Urban Farming, Solusi Bisnis di Lahan Terbatas

Senin 02-03-2020,07:30 WIB
Reporter : Agus Rahmat
Editor : Agus Rahmat

CIREBON – Urban Farming tengah menjadi tren anak muda melakoni bisnis. Lahan terbatas bukan alasan untuk tidak mampu bersaing. Bukan sembarangan, pasarnya merambah hingga retail modern dengan berbagai produk yang telah dihasilkan.

Chiska Nova Harsela tengah fokus mengembangkan bisnis sayuran hidroponik yang telah 1 tahun ditekuninya. Perempuan 26 tahun itu, berhasil menembus retail modern kenamaan di Kota Cirebon untuk membantu memasarkan produknya dengan nama Green Vest tersebut.

Bisnis dari Sarjana Teknik Pertanian Universitas Negeri Jenderal Soedirman itu, satu-satunya di Cirebon yang berhasil teken Memorandum of Understanding (MoU) dengan pasar moderen, seperti Hypermart, Foodmart, Transmart dan Yogya. Dan akan terus melakukan kerja sama, dengan beberapa retail lain di dalam kota dan luar kota.

Chiska menyebut kebun tanaman hidroponiknya dengan nama: Green House. Berukuran 10x10 meter dan berlokasi di Jl Simaja Selatan, Kecamatan Kesambi, Kota Cirebon.

Beragam produk sayuran yang telah di hasilkan. Diantaranya caisim, selada, bayam hijau, bayam merah, pakcoy, dan kangkung. Selain itu, perempuan satu orang anak itu juga membuat produk smooties atau minuman kemasan dan menyehatkan dari buah dan sayur hidroponik yang di tanamnya. “Sistemnya pre order, biar fresh. Kalau buahnya si beli di pasar,” tuturnya.

Banyaknya permintaan dari retail dan rumah tangga, membuat alumni SMAN 1 Dukupuntang itu harus melakukan manajemen tanam dan melakukan panen setiap hari. “Green Vest adalah satu-satunya yang tembus retail modern, karena kami berbadan hukum,” kata Chiska.

Green Vest di bawah naungan CV Syntax Corporation Indonesia. Selain menghasilkan produk, Green Vest telah memiliki desa binaan dan berencana mengadakan pelatihan hidroponik. Siapapun boleh mengikuti, dengan biaya Rp20 ribu untuk satu kali pertemuan.

2

“Kita datang ke rumah untuk pelatihan, dan uang Rp20 ribu itu sudah dengan paket starter kit atau fasilitas pelatihannya. Jika mereka sudah menghasilkan produknya sendiri dan menjadi rekanan, sayurannya akan kita beli,” pungkasnya.

Melalui Green Vest, Chiska ingin membantu pemerintah dalam mensuplai ketahanan pangan khususnya di Kota Cirebon. Di Green House, Chiska juga mendirikan sebuah kantor. Di mana di kantor itu, produksi dilakukan hingga pemasaran ke media sosial. Dalam menjalani bisnis di Green House, ia dibantu rekan-rekannya, yakni Medika Olga Laksana (19), Royyan Hafizi (19), dan Lukman Hakim (25).

Ada enam kolam yang digunakan untuk berkebun dan mempunyai lebar 4x2 meter. Satu kolamnya dapat mencukupi sekitar 300 lubang tanam. Bercocok tanam menggunakan kolam disebut juga dengan Floating Hidroponik Sistem (FHS). Selain kolam, Chiska juga menggunakan media pipa atau Nutrient Film Teknik (NFT).

Tanaman hidroponik memiliki masa panen yang lebih cepat dibanding dengan tanaman konvensional. Yakni 30 hingga 40 hari. Sedangkan konvensional, membutuhkan 2 hingga 3 bulan. Perawatannya tergolong mudah. Perawatan berkelanjutan dengan memberi nutrisi satu kali dalam satu minggu.

“Kemudian pengecekan EC (electrolyte conductivity, red) dan PH. Setiap harinya, dilakukan dua kali penyiraman. Selain itu, adalah pemenuhan kebutuhan nutrisi yang dilakukan satu kali dalam setiap masa panen,” papar Chiska.

Harga sayuran hidroponik yang dibandrol lebih tinggi, selaras dengan kualitas dan kelebihan yang didapatkan. Harga retail, dipatok Rp13.000 hingga Rp20.000 per 200 gramnya.

Selain sehat, kata Chiska, tanaman hidroponik jarang terjangkit hama karena kondisi lahan yang terlindung green house. “Kemudian sayurannya bersih karena nggak makai tanah. Tanaman yang dihasilkan juga memiliki rasa yang lebih gurih dan manis, serta memiliki masa kedaluarsa yang lebih panjang hingga satu minggu. Sedangkan konvensional 2 sampai 3 hari aja,” kata Chiska.

SAWI PAGODA

Tags :
Kategori :

Terkait