Oleh: Abdul khoir
PANDEMI severse acute respiraroty syndrome coronavirus 2 (SARS-Cov-2) atau Covid-19, menurut penjelasan resmi dunia kesehatan merupakan jenis virus baru, berbahaya tingkat penularan atau penyebarannya. Tidak heran, walaupun wabah penyakit ini muncul pertama kalinya di negeri China medio 2019, namun sekarang hampir separuh dunia menghadapi pandemi yang cenderung menyebabkan kematian bagi penderitanya.
Melihat ganasnya virus corona ini mendorong pemerintah bersikap sigap, tanggap dan cepat menyusun strategi penanganannya. Strategi penanganan menghadapi Covid-19 tentu perlu banyak aspek yang perlu dipikirkan. Langkah ini dilakukan setidaknya dalam rangka mengaver seluruh kebutuhan dampak yang ditimbulkan wabah penyakit ini.
Penanganan medis secara holistik, pemulihan ekonomi nasional dan keuangan negara, menekan gejolak sosial, edukasi masyarakat terkait wabah corona adalah seklumit gambaran entitas yang harus diselesaikan secara terukur dan matang pengambil kebijakan.
Legalitas Perppu Corona
Sebagai negara hukum, Indonesia dalam setiap kali pengambilan kebijakan tidak boleh lepas dari pijakan instrumen hukum yang dijadikan sumber rujukan. Dengan kata lain, ketersedian aspek legalitas formalistik regulatif merupakan hal mendasar yang wajib disiapkan sebelum melangkah pada strategi penanganan memutus wabah penyakit ini. Sikap dan tindakan yang diambil pemerintah tanpa payung hukum memadai dapat menyeret pada situasi kesalahan fundamental.
Pada tingkat pusat, produk regulasi yang berlaku secara nasional di antaranya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan lazim disebut Perppu tentang Corona. Kemudian Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Berikutnya Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 Tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Selain itu, pada 16 Maret 2020 pada lembaran negara OJK menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical dampak Penyebaran Corona Virus Desease 2019.
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang disebut penulis seluruhnya telah secara resmi masuk pada dokumen lembaran negara. Dari sejumlah regulasi yang telah ditetapkan pemerintah, penulis dalam kesempatan ini memfokuskan pada keberadaan Perppu Corona.
Pasal 22 UUD NRI 1945 menyebutkan: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Klausul pasal tersebut pada pokoknya menyuguhkan makna bahwa Presiden Joko Widodo mempunyai hak penilaian absolut subjektif dalam menakar keadaan genting dan memaksa. Kondisi genting dan memaksa jika dikaitkan dengan virus corona logika sosial kemungkinan cenderung dapat menerima langkah yang diambil Presiden.
Paling tidak penerimaan logika masyarakat bersepakat bahwa memang dalam menghadapi wabah virus corona, mengambil langkah cepat merupakan sebuah keniscayaan. Apalagi sebagaimana diketahui bersama, satu produk legislasi yang ditetapkan \"Senayan\" memerlukan proses pembahasan panjang sekaligus cenderung memakan waktu yang tidak singkat.
Mengenai tafsir keadaan genting dan memaksa telah dibuat batasan yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 138/PUU-VII/2019, pada pokoknya menjelaskan tiga (3) kondisi. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
Kedua, menjawab kekosongan aturan hukum mengenai kondisi tertentu. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diselesaikan dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa. Mengingat menetapkan undang-undang memerlukan waktu lama, sementara pada sisi lainnya diperlukan asas kepastian hukum.
Lebih lanjut, setelah Perppu telah ditetapkan sebagai produk hukum masih tetap harus memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan pada agenda sidang berikutnya. Dan ketika Perppu Corona tidak disetujui dalam forum sidang DPR, maka Perppu a quo harus dicabut.
Pentingnya Perppu Corona yang telah ditetapkan Presiden memperoleh persetujuan DPR karena secara subtansi kewenangan hakiki pembuat undang-undang melekat pada fungsi lembaga legislatif. Ketentuan di atas diformulasikan pada Pasal 22 UUD NRI 1945 ayat dua (2) dan ayat tiga (3).