan melintas gorong-gorong. Namun, jejak-jejak makamnya masih terlihat jelas. Mulai bata berukuran besar yang panjang, motif bunga khas Tiongkok, hingga guratan-guratan lain di sepanjang bongkahan yang tersisa. Menurut sejumlah sumber, Tan Tjin Kie wafat pada 13 Februari 1919 dalam usia 66 tahun. Kenangan tentang orang Tionghoa terkaya di Cirebon pada awal abad ke-20 itu, sirna sudah. Makamnya menjelma menjadi permukiman warga. Bongkahan nisannya menjadi anak tangga menuju pintu sang empunya rumah. (myg)

Tags :
Kategori :

Terkait