HUT Bhayangkara, YLBHI Ungkap 115 Kasus Pelanggaran Diduga Dilakukan Polisi

Senin 01-07-2019,17:06 WIB
Reporter : Dian Arief Setiawan
Editor : Dian Arief Setiawan

JAKARTA-Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, ada 115 kasus pelanggaran yang diduga dilakukan pihak kepolisian sepanjang 2016 hingga 2019. Sebanyak 1.120 korban dan 10 komunitas menjadi korban. Ketua YLBHI bidang advokasi Muhamad Isnur menyatakan, temuan tersebut berasal dari pengaduan dan permohonan bantuan hukum yang masuk ke YLBHI dan 15 LBH di seluruh Indonesia. \"Berdasarkan 115 kasus tersebut ditemui 9 masalah. Maka dari itu, dari penemuan ini perlu adanya reformasi kepolisian, baik dalam fungsi penegakan hukum maupun fungsi lainnya seperti dalam menjaga ketertiban,\" ujar Isnur dalam konferensi persnya di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Senin (1/7/2019). Catatan ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Ke-73 Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli. Isnur mengatakan, 9 masalah tersebut meliputi kriminalisasi dan minimnya akuntabilitas penentuan tersangka, penundaan proses (undue delay), mengejar pengakuan tersangka, penangkapan sewenang-wenang. Kemudian permasalahan akuntabilitas penahanan dan penahanan berkepanjangan, hak penasihat hukum yang dibatasi, penyiksaan dan impunitasnya, dan pembunuhan di luar proses hukum. \"Sembilan masalah tersebut disebabkan diberikannya kewenangan mutlak penahanan kepada kepolisian tanpa adanya proses hukum di luar institusi tersebut,\" ujar Isnur. Penyebab lainnya, menurut dia, Indonesia belum mengenal Habes Corpus yang artinya adanya pihak hakim untuk menilai sahnya penahanan tersangka. Kemudian, masih ada proses penyidikan yang melibatkan pungutan liar atau pemerasan, baik kepada tersangka maupun korban tindak pidana yang melaporkan kasusnya. \"Lalu ada juga impunitas aparat juga masih terjadi di mana sulitnya membawa anggota Polri ke pengadilan yang melakukan tindak pidana dalam melaksanakan tugasnya. Sebagian besar laporan tidak ditindaklanjuti dan jika pun diproses hanya dengan proses disiplin,\" kata dia. Isnur juga menyayangkan bahwa hingga kini belum ada pasal pemidanaan mengenai penyiksaan dan pemulihan bagi masyarakat yang menjadi korban dari pelanggaran yang dilakukan kepolisian. Untuk itu, kata dia, Kepolisian RI harus memperbaiki kultur dan penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan tindak pidana saat bertugas. Selain itu,  Isnur juga memaparkan tujuh catatan itu didapat berdasarkan 115 kasus pengaduan dan pemohonan bantuan hukum yang masuk ke LBH dan YLBHI sepanjang 2016-2019 atau sejak Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjabat, terdapat 1.120 orang dan 10 komunitas korban. Catatan itu menegaskan institusi Polri masih jauh dari mandat UU nomor 2 tahun 2002 sebagai lembaga pelindung dan pengayom masyarakat.

\"Berdasarkan kasus-kasus tersebut ditemui sejumlah masalah yaitu kriminalisasi dan minimnya akuntabilitas penentuan tersangka, penundaan proses (undue delay), mengejar pengakuan tersangka, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan sewenang-wenang,\" kata Isnur di Kantor YLBHI, Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (1/7).

\"Kemudian permasalahan akuntabilitas penahanan dan penahanan berkepanjangan, hak penasihat hukum yang dibatasi, penyiksaan dan impunitasnya hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing),\" lanjut Isnur.

Tujuh permasalahan itu ditemukan di seluruh lini mulai dari tingkat Polsek hingga Mabes Polri. Namun berdasarkan laporan yang masuk, paling banyak pelanggaran ditemukan di tingkat Polsek.

Wakil Ketua YLBHI bidang advokasi Era Purnamasari menyayangkan Polri yang seolah tutup mata dengan segala jenis pelanggaran yang ada di internalnya. Kemudian yang semakin membuat ia prihatin, pelanggaran itu banyak ditemukan di ruang lingkup masyarakat kecil yang berurusan dengan polisi.

\"Sebagian besar banyak menimpa ke masyarakat miskin, kasus kecil, Mabes tidak banyak bersentuhan kenapa? Karena banyak kasus yang terjadi di Polsek. Meski begitu bukan berarti Mabes bebas, banyak juga ditemukan penyiksaan tetapi Mabes tutup mata,\" kata Era.

Isnur menjelaskan, setidaknya ada lima faktor yang menyebabkan banyak ditemukan pelanggaran dalam internal Polri. Pertama mulai diberikannya kewenangan mutlak penahanan kepada kepolisian tanpa adanya proses hukum di luar institusi tersebut. Kedua Indonesia yang belum mengenal Habeas Corpus yaitu adanya pihak lain (hakim) untuk menilai sahnya penahanan.

Ketiga, proses penyidikan yang melibatkan pungli atau pemerasan baik kepada tersangka maupun korban tindak pidana yang melaporkan kasusnya. Keempat impunitas aparat, sulit membawa anggota Polri ke pengadilan yang melakukan tindak pidana dalam melaksanakan tugasnya. Sebagian besar laporan tidak ditindaklanjuti, jika diproses hanya dengan proses disiplin.

\"Kendali penanganan perkara pidana yang menurut UU hanya boleh berujung pada pengadilan minim kewenangan dan pengawasan oleh kejaksaan. Terakhir, kosongnya Pasal pemidanaan penyiksaan, dan pemulihan,\" ucap Isnur.

Atas catatan itu, YLBHI berharap agar Polri segera mereformasi diri. Agar catatan buruk dalam internal Polri ini tidak terus dibiarkan hingga pada akhirnya menjadi sebuah budaya.

\"Perlu segera adanya reformasi kepolisian baik di dalam fungsi penegakan hukum dan fungsi lainnya seperti dalam menjaga ketertiban. Termasuk di dalamnya perbaikan kultur dan penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan tindak pidana di dalam menjalankan tugasnya,\" tutur Isnur.

Hingga berita ini ditayangkan, belum ada keterangan dari Mabes Polri terkait kritik yang disampaikan YLBHI. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait