Idealitas Intelektual dalam Ruang Publik Pilkada

Senin 16-03-2020,22:15 WIB
Reporter : Husain Ali
Editor : Husain Ali

Alasan intelektual organik melakukan semua hal tersebut di atas, karena mereka ingin mengembalikan Pilkada untuk rakyat (the elections for the people) dan Pilkada yang jurdil (fair play). Democracy is the only game in town. Itulah pribahasa yang ingin ditegakkan oleh para intelektual organik di tengah politik elektoral Pilkada langsung terdominasi oleh praktik konspirasi antara kandidat berideologi Machiavellianisme dengan kaum “oligark” dan politisi demagog demi meraih kemenangan elektoral.

Dalam lanskap politik elektoral demikian, daerah membutuhkan banyak intelektual organik terlibat dalam ruang publik politik elektoral. Ini untuk dapat mempercepat perubahan budaya politik elektoral agar demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Oleh karena itu, pertanyaan berikut yang layak diajukan di ruang publik politik elektoral adalah: apakah mereka yang berpendidikan tinggi, cendekiawan, tokoh agama, aktivis gerakan, jurnalis berpengalaman, dan lain sebagainya layak disebut intelektual organik?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut tentunya membutuhkan riset ilmiah. Tapi marilah jadikan pertanyaan tersebut sebagai pemantik refleksi bagi kita semua yang menginginkan demokrasi terkonsolidasi dengan baik. Bagi siapa pun yang memiliki idealisme demokrasi, pasti mereka akan mau terlibat dalam gerakan perubahan budaya politik elektoral dengan cara mencerdaskan pemilih. Siapa pun yang memosisikan diri sebagai penjaga moralitas politik, mereka bisa dikatakan sebagai intelektual organik. Siapa pun mereka yang memiliki idealisme politik dan memperjuangakannya, mereka adalah intelektual organik.

Turunlah dari Menara Gading

Mereka yang mengaku intelektual, tetapi tidak mau menjadi intelektual organik –merujuk istilah Julien Benda (1928/1969:43), mereka adalah ivory-towered thinkers (pemikir yang berada di menara gading).

Mereka asyik dengan pemikirannya yang melangit. Mereka tidak mau terlibat dalam gerakan perubahan sosial-politik di ruang publik. Mereka tidak memiliki keberanian secara terbuka untuk melawan kekuatan politik yang sekiranya dapat merusak demokrasi itu sendiri. Mereka tidak mau terlibat langsung dalam gerakan mencerdaskan atau mendaulatkan pemilih. Mereka bukanlah the democracy advocate (pembela demokrasi).

Mereka jauh dari karakteristik intelektual sejati (the real intellectual). Bagi Julien Benda, intelektual sejati adalah orang memiliki kepribadian yang kuat, siap menanggung risiko, pantang menyerah atas masalah praktis (practical concerns), dan memiliki keberanian untuk menjadi oposisi permanen terhadap status quo (Said, 1996:7).

Saat ini, intelektual tersebut masih belum tepat jika disebut pengkhianat intelektual (the traitors of intellectual). Karena masih terbuka peluang partisipasi politik mereka di ruang publik elektoral, kecuali tahapan elektoral Pilkada telah usai. Masih ada kesempatan besar bagi mereka untuk bertransformasi diri menjadi intelektual organik. Oleh karena itu, mari kita taruh harapan besar kita terhadap perguruan tinggi daerah sebagai tempat tinggal (home) dan pembiakan (breeding) intelektual untuk memelopori menghadirkan atmosfer politik demokrasi elektoral lokal yang lebih baik.

2

Tidak menutup kemungkinan oligarki politik daerah juga mengkooptasi manajemen perguruan tinggi. Jika ada, intelektual kampus diharapkan dengan lantang untuk menolak orgarki tersebut. Oligarki tersebut melalui kekuasaannya sudah pasti mengekang kebebasan akademik intelektual kampus, apabila tidak sesuai kepentingan politiknya. Oligarki tersebut dapat mematikan kebebasan akademik, yang seharusnya sebagai ruh perguruan tinggi dalam mengembangbiakan intelektual organik baru.

Pandangan atau harapan positif yang sama juga harus kita alamatkan kepada organisasi kepemudaan, kemahasiswaan, dan NGO (Non-Governmental Organization/lembaga swadaya masyarakat). Dengan idealisme politik, intelektual yang ada di dalam organisasi-organisasi tersebut tentunya memiliki tekad kuat untuk terlibat aktif berwacana di ruang publik dengan gagasan kritis progresif. Karena mereka adalah the guardians of democracy (penjaga demokrasi).

Tentunya nanti fakta politik akan membuktikan pandangan atau harapan positif tersebut di atas, apakah terbukti atau tidak? Waktu akan membuktikan semuanya dan saat ini tahapan elektoral Pilkada terus berlangsung yang membutuhkan partisipasi dari para intelektual daerah. Mari kita bersama dengan mereka yang memosisikan diri sebagai intelektual organik daerah. Melalui berwacana aktif di ruang publik, mari kita wujudkan demokrasi elektoral rasional. (*)

Referensi

Benda, Julien (1928/2009) The Treason of the Intellectuals. Translated by Richard Aldington. With a new introduction by Roger Kimball. New Burnswick: Transaction Publishers

Gramsci, Antonio (1971/1992). Selections from the Prison Notebooks. Edited and Translated by Quintin Hoare & Geoffrey Nowell Smith. 11th printing. New York: International Publishers

Habermas, Jürgen (1991). The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Translated by Thomas Burger with the assistance of Frederick Lawrence. Massachusetts: The MIT Press.

Mannheim, Karl (1954). Ideology and Utopia: An Introduction to the Sociology of Knowledge. With a Preface by Louis Wirth. New York: Harcourt, Brace, & Co., Inc.

Tags :
Kategori :

Terkait