24 Ha Galian C Masih Aktif, Lahan Milik Pribadi, Pemkot Sulit Mengawasi

Rabu 08-05-2019,08:30 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

CIREBON–Keputusan Walikota (Kepwak) 16/2004 tekait penutupan aktivitas galian tipe c, bisa dikata tak bertaring. Selama berjalan, tak ada pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran. Pasalnya, aktivitas penambangan pasir berjalan di atas lahan milik pribadi.  Sebagian besar menggunakan cara konvensional. Dari inventarisasi lahan yang dilakukan, ditemukan 491.273 meter persegi lahan bekas penambangan pasir. Dari jumlah itu, 245.785 meter persegi dalam status aktif. Dengan total pengangkutan pasir 170 ritasi setiap harinya. Sedikitnya, 193 warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas galian. Rekapitulasi data kepemilikan lahan eks galian c, dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) juga mencatat,  aktivitas penambangan berada di RW 10 Kedung Jumbleng dan RW 08 Kopi Luhur. Sementara di RW 09 Cibogo, RW 07 Sumurwuni, dan RW 04 Surapandan diketahui sudah tidak aktif. Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup DLH H Jajang mengatakan, dari rekapitulasi diketahui bahwa mayoritas aktivitas galian dilakukan penggali manual. \"Satu lahan itu paling penggalinya dua sampai lima orang. Tapi kalau ditotal ya banyak juga. Lahannya itu kan banyak,\" katanya kepada Radar Cirebon. Penambangan manual ini, juga memendam masalah konflik penggunaan lahan. Ada yang aktivitasnya diketahui oleh pemilik. Ada pula yang dilakukan secara ilegal, karena pemilik lahannya di luar kota. DLH, sejauh ini kesulitan mengetahui volume galian per hari. Hitungannya hanya berdasar ritasi atau pengangkutan pasir menggunakan truk. Untuk yang manual, memang tidak secepat penambangan menggunakan alat berat. Dalam satu hari, hanya 1-2 kali pengangkutan saja. “Namanya manual, mereka gali pakai cangkul. Untuk satu truk saja butuh waktu lumayan lama,” katanya. Yang jelas, hasil galian ini nantinya dijual untuk material bangunan. Tidak diketahui siapa yang menjadi penampungnya. Atau ke mana pasir hasil tambang ini diperjualbelikan. Galian manual ini bukan tanpa risiko. Juga sulit dilakukan pengawasan. Pekerjanya berpindah-pindah. Mereka mencari lokasi yang mudah untuk menggali pasir. Juga lokasi yang mudah untuk dijangkau oleh truk pengangkut. Seringkali material yang tidak terangkut ditinggalkan begitu saja. Juga lahan yang sudah digali, kerap ditinggalkan tanpa ada perbaikan. Jajang menuturkan, penambangan manual membuat lahan eks galian c bertambah rusak. Juga menjadi lahan kritis dan bisa memicu terjadinya longsoran tebing. Dari beberapa kali pantauan Radar Cirebon, aktivitas galian manual dilakukan dengan penuh risiko. Pekerja biasanya mengambil pasir di bagian bawah tebing. Karena pengambilan terus menerus, bagian bawah tebing sampai berlubang. Atas dasar ini, DLH menerbitkan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL). Jajang berdalih, dengan adanya surat ini, aktivitas galian lebih terencana, dampak lingkungan bisa diminimalisasi dan mempunyai tujuan yang jelas. Kemudian DLH lebih mudah mengawasinya. Data rekap yang dibuat DLH, rencananya akan dipakai sebagai sumber rujukan dan acuan program untuk pengembangan wilayah eks galian c. Namun dalam kenyataannya, aktivitas revitalisasi ini masih diragukan hasilnya. Mengingat pemkot sendiri memiliki seabrek rencana untuk kawasan selatan. Termasuk wisata eks galian c yang digadang-gadang meniru Merapi Off Road ataupun Cikole, Lembang. Perencanaan yang dibuat pemkot juga mencakup kawasan agrobisnis, pembuatan embung dan penggunaan lahan eks galian untuk pertanian. Rencana-rencana ini, tentu akan sulit diwujudkan karena faktor kepemilihan lahan. Dari Rekap DLH, terdapat 137 pemilik lahan eks galian. Luasannya bermacam-macam. Dari 200 meter persegi hingga puluhan hektare. Di samping itu, masyarakat setempat mengeluhkan aktivitas galian yang berdampak pada permukiman mereka. Seperti yang diungkapkan Syarifudin (52). Warga Kampung Cibogo ini merasakan dampak negatif bertahun-tahun. Aktivitas pengangkutan pasir membuat jalanan berdebu. “Harusnya truk-truk itu ditutup  rapat ya. Atau disemprot air dulu,” katanya. Syarifudin juga mengeluhkan jalanan yang rentan rusak karena aktivitas pengangkutan truk pasir. Warga lainnya, Aminudin (40) menyebutkan, tidak setuju dengan penambangan pasir yang dilakukan perusahaan. Sebab, bisa dipastikan warga setempat tidak akan mendapatkan manfaatnya. (gus)

Tags :
Kategori :

Terkait