JAKARTA - Pencekalan produk Indomie yang dilakukan pemerintah Taiwan membuat pemerintah Singapura ketar ketir menjual produk mi instan buatan asli Indonesia itu. Seperti yang dilansir dari situs www.channelnewsasia.com pada Senin (11/10) lalu menyatakan, bahwa Singapura Agri Food and Veterinary Authority (AVA) langsung melakukan investigasi terhadap produk Indomie yang dipasarkan di Singapura. Hal itu dilakukan untuk memastikan bahwa Indomie yang dijual di Singapura aman untuk dikonsumsi. Singapura AVA menyebut bahwa hidroksi asam benzoat seharusnya tidak dimasukkan dalam kandungan mi instan. Meski pengujian kadar pengawet sudah dilakukan, namun AVA tidak merencanakan penarikan Indomie saat ini. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Menteri Kesehatan (menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih. Dia optimis Singapura tidak ikut menarik produk Indomie seperti yang dilakukan Taiwan. “Sebenarnya belum kami cek, tapi saya yakin tidak sampai ditarik,” ujarnya saat ditemui di kantornya, kemarin. Endang menuturkan, sesuai dengan daftar yang terdaftar dalam Codex Alimentrius Comission (CAC), Singapura memberlakukan batas maksimum nipagin atau methyl p-hydroxybenzoate seberat 250 miligram perkilogram produk. “Artinya batas nipagin Singapura dengan Indonesia kan sama,” tuturnya. Endang menegaskan, kandungan nipagin itu hanya ada didalam kecap indomie. Bukan dalam mi itu sendiri. Kemarin pagi, Endang mengaku telah melakukan konsultasi dengan ahli teknologi pangan mengenai keamanan konsumsi nipagin dalam tubuh. “Jangan dikira bahan itu sangat berbahaya, kalau dikonsumsi dalam batas wajar tentu aman.” ungkapnya. Dia menjelaskan bahwa, dalam sebuah mi instan biasanya disertai kecap yang dikemas dengan berat 4 gram. Dan didalam kemasan kecap tersebut terkandung nipagin seberat 1 miligram saja. Sementara kadar aman nipagin dalam tubuh itu, lanjut Endang, tergantung berat badan seseorang karena berat tubuh akan dikalikan 10 miligram perkilogram. Dia mencontohkan, jika berat badan seseorang mencapai 50 kilogram. Maka batas aman konsumsi nipagin orang tersebut yakni 500 miligram perhari. “Berat 500 miligram itu Itu sama dengan kita makan kecap dua kilogram,” tegasnya. Hingga kini, Endang mengaku belum mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai penarikan indomie di Taiwan. Karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara tersebut, maka pemerintah sedang berusaha mencari jalan keluar dengan mengecek barang melalui perwakilan kamar dagang dan industri (kadin) di Taiwan. “Belum ada laporan masuk tentang perkembangannya,” pungkas Endang. Menperin Turut Membela Pemberitaan media massa Taiwan mengenai penarikan Indomie dikhawatirkan akan menggoyang eksistensi industri mi instan tanah air. Keruan pemerintah langsung bersikap untuk langkah pengamanan. Seperti yang dilakukan oleh Kementrian Perindustrian RI (Kemenperin) kemarin. Dalam sebuah jumpa pers di Kantor Kemenperin, Jalan Gatot Subroto Jakarta, Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat, menyatakan bahwa produk mi instan bikinan Indonesia aman dikonsumsi. Sikap pria kelahiran Jombang, Jawa Timur, itu senada dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Pada awal jumpa pers, Hidayat sempat berseloroh dengan wartawan. “Anda tadi pagi masih sarapan Indomie atau tidak,” ujarnya seraya tersenyum. Mengacu dari berbagai referensi, Hidayat mengatakan zat mengandung bahan pengawet E218 (Methyl P-Hydroxybenzoate) yang dipersoalkan Taiwan itu sebenarnya aman jika dikonsumsi dalam ambang batas tertentu. Zat tersebut memiliki merek dagang Nipagin yang merupakan bahan pengawet kecap manis. Mengacu Peraturan Menteri Kesehatan No 722 tahun 1988 tentang aturan bahan tambakan makanan, nipagin diizinkan dengan ambang batas 250 mg per kg. Sedangkan dalam satu bungkus mi instan terhadap hanya empat gram kecap. Maka kandungan nipagin hanya 1 mg. Angka Acceptable Daily Intake atau asupan maksimum yang diizinkan adalah 10 mg per kilogram berat badan perhari. Hidayat mengambil referensi dari lembaga standardisasi makanan, European Food Safety Authority (EFSA). “Contoh untuk berat badan 50 kg ambang batas perhari nipagin 500 mg/kg atau setara dengan 500 bungkus mi instan perhari. Jadi anda mengkonsumis tiga bungkus saja masih sangat aman gitu loh, sebesar apapun itu (berat badan) anda,” ungkapnya. Dikatakan, selama ini Taiwan menentukan aturan sendiri, sesuai Peraturan Bahan Tambahan Pangan (BTP) bahwa produk mi instan tanpa kandungan nipagin. Sedangkan produk mi instan asal Indonesia yang ditemukan oleh Department of Health Taiwan, mengandung zat tersebut. “Mi instan asal Indonesia yang masuk ke Taiwan tanpa melalui eksportir resmi, sehingga standarnya tidak mengikuti standar Taiwan,” ucapnya. Menurut Hidayat, dalam perdagangan bebas kali ini dimungkinkan saja barang yang masuk ke Taiwan transit dari negara lain. Produk mi asal Indonesia mungkin lewat Hongkong. Sedangkan Taiwan bukan merupakan Negara anggota CODEC, yang mengatur standar pangan internasional yang didukung Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan WHO.” Sehingga dia (Taiwan) menganut aturan sendiri yang dia tetapkan,” tandasnya. Padahal negara-negara besar tidak mempermasalahkan penggunaan nipagin. Semisal Kanada dan Amerika Serikat mengizinkan penggunaan nipagin maksimum 1.000 mg/kg, Singapur dan Brunai Darussalam 250 mg/kg, serta Hongkong 500 mg/kg. Hidayat menyebutkan, jumlah industri mi instan di Indonesia adalah 17, dengan kapasitas produksi 1.772. 000 Ton pertahun. Jumlah tersebut setara dengan 24,5 milar bungkus mi instan pertahun. Secara tidak langsung Hidayat menyebut bahwa industri mi instan merupakan salah satu sektor yang vital bagi perekonomian Nasional. “Kesempulannya, mi instan produk Indonesia aman untuk dikonsumsi,” ungkapnya. Di Taiwan, Mi Makanan Pokok Ahli gizi pangan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Annis Catur Adi mengatakan, risiko penggunaan bahan tambahan makanan pada mi instan bergantung kepada bahan yang digunakan dan paparan atas bahan tersebut. “Semakin besar konsentrasi bahan, risiko bahayanya juga semakin tinggi,” tuturnya. Annis mengatakan, penggunaan bahan tambahan makanan berupa nipagin biasanya digunakan untuk pengawet makanan olahan yang relatif basah. “Tujuannya, mengantisipasi kerusakan makanan selama proses distribusi,” terangnya. Namun, Annis yakin, kadar nipagin 250 mg/kg dalam mi instan sudah sesuai dengan perhitungan gizi pangan untuk masyarakat di Indonesia. Perhitungan kadar tersebut, kata Annis, menjadi panduan produsen karena mi di Indonesia bukan makanan pokok, tetapi sebagai alternatif pengganti makanan pokok. “Ambang batas kandungan nipagin dalam mi instan aman karena besar kemungkinan tidak untuk dikonsumsi setiap hari secara rutin,” papar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) itu. Sedangkan di Taiwan, lanjut dia, mi merupakan makanan utama masyarakat di sana. Karena itu, pemerintah Taiwan tidak memperbolehkan adanya pengawet dalam setiap mi yang dijual di negaranya. “Setiap hari orang Taiwan makan mi sama dengan kita makan nasi. Jadi, wajar kalau mereka sangat memperhatikan adanya zat pengawet dalam mi yang dikonsumsi warganya,” tuturnya. (nuq/dni/c4/ari)
Singapura Ikut Cek Indomie
Rabu 13-10-2010,07:40 WIB
Editor : Dedi Darmawan
Kategori :