Dendam Alumni

Kamis 12-03-2020,05:05 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

MANA yang lebih besar: Al Amien Prenduan, Sumenep atau Daar el Qolam Gintung, Tangerang? Dua-duanya dibangun oleh alumni Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Dua-duanya fastabikul khairat --sampai saya tidak bisa menilai mana yang lebih besar.

Begitu banyak pesantren yang dibangun oleh alumni Gontor. Mengapa bisa begitu? Itu lantaran kebijakan pimpinan Gontor sejak dulu: ijazah tidak segera diberikan. Biar pun mereka sudah lulus sekolah 6 tahun di Gontor.

Ada syarat untuk bisa mengambil ijazah itu: mereka harus sudah melakukan pengabdian di masyarakat selama dua tahun. Ilmu itu harus diamalkan. Pengetahuan yang tidak dipraktikkan ibarat pohon yang meski berdaun tapi tidak berbuah.

Dengan kebijakan itu alumni yang mendirikan pesantren tidak akan sulit mendapatkan guru. Mereka bisa minta ke Gontor. Untuk dikirimi guru-guru pengabdi. Sampai sekolah itu bisa mandiri. Itu pula yang membuat Ahmad Rifai Arif, alumni Gontor, berani mendirikan madrasah di kampungnya. Yakni kampung Gintung, Tangerang. Dekat perbatasan Banten.

Nama pesantren baru itu Daar el Qolam (artinya: Kampung Pena). Lebih dikenal sebagai Pondok Gintung daripada nama Arabnya. Ayah Ahmad Rifai memiliki tanah sawah 2 hektare di Gintung. Sang ayah memang petani --yang kalau malam menjadi guru ngaji Alquran. Sang ayah merasa bangga ketika anaknya lulus dari Gontor.

Apalagi ingin membangun sekolah di sawahnya. Ahmad Rifai memiliki adik bernama Ahmad Sahiduddin. Si adik tidak ingin ikut jejak kakaknya sekolah di Gontor. Sahiduddin lebih ingin jadi insinyur. Tapi ayahnya minta Sahiduddin sekolah di Gintung saja. Di sekolah yang didirikan kakaknya itu.

Jadilah Sahiduddin murid pertama sekolah kakaknya. Yang kurikulum dan sistem asramanya dibuat persis seperti di Gontor. Termasuk keharusan menguasai bahasa Arab dan Inggris. Calon insinyur gagal itu pun akhirnya menguasai bahasa Arab dan Inggris. Sang adik rela tidak jadi insinyur untuk memenuhi keinginan ayahnya: ikut jadi kiai seperti kakaknya.

2

“Akhirnya saya ikhlas tidak jadi insinyur. Ikhlas itu perlu dipaksa. Inilah ikhlas dalam keterpaksaan,” katanya. Sang ayah seperti sudah tahu kalau anaknya yang sekolah di Gontor itu tidak akan berumur panjang. Maka ketika sang kakak meninggal di usia 50 tahun, sang adik sudah bisa meneruskan kepemimpinan di Gintung.

Termasuk meneruskan kebijakan sang kakak: santri perempuan dan laki-laki dalam satu kelas yang sama. Inilah satu-satunya pondok alumni Gontor yang begitu. Apakah Gontor membolehkan?

“Kakak saya dulu minta izin ke Gontor. Diizinkan,” ujar Sahiduddin. “Syaratnya kakak saya harus lebih dulu menikah. Agar dalam memperlakukan siswa perempuan bisa adil,” tambahnya. Pertimbangan sang kakak, di seluruh Banten, sejak zaman dulu, santri perempuan dan laki-laki sudah di satu kelas.

Sahiduddin adalah contoh “sukses juga bisa diraih di bidang yang bukan impiannya”. Sejak kecil hati Sahiduddin sudah terpaku di bidang teknik. Waktu kelas 3 SD Sahiduddin sudah mampu membuat mobil. Dalam hatinya itulah mobil terbaik di dunia. Terbuat dari kayu gabus.

Setiap berangkat sekolah buku-bukunya dinaikkan mobil itu. Sebuah tali diikatkan di bagian depannya. Untuk ditarik sejauh 1 Km. Menuju sekolah. Teman-temannya pun menitipkan buku mereka di mobilnya. Menambah kebanggaan hatinya. “Mobil saya itu truk. Ada bak di belakangnya. Buku ditaruh di bak itu,” kata Sahiduddin mengenang masa kecilnya. Di tangan sang adik Pondok Gintung terus maju. Sekarang ini luasnya mencapai 40 hektare.

Saya mampir ke Pondok Gintung Rabu lalu. Saya ingin tahu seperti apa wujudnya di siang hari. Tujuh tahun lalu saya sudah ke sana. Tapi menjelang subuh. Setelah salat subuh saya meneruskan perjalanan. Jadi, kalau ditanya Pondok Gintung seperti apa, jawaban saya: gelap sekali. Ternyata siang harinya sangat indah --untuk ukuran pondok. Luas sekali. Besar sekali.

Deretan bangunan bertingkatnya begitu banyak. Ditata secara apik. Ruang terbukanya luas-luas. Pepohonannya begitu rindang. Sosok sang Kiai Sahiduddin ini sama sekali seperti bukan kiai. Lebih mirip seorang petani umumnya di Gintung. Bajunya, celananya, sandalnya sangat pedesaan.

Sang kiai juga tidak mengenakan kopiah atau surban. Rambutnya dipotong pendek dengan uban di sana-sini. Saya pun minta diantar keliling pondok. Tidak mungkin berjalan kaki. Luas sekali. “Kita pakai mobil,” ujarnya. Ia panggil pak sopir supaya mengambil mobil. Setelah mobilnya datang si sopir diminta turun.

Tags :
Kategori :

Terkait