Idealitas Intelektual dalam Ruang Publik Pilkada

Senin 16-03-2020,22:15 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Oleh: Dr. Idham Holik

SEBAGAI bagian yang sangat penting dari sistem politik demokrasi, Pemilihan (Pilkada) menyaratkan adanya ruang publik (public sphere). Pilkada harus diisi dengan beragam wacana ideal tentang politik demokrasi, kepemimpinan politik, dan arah pembangunan daerah. Karena Pilkada adalah momentum strategis untuk mendesain masa depan daerah dalam konteks idealitasnya (in its context of ideality). Ruang publik dapat memfasilitasi itu semua.

Mengapa demikian, karena bagi Jürgen Habermas (1991), ruang publik dapat memberikan kesempatan kepada rakyat (baca: publik/pemilih) untuk melakukan komunikasi politik diskursif. Ruang publik sebagai antitesa dari komunikasi atau propaganda politik elektoral yang sering kali menggunakan pendekatan transmisional (satu arah dan tidak ada dialog).

Di ruang publik, pemilih diaktivasi atau distimulasi untuk terlibat aktif dalam diskusi. Mereka dapat berwacana politik secara rasional dan bebas dari persekusi politik pihak siapa pun. Mereka menjadi komunikator (communicator) atau subjek politik, bukan hanya komunikate (communicatee) atau objek politik saja. Kedaulatan pemilih (voters’ sovereignty) bisa teraktualisasi di ruang publik tersebut.

Sebagai ruang wacana, ruang publik harus menjadi pasar gagasan (market of ideas), di mana gagasan-gagasan politik dikontestasikan. Isu-isu politik didiskusikan agar terbangun pemahaman politik pemilih yang benar. Pemilih manjadi tercerahkan, sehingga mereka tidak terjebak dalam lingkaran setan (devil’s circle) hoaks, misinformasi, dan disinformasi.

Dengan demikian, ruang publik dapat menjadi mekanisme preventif bagi potensi terulangnya praktik politik pasca kebenaran (post-truth politics) di Pilkada Serentak 2020 ini. Di ruang publik, pesan propaganda semburan kebohongan (“firehose of falsehood” propaganda) diverifikasi melalui diskusi rasional-kritis. Jadi, ruang publik bisa menjadi mekanisme proteksi pemilih dari serangan pesan propaganda destruktif. Ruang publik menyehatkan nalar politik pemilih.

Intelektual Harus Aktif di Ruang Publik

2

Ruang publik juga dapat menjadi lokus issue engagement. Kata engagement tidak hanya dimaknai sebagai keterlibatan, tetapi juga dapat dimaknai sebagai dialogue (Simon 2002). Jadi issue engagement dapat pahami sebagai dialog tentang isu.

Pelaku issue engagement tidak sekadar mengakses isu-isu politik strategis –melalui news engagement, tetapi juga mendialogkannya dengan yang lain di ruang publik. Mekanisme tersebut menjadi penting untuk mengonfirmasi dan memverifikasi kebenaran atau keakuratan serta arah atau maksud dari suatu isu politik tertentu. Jadi, ruang publik dapat menjadi bagian dari solusi peningkatkan literasi politik pemilih.

Dalam konteks Pilkada, issue engagement terjadi di mana komunikator politik seperti kandidat, analis politik, aktivis, pemilih, dan lain sebagainya dapat mengintroduksi isu-isu politik dan mendiskusikannya. Dengan framing dan fungsi agenda-setting serta idealismenya, pers sebagai komunikator politik dapat memberitakan isu-isu politik krusial selama masa kontestasi elektoral Pilkada. Tidak lain agar kandidat, pemilih, analis politik, aktivis dan pemangku kepentingan Pilkada (the electoral stakeholders) lainnya dapat terlibat dalam perdebatan diskusi tersebut.

Mengapa issue engagement penting di ruang publik? Berdasarkan temuan riset, Thomas M. Meyer dan Markus Wagner (2015) mendapati bahwa issue engagement memiliki implikasi penting bagi pemahaman kualitas demokratik kampanye pemilu. Dengan issue engagement, pemilih dapat mengevaluasi isu atau wacana politik, bahkan program yang ditawarkan kandidat. Issue engagement dapat menghadirkan pilihan politik terinformasikan dengan baik (the well-informed choices).

Kini issue engagement pemilih semakin terfasilitasi dengan teknologi mutakhir intenet (Web 2.0 dan Web 3.0) yang telah berhasil mentransformasikan ruang publik konvensional menjadi ruang publik digital, sehingga kini ada istilah e-democracy. Dengan ruang publik tersebut, lanskap komunikasi poltik tidak sekadar menjadi lebih interaktif tanpa dibatasi ruang dan waktu, tetapi juga berbasiskan informasi politik yang melimpah (abundantly informed). Internet telah mengubah cara publik berdemokrasi. 

Pada 30 Januari 2020, We are Social & Hootsuite merilis data Digital 2020. Berdasarkan data tersebut, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia berada di ranking ketiga dunia setelah India dan China. Indonesia mengalami pertumbuhan pengguna internet tahunan lebih dari 17%.

Tidak hanya itu saja, rata-rata 7 jam 59 menit dalam sehari pengguna internet Indonesia (yang berusia 16-64 tahun) meluangkan waktunya untuk berinternet. Ini di atas rata-rata dunia yaitu 6 jam 43 detik. Dalam perspektif optimisme digital, data tersebut mendeskripsikan bahwa internet dapat menghadirkan peluang besar peningkatan kualitas demokrasi melalui ruang publik digital.

Sebagai agent of change (agen perubahan) dan moral agent (agen moral), para intelektual yang tinggal di daerah memiliki peran strategis untuk terlibat aktif di ruang publik digital tersebut. Secara imperatif, intelektual dituntut untuk dapat berkontribusi dalam mewujudkan optimisme digital tersebut di tengah Indonesia sedang terus menguatkan konsolidasi demokrasi.

Tags :
Kategori :

Terkait