Ridwan Kamil Harap Ada Evaluasi Sistem Pemilu 2019

Senin 24-06-2019,12:00 WIB
Reporter : Dedi Haryadi
Editor : Dedi Haryadi

BANDUNG–Sistem demokrasi yang dijalani oleh bangsa Indonesia merupakan sebuah pilihan, yang sudah disepakati bersama. “Nah, tugas kita sekarang adalah memperbaiki dan menyempurnakan sebuah pilihan ini. Atau istilah Sunda-nya, wayahna lah,” kata Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil saat pidato dengan ratusan pengurus KPU kabupaten/kota se-Jawa Barat dalam acara silaturahim pasca Idul Fitri 1440 H, belum lama ini. Menurutnya, dalam teori keilmuan, tidak ada satupun bentuk demokrasi yang diterapkan secara seragam oleh seluruh umat manusia. Artinya, demokrasi yang ada di Indonesia adalah yang sudah sesuai dengan budaya Indonesia. Emil, sapaan Ridwan Kamil, mencontohkan, Amerika Serikat hampir mirip dengan Indonesia. Yakni, pemimpin dipilih secara langsung. Bedanya, di sana harus diawali dengan konvensi di masing-masing partai, dan demokrasinya memilih electoral vote. “Karena pelaksanaan sistem demokrasinya sudah ratusan tahun, sehingga mereka lebih matang dan bersepakat partainya cuma dua. Yakni Partai Demokrat dan Republik sebagai saluran untuk menggapai kekuasaan,” tuturnya. Begitu juga dengan China yang memilih memakai ideologi politik komunis yang hanya ada satu partai politik. Sehingga, mereka tidak mengenal pemilu, walau belakangan komunisme yang mereka terapkan setengah-setengah karena sistem ekonominya kapitalis. Hal yang berbeda juga dipilih oleh Kerajaan Inggris dan Arab Saudi. Kedua negara ini memilih sistem kerajaan sebagai cara dalam menentukan pemimpinnya. Bedanya, Arab Saudi menerapkan secara penuh sistem kerajaannya. Sedangkan Inggris, raja hanya sebagai kepala Negara. Kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri yang dipilih oleh parlemen hasil pemilu. “Jadi, sebenarnya model untuk menghasilkan sebuah kepemimpinan itu banyak, tapi kita memilih ini. Tinggal kita melihat model yang kita pilih ini banyak manfaatnya atau mudhorot-nya. Kalau ada mudhorot-nya, mari kita perbaiki,” ucapnya. Oleh sebab itu, kehadiran KPU dalam sistem pemerintahan negara Indonesia merupakan konsekuensi dari demokrasi. Sedikit mengevaluasi hasil pelaksanaan pemilihan presiden dan anggota legislatif tahun 2019, Emil mengungkapkan bahwa pemilu kali ini adalah yang merepotkan dan mahal. Apalagi, sampai ada korban jiwa dari rekan-rekan KPPS. Maka, setiap keputusan KPU harus dikaji, khususnya soal teknis pelaksanaan pemilu dari tahapan awal hingga akhir. “Satu pemilihan saja itu riweuh, apalagi secara bersamaan memilih caleg DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR-RI dan DPD-RI. Jadi, secara fisik tenaga dan pikiran anggota KPPS itu dikali lima, ditambah jadwalnya tidak boleh molor. Ini yang tidak dihitung. Jadi, saya sangat menduga, para korban itu kelelahan,” ungkapnya. Ke depan, lanjut emil, harus ada evaluasi. Kalau pilihannya tetap serentak, dia memberi masukan agar waktu perhitungannya diberi kelonggaran, tidak dalam sehari selesai. “Masukan saya, tolong waktu perhitungannya diberi jeda, karena  di India pun demikian. Mereka tidak satu hari beres,” imbuhnya. Dia berpesan kepada pengurus KPU di delapan kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni Pangandaran, Kota Depok, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Indramayu untuk memperbaiki sistem yang ada. Sehingga, pelaksanaan pilkada berjalan sempurna, aman dan kondusif. Bahkan, harus menghasilkan pemimpin-pemimpin yang mau bekerja untuk membangun daerah. Bukan untuk pemimpin yang hanya mencari status. “Negara lain sudah melangkah ke 5.0. Nah, kita harus 4.0, makanya butuh pemimpin yang mau bekerja dan berinovasi. KPU harus mampu mengasilkan pemimpin yang mau bekerja dan berinovasi,” pungkasnya. (jun)

Tags :
Kategori :

Terkait