Beda Indonesia dan Malaysia Antisipasi Masuknya Virus Corona

Senin 17-02-2020,07:30 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Karena tidak ada kejelasan, akhirnya mengambil inisiatif, jalan keluar masing-masing. Sebagian sepakat melewatkan pertanyaan tersebut. Tidak dijawab. Kalau saya, jawabnya kira-kira. Yang seperti saya ternyata banyak. Yang lainnya juga asal dijawab. Intinya, tidak dapat jawaban pasti. Bahkan yang panas badannya di atas normal pun, tidak akan mengaku.

Para petugas pun kelihatannya menerima cara masing-masing itu. Daripada debat kusir. Daripada dimarahi pendatang. “Bapak ibu wajib mengisi pertanyaan ini. Ini tugas negara. Pokoknya harus diisi. Sebelum diisi bapak ibu tidak bisa melanjutkan perjalanan,” ancam petugas tanpa masker itu. Berkali-kali diulangi. “Diisi saja. Biar cepat jalan,” ajak seseorang dengan suara lantang.

Adu mulut petugas-pendatang pun kembali pecah. Pemicunya jumlah pena untuk mengisi formulir itu  terbatas. Hanya beberapa biji saja. Tak lebih dari 5 alat tulis. Sementara pendatang terus mengular. Sebagian besar tidak membawa pena. “Ngisi pakai apa ini. Gak ada pena,” celetuk seorang pendatang dengan suara lantang. Aneh memang disuruh mengisi formulir pertanyaan tapi alat tulisnya tak memadai.

Situasi tambah krodit. Yang sudah dapat pena pun kerepotan. Ternyata tidak ada meja atau alas untuk menulisnya. Dengan terpaksa ada yang menulis di atas tas. Ada yang ndlosor di lantai. Ada pula yang di punggung kawannya. Seru, lucu, emosi, mengumpat, cemberut, dan muka-muka tidak menyenangkan bercampur aduk.

Saya pun bertanya ke petugas ketika minta jatah alat tulis. Mengapa tidak diberikan ketika masih di pesawat. Bareng dengan isian dari pihak Bea Cukai. Tapi tidak ada jawaban yang memuaskan. Malah petugas itu menyalahkan pihak maskapai. Kurang tanggap, kurang koordinasi dan sebagainya. Petugas berompi tersebut pun malah menghindar. Menjauhi Saya.

Setelah saya isi sebisanya, saya pun boleh meninggalkan kerumunan orang berebut pena dan tempat nulis itu. Saya diberi satu potongan untuk dibawa pulang. Sepotong lagi diambil petugas. Sambil saya lihati terus, ternyata tulisan saya ruwet. Sulit dibaca. Banyak yang salah kolom. Banyak pula yang kosong.

Hampir pasti petugas tidak bisa membaca apa yang saya isi. Saya yang menulisnya saja susah. Tapi maklum karena memang tidak nyaman mengisinya. Diburu-buru. Berebut alat tulis. Alas tulis seadanya.

Juga yang berbeda dengan di Malaysia adalah pakaian yang dikenakan petugas. Pakaian petugas di Malaysia dengan standar keamanan dan kenyaman begitu tinggi. Di Soetta? Maaf. Sangat berbeda. Alakadarnya. Para petugas berpakaian biasa. Pakai rompi. Kembaran warna rompinya. Semua ada masker. Ada yang dipakai. Ada beberapa yang hanya dikalungkan di leher. Begitu ceroboh. Seperti tidak takut virus mematikan yang lagi mewabah itu.

2

Padahal para petugas ini garda terdepan pencegahan virus. Seharusnya diproteksi dan harus disiplin. Karena mereka melayani ribuan orang dari berbagai negara. Banyak pihak meragukan kesiapan Indonesia mengantisipasi masuknya virus Corona.

Gambaran di Bandara Soetta itu seolah meneguhkan keraguan itu. Pintu masuk terbesar orang luar ke Indonesia itu. Ternyata model antisipasinya hanya seperti itu. Mudah-mudahan keraguan saya ini salah. Mungkin ada alat pendekteksi virus yang canggih diletakkan tersembunyi. Mungkin.

Tapi Malaysia sudah benar-benar terlihat upayanya. Terlihat kerja nyatanya. Walau hanya dengan memeriksa suhu badan pendatang. Indonesia? Kerjanya yang tampak ribet, seperti pengalaman saya itu. Antisipasinya ternyata baru administrasi. Apakah hal seperti itu sudah yang terbaik? Sedih. (*)

Tags :
Kategori :

Terkait