Idealitas Intelektual dalam Ruang Publik Pilkada

Senin 16-03-2020,22:15 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Kontribusi mereka dapat dimulai dengan presensi dan keaktifannya di ruang publik digital. Begitu juga hal yang sama di ruang publik konvensional. Ruang publik digital lebih efektif bagi intelektual mengemukakan gagasannya untuk diwacanakan secara massif. Karena ruang publik tersebut tidak dibatasi ruang dan waktu serta didukung infrastruktur komunikasi internet yang semakin baik. Dengan kemampuan komunikasi diskursif yang persuasif, intelektual bisa mengobarkan wacana politik rasional-kritis yang mencerahkan bagi pemilih.

Di ruang publik, tidak sekadar memersuasi pemilih untuk berpartisipasi aktif di semua tahapan elektoral, tetapi intelektual dapat menstimulasi pemilih untuk berani bicara untuk mengekspresikan harapan politiknya atas kepemimpinan politik dan pemerintah daerah periode mendatang. Selain sebagai stimulator, intelektual harus bisa memosisikan diri sebagai komunikator politik kepentingan pemilih dan pelopor demokrasi deliberatif.

Di era propaganda komputasional, intelektual diharapkan dapat mengimbangi wacana politik di ruang publik digital dengan cara mencegah informasi viral yang sering kali menyesatkan atau merusak nalar politik pemilih yang sengaja dan sistematis diseminasikan oleh para pendengung politik bayaran (the paid political buzzers). Mekanisme counter politik tersebut juga dapat dilakukan dengan cara melibatkan pendengung organik (the organic buzzers) yang diaktivasi dan diorganisasikan oleh para intelektual melalui retorika politiknya.

Oleh karena itu, intelektual diharapkan dapat menyajikan wacana politik alternatif yang sekiranya bisa meningkatkan literasi demokrasi elektoral pemilih. Analogi sederhana seorang intelektual itu seperti Prometheus, dalam mitologi Yunani. Ia adalah Titan (dewa) pelindung umat manusia yang memiliki pemikiran ke masa depan (forethought).  Ia telah menentang Zeus dengan mencuri apinya dan memberikannya kepada manusia di bumi. Di bumi, ia mengajari manusia seni, ilmu pengetahuan dan sarana untuk bertahan hidup (Murray, 1867).

Selanjutnya ada sebuah pertanyaan penting, apakah semua warga negara atau warganet adalah intelektual? Terkait jawaban pertanyaan tersebut, bagi Antonio Gramsci (1971/1992:9), semua manusia adalah intelektual, tetapi tidak semua manusia di dalam masyarakat memiliki fungsi intelektual. Kenapa demikian, karena manusia adalah homo sapiens yang memiliki potensi kognitif luar biasa sebagai basis aktivitas intelektual, tetapi sering kali tidak dioptimalkan penggunaannya. Lalu, siapakah intelektual tersebut?

Intelektual Organik, Jangkar Demokrasi

Secara leksikal, kata intelektual dimaknai sebagai cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan (KBBI). Ada dua hal penting dari makna leksikal tersebut yaitu, pertama, kecerdasan sebagai syarat utama bagi seorang dikatakan sebagai intelektual dan ditandai dengan kepemilikan ilmu pengetahuan yang luas. Itulah kenapa intelektual disebut juga sebagai cendekiawan.

Dan Kedua, tentang makna berakal. Jika merujuk pada pemikiran Raymond Williams (2015:122), kata intelektual sering kali diidentikkan dengan orang yang menganut intelektualisme (intellectualism) dan kata intelektualisme merupakan bentuk lain dari rasionalisme (rationalism). Jadi intelektual adalah seorang rasionalis dan rasonalitas gagasannya menjadi indikator keintelektualan seseorang.

2

Karl Mannheim (1954:9) menyebut intelektual dengan istilah intelligentsia. Menurutnya, dalam setiap masyarakat, intelligentsia yang memiliki tugas khusus (special task) untuk memberikan interpretasi dunia (an interpretation of the world) untuk masyarakat tersebut. Intelektual merupakan interpreter (penafsir) realitas politik demokrasi dengan tujuan memberikan kejelasan kepada publik agar memiliki kesadaran, pengetahuan dan pemahaman politik yang benar. 

Selanjutnya, Gramsci membagi intelektual menjadi dua, yaitu pertama, intelektual tradisional. Misalnya guru, pendeta (priests), dan adiministrator yang melanjutkan pekerjaan yang sama dari satu generasi ke generasi. Tidak ada perubahan yang berarti yang bisa diwujudkan oleh intelektual tradisional.

Dan kedua, intelektual organik. Jenis intelektual ini berbeda sekali dengan intelektual tradisional. Intelektual ini bekerja secara organik melakukan perubahan sosial melalui perjuangan gagasan. Mereka memainkan peran politik direktif, mereka menjadi kompas politik. Mereka juga konstan dalam berjuang untuk mengubah pikiran masyarakatnya. Tidak seperti intelektual tradisional, intelektual organik terus bergerak (Gramsci, 1992:4; Said, 1996:4).

Dengan pemikiran idealnya, intelektual organik terus aktif mengisi wacana pencerahan publik tanpa terpengaruh oleh pengaruh atau dominasi politik kelas penguasa (ruling class). Dalam Pilkada, intelektual organik konsisten mengedukasi pemilih, tanpa takut dieksklusi oleh jaringan politik berkuasa (the ruling political network). Mereka selalu hadir dalam ruang-ruang publik untuk memberikan pencerahan kepada pemilih tentang hak konstitusionalnya dalam proses politik elektoral. Mereka adalah idealitas intelektual (the ideality of intellectual).

Konsolidasi demokrasi membutuhkan intelektual organik. Mereka mendorong praktik demokrasi yang memungkinkan berkembangnya rakyat berdaulat, pemilih cerdas, kandidat berorientasi pada kepentingan pemilih, pilkada inklusif, pers independen, dan idealitas lainnya. Di ruang-ruang publik, mereka dengan lantang mengkritik praktik politik populisme, identitas, klientelistik (termasuk politik uang), bias-gender, dan pembiaran disabilitas (disability omission or careless). Mengapa demikian? Karena beragam jenis politik tersebut adalah ancaman nyata bagi demokrasi elektoral.

Intelektual organik juga harus bisa memersuasi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Mereka mampu menggerakkan pemilih apatis atau mengubah minset pemilih abstain atau golput (the absentee voters). Misalnya pada Pilpres 2014 lalu, Frans Magnis Suseno pernah mengemukakan prinsip “minus malum” di mana pemilih dapat memilih yang paling sedikit keburukannya di antara pilihan yang buruk. Di akun Twitternya, Mafud MD (2018) juga pernah mengemukakan hal sama dengan kaidah ushul fiqh: Dar’ul mafaasid muqaddamun alaa jalbil mashaalih (menghindari kerusakan/kejahatan harus lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).

Intelektual organik mampu memberikan diskurus demokrasi dengan baik dan benar kepada rakyat. Di tengah masih ada paham demokrasi sebagai “thogut”, intelektual organik mampu mentransformasikan mereka yang menganut paham tidak benar tersebut. Paham politik sesat tersebut harus diperangi. Karena hal tersebut bukan hanya persoalan penggunaan penggunaan hak pilik, tetapi bisa mengarah pada penolak sistem politik demokrasi di NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Komitmen untuk memperbaiki demokrasi yang sedang mengalami resesi membuat intelektual organik berani untuk mengkritik kaum “oligark” (oligarch) yang terus ingin melanggengkan kekuasaannya di wilayah publik. Dengan kekayaan yang melimpah, kaum “oligark” biasanya mengendalikan lanskap kontestasi elektoral. Selain itu, intelektual organik juga dengan lantang menentang para demagog yang sering kali mengatasnamakan rakyat. Intelektual organik ingin menyelamatkan pemilih sebagai objek praktik politik demagogi.

Tags :
Kategori :

Terkait